Perkosaan dan Aborsi tak Diatur di RUU TPKS yang Segera Disahkan DPR

DPR dan pemerintah hari ini menyetujui RUU TPKS disahkan di sidang paripurna.

Antara/Galih Pradipta
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati Puspayoga (kedua kanan) bersama Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej (kanan) menyerahkan tanggapan pemerintah kepada Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas (kedua kiri) disaksikan sejumah pimpinan Baleg saat Rapat Pleno pengambilan keputusan atas hasil pembahasan RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dengan Badan Legislasi DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (6/4/2022). Dalam Rapat pleno tersebut Badan Legislasi DPR menyetujui Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) untuk segera disahkan jadi undang-undang dalam Rapat Paripurna.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nawir Arsyad Akbar, Antara

Baca Juga

Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) akhirnya sampai juga pada ujung pembahasan di DPR. Dalam rapat pleno Badan Legislasi (Baleg) DPR dan perwakilan pemerintah pada Rabu (6/4/2022) disepakati RUU TPKS disetujui untuk diteruskan untuk disahkan di sidang paripurna DPR.

"Apakah rancangan undang-undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual ini bisa kita setujui untuk diteruskan dalam sidang paripurna untuk pembicaraan tingkat dua?" tanya Ketua Baleg Supratman Andi Agtas dijawab setuju oleh anggota Baleg dan pemerintah, Rabu. 

Sebanyak delapan fraksi menyatakan setuju dalam pengambilan keputusan tingkat I RUU TPKS. Anggota Baleg Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) DPR My Esti Wijayati mengapresiasi hadirnya payung hukum yang melindungi dan memberikan keadilan bagi korban kekerasan seksual.

RUU TPKS dinilainya telah mengakomodasi berbagai jenis kekerasan seksual, termasuk kekerasan seksual berbasis elektronik. Menurutnya, itu merupakan bentuk payung hukum yang mempertimbangkan perkembangan zaman.

Anggota Baleg Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Illiza Sa'aduddin Djamal mengatakan, hadirnya RUU TPKS akan menjadi payung hukum bagi korban kekerasan seksual. Namun, ia mengharapkan agar pemaksaan aborsi yang tak masuk dalam RUU TPKS benar-benar diatur detail dalam revisi Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (RKUHP).

"Fatwa MUI tentang aborsi, yakni aborsi pada dasarnya haram kecuali dalam keadaan darurat yang mengancam jiwa ibu. Maka aborsi dibolehkan, termasuk bagi korban perkosaan," ujar Illiza.

Anggota Baleg Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Desy Ratnasari mengatakan, negara dan semua pihak harus hadir dalam mengatasi masalah kekerasan seksual. Terutama dalam aspek pencegahan, pemulihan, dan perlindungan para korban.

"RUU ini terutama mengakomodir semua aspirasi yang berkembang di masyarakat, sehingga substansi RUU ini semakin menguatkan komitmen bersama dalam upaya pencegahan dan penegakan hukum terhadap kekerasan seksual," ujar Desy.

Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi satu-satunya pihak yang menolak pengambilan keputusan tingkat I RUU TPKS. Pasalnya, dalam RUU TPKS tidak memuat aturan mengenai pelarangan perzinahan dan penyimpangan seksual atau LGBT.

"Kami Fraksi PKS menolak RUU TPKS untuk disahkan menjadi undang-undang dan dilanjutkan ke tahap berikutnya sesuai peraturan perundang-undangan sebelum didahului pengesahan RUU KUHP," ujar anggota Baleg Fraksi PKS Al Muzzammil Yusuf.

 

 

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Willy Aditya menjelaskan, RUU TPKS menghindari adanya tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan yang lain. Karenanya, pasal yang mengatur perkosaan dan aborsi tak masuk dalam RUU tersebut, karena sudah diatur dalam revisi Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (RKUHP).

"Kenapa kita tidak masukkan pemerkosaan. Satu, dia sudah ada di KUHP, RKUHP itu lebih komplet lagi. Kita tidak ingin satu norma hukum diatur dalam dua undang-undang, karena akan terjadi overlapping," ujar Willy di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (6/4/2022).

Dalam Pasal 245 RKUHP dijelaskan, setiap orang yang melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, perkosaan, perbuatan cabul, pencurian dengan kekerasan, atau perampasan kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis, pidana ditambah dengan 1/3 (satu pertiga) dari ancaman pidananya.

Sementara dalam Pasal 455 RKUHP, pidana penjara paling lama tiga tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV adalah setiap orang yang mengancam dengan kekerasan secara terang-terangan dengan tenaga bersama yang dilakukan terhadap orang atau barang, suatu tindak pidana yang mengakibatkan bahaya bagi keamanan umum terhadap orang atau barang, dan perkosaan atau dengan perbuatan cabul. Kemudian, suatu tindak pidana terhadap nyawa orang, penganiayaan berat, dan pembakaran.

Kendati demikian, Willy menjelaskan bahwa perkosaan tetap masuk sebagai jenis kekerasan seksual lainnya. Hal tersebut termaktub dalam Pasal 4 Ayat 2 RUU TPKS yang substansinya sudah disepakati oleh pemerintah dan Baleg.

"Yang menjadi keunggulan dari RUU TPKS ini adalah dia punya hukum acara sendiri. Jadi, jenis kekerasan seksual yang tidak termaktub di dalam TPKS ini secara eksplisit, dia bisa merujuk ke sini. Misalnya seperti aborsi, pemerkosaan, TPPO, PKDRT, perlindungan anak, itu bisa pakai hukum acara TPKS," ujar Ketua Panja RUU TPKS itu.

Diketahui, Panja telah menyepakati 10 jenis kekerasan seksual yang masuk ke dalam Pasal 4 Ayat 1. Kesembilan jenis kekerasan seksual itu adalah pelecehan seksual nonfisik; pelecehan seksual fisik; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan sterilisasi; dan pemaksaan perkawinan; penyiksaan seksual; eksploitasi seksual; perbudakan seksual; dan pelecehan seksual berbasis elektronik".

Selanjutnya dalam Pasal 4 Ayat 2 dijelaskan 10 tindak pidana kekerasan seksual selain yang tertera dalam Ayat 1, yakni perkosaan; perbuatan cabul; persetubuhan antara anak; perbuatan cabul terhadap anak dan/atau eksploitasi seksual terhadap anak; perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban; dan pornografi yang melibatkan anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual.

Kemudian, pemaksaan pelacuran; tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual; kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga; dan tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan tindak pidana kekerasan seksual. Terakhir adalah tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memaparkan dampak dari tindakan tindak pidana pemerkosaan tidak masuk ke dalam RUU TPKS. Padahal, perkosaan sejatinya merupakan benih atau DNA dari RUU TPKS.

 

 "Ada dampaknya bagi perempuan ketika ia tidak diatur secara khusus di RUU TPKS," kata Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (5/4/2022).

Ia menerangkan, jika RUU KUHP belum berhasil direvisi, maka segenap persoalan di KUHP yang selama ini menjadi basis masyarakat untuk mendorong lahirnya RUU TPKS akan tetap ada. Artinya, kata dia, waktu tunggu hingga RUU KUHP direvisi atau dibetulkan bisa menjadi ruang kerugian khususnya bagi perempuan yang mengalami tindak pemaksaan hubungan seksual yang seharusnya masuk dalam tindak pidana perkosaan, atau yang bisa jadi diatur dalam RUU TPKS.

Kedua, jika masuk ke RUU KUHP maka proses silang rujuk dari sebuah rancangan undang-undang secara implementatif juga bisa menghadirkan ketegangan-ketegangan baru. "Justru akan menyebabkan implementasinya lebih terhambat dibandingkan ia berada dalam satu undang-undang yang sama," ujarnya.

Menurut dia, menunggu tanpa adanya kepastian akan menyebabkan kerugian-kerugian baru khususnya bagi perempuan dan anak perempuan yang paling banyak mengalami tindak pemaksaan hubungan seksual.

Andy menceritakan sejarah dari upaya merumuskan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang berkaitan dengan lahirnya Komnas Perempuan. Komnas Perempuan lahir semasa tragedi kerusuhan Mei sebagai latar belakang awal.

Pada saat itu, terjadi pemerkosaan dan kekerasan seksual di tengah penjarahan dan pembakaran yang terjadi di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Untuk mengetahui detail kejadian pada saat itu, kata Andy, bisa merujuk pada dua laporan.

Pertama, di tingkat internal atau di Indonesia, yakni dari Tim Pencari Fakta. Dalam temuannya menyebutkan bahwa tindakan kekerasan seksual akan sulit diangkat karena keterbatasan dari sistem hukum pidana.

"Salah satunya karena definisi perkosaan yang sangat terbatas," kata dia.

Kedua berdasarkan laporan yang disampaikan oleh PBB yang datang secara khusus dan resmi terkait tindak pidana kekerasan terhadap perempuan yang terjadi. Dalam laporannya, disebutkan bahwa menyangkut substansi hukum dan struktur hukum.

Pada saat itu, perlindungan bagi korban untuk mengungkap kasus yang dialaminya masih sangat terbatas. "Di samping ada juga budaya menyangkal atau budaya menyalahkan korban," ujar dia.

 

Perempuan rentan jadi korban kekerasan - (Republika)

 

 
Berita Terpopuler