Suhu Ekstrem Landa Asia Selatan, Dunia Diminta Segera Adaptasi Iklim

India dan Pakistan menjadi negara terakhir yang dilanda suhu panas mematikan.

AP Photo/Channi Anand
Seorang wanita memanen gandum di pinggiran Jammu, India, Kamis, 28 April 2022. Gelombang panas yang luar biasa awal dan memecahkan rekor di India telah mengurangi hasil gandum, menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana negara akan menyeimbangkan kebutuhan domestiknya dengan ambisi untuk meningkatkan ekspor dan menutupi kekurangan akibat perang Rusia di Ukraina.
Red: Dwi Murdaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- India dan Pakistan menjadi negara terakhir yang dilanda suhu panas mematikan sepanjang 2022. Maraknya gelombang panas ekstrem di penjuru Bumi mewajibkan adaptasi iklim berkeadilan untuk lindungi ruang hidup yang tersisa.

Baca Juga

Untuk kesekian kali tahun ini, India luruh diterpa gelombang panas ekstrem. Suhu udara, yang konstan melampaui 40 derajat Celcius di seluruh negeri. Suhu ini menempatkan jutaan jiwa dalam bahaya kesehatan, memicu kegagalan panen dan anjloknya produksi listrik.

India tidak sendirian. Jirannya, Pakistan, juga kewalahan menghadapi gelombang panas terparah tahun ini. Padahal, musim panas belum akan tiba hingga Juni mendatang. 

Awal tahun ini, kawasan Amerika Tengah sempat mencatatkan diri sebagai daerah terpanas di muka Bumi, sebelum digantikan Australia Barat beberapa pekan kemudian.

Ketika krisis iklim menggandakan intensitas gelombang panas di seluruh dunia, sejumlah kawasan menghadapi ancaman eksistensial terhadap kelangsungan ruang hidup.

Kutukan ketimpangan 

Celakanya, solusi yang ada saat ini menyaratkan tingkat kemakmuran yang relatif tinggi untuk bisa beradaptasi dengan suhu yang kian ekstrem. Entah itu menambah konsumsi listrik untuk penyejuk udara, atau sekedar kemampuan untuk bekerja di dalam ruangan ber-AC, bukan merupakan opsi untuk banyak orang.

"Perubahan iklim adalah kisah ketimpangan tingkat tinggi dan kita sedang melihatnya mewabah di kawasan paling miskin dan paling panas di dunia,” kata Tamma Carleton, Asisten Guru Besar Ilmu Ekonomi di Universitas Kalifornia, Santa Barbara (UCSB). 

 

Dalam sebuah riset oleh UCSB yang dirilis tahun ini, Carleton ikut menyimpulkan dua faktor utama yang krusial bagi sebuah kota untuk beradaptasi dengan iklim yang ekstrem: uang dan potensi munculnya gelombang panas. 

Uang menentukan kualitas teknologi yang mampu dibeli untuk melindungi mereka yang paling rentan. Jika dana adaptasi ini tidak dibiayai pemerintah, maka setiap orang harus membiayai perlindungannya secara mandiri, kata Carleton. Situasi ini terutama menempatkan kaum miskin di bawah ancaman genosida iklim. 

"Proyeksi kami cendrung memprediksi lonjakan angka kematian (akibat bencana iklim) di wilayah miskin dan peningkatan biaya adaptasi iklim di kawasan kaya,” katanya lagi.

Solusi ekologis sejukkan kota

India yang rajin dilanda suhu panas ekstrem sedang mengupayakan solusi berbiaya murah untuk membantu warga miskin mendinginkan ruangan. "Fokusnya sudah bergeser sejak beberapa tahun terakhir dengan menitikberatkan pada langkah proaktif,” kata Polash Mukherjee, Direktur Lembaga Ketahanan Iklim dan Polusi Udara di Dewan Perlindungan Sumber Daya Alam India.

Langkah itu mencakup perubahan regulasi yang mewajibkan konstruksi baru menggunakan insulasi yang lebih baik dan menaati kebijakan atap dingin oleh pemerintah.

Pemerintah kota di berbagai negara juga mulai mengadopsi solusi yang lebih luas. Tokyo misalnya memperkenalkan aspal dingin yang dengan lapisan antipanas. Adapun kota Medellin di Kolombia menanam "koridor hijau” untuk melindungi kawasan pedestrian dari sengatan matahari.

Sementara kota Toronto di Kanada menawarkan bantuan keuangan bagi warga untuk menghijaukan atap rumah. Namun, meski sebagian wilayah di Bumi bisa beradaptasi dengan suhu panas ekstrem, sebagian besar ilmuwan mengingatkan agar pemerintah tidak lupa mengentaskan akar masalah kemunculan gelombang panas, yakni krisis iklim.

Aditi Mukherji yang ikut menyusun bab kelautan dalam laporan terbaru Panel Iklim PBB (IPCC), mengatakan tanggungjawab untuk mengupayakan solusi iklim tidak bisa dibebankan kepada mereka yang paling rentan dan sekaligus paling minim menyumbang emisi Karbondioksida.

"Saya merasa jika sudah menyoal gelombang panas ekstrem seperti sekarang ini, satu-satunya solusi adalah bahwa negara-negara industri, yang selama ini menciptakan emisi dalam jumlah besar, harus berhenti menggunakan bahan bakar fosil,” katanya. 

 

 

sumber: https://www.dw.com/id/suhu-ekstrem-di-asia-selatan-desakkan-adaptasi-iklim/a-61672502

 
Berita Terpopuler