Dampak Pemecatan Terawan: DPR akan Revisi UU Praktik Kedokteran, Usul IDI Dibubarkan

Pengurus PB IDI dicecar Komisi IX DPR dalam rapat dengar pendapat, Senin (4/4/2022).

ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Adib Khumaidi (tengah) memberikan paparan saat mengikuti Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi IX DPR di Jakarta, Senin (4/4/2022). RDPU membahas tentang tugas pokok dan fungsi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai organisasi profesi kedokteran di Indonesia serta masalah pemecatan mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dari keanggotaan IDI.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febrianto Adi Saputro

Baca Juga

Pemecatan dokter Terawan Agus Putranto dari keanggotaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sepertinya akan berbuntut panjang. Kalangan DPR tidak hanya berencana merevisi Undang-undang (UU) terkait kedokteran, tetapi juga mewacanakan pembubaran IDI.

Dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) yang digelar Senin (4/4/2022) kalangan Komisi IX DPR ramai-ramai mencecar perwakilan IDI yang hadir. Salah satu anggota Komisi IX DPR, Irma Suryani Chaniago, yang bersuara lantang meminta pembubaran IDI.

Awalnya Irma menyoroti soal tujuan dibentuknya IDI yang salah satunya fungsinya adalah memberikan perlindungan kepada anggotanya. Namun, menurutnya, diketahui ada sekitar 2.500 dokter muda yang tidak lulus uji kompetensi.

"Bakal menganggur ini. Terus apa yang dilakukan IDI kepada mereka? Apa yang dilakukan IDI? Cariin jalan keluar, enggak. Dibiarin begitu saja, kemudian enak-enak mecat-mecat kalau nggak setuju, bubarin aja IDI-nya, ngapain orang cuma organisasi profesi kok," kata Irma di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin. 

Politikus Partai NasDem menilai IDI tidak bisa asal memecat seseorang. Ia pun menyamakan organisasi IDI dengan Komisi IX DPR yang fungsinya hanya bisa memberikan rekomendasi.

"Tapi, ada tapinya, parlemen ini bentuk untuk mengawasi pemerintah, jelas itu fungsinya, tapi kalau IDI apa? Enggak bisa IDI sembarangan memecat-memecat anggotanya," tegasnya. 

Dirinya juga tak melihat ada kesalahan yang dilanggar dokter Terawan. Justru seharusnya IDI mendukung metode Digital Subtraction Angiogram (DSA) agar bisa diterima.

"Saya hari ini ingin Komisi IX revisi kepada UU Praktik Kedokteran supaya IDI tidak superbody. Jadi, jangan sampai superbody yang semena-mena terhadap anggotanya," ungkapnya. 

"Harusnya IDI melindungi anggota bukan memecat anggotanya yang punya inovasi bagus. Dokter muda yang mau kerja saja tidak dibantu, ini yang ada dipecat malah," imbuhnya.

Hal senada juga disampaikan Anggota Komisi IX Fraksi PDIP, Rahmad Handoyo. Dirinya mempertanyakan adanya desakan dari warganet yang meminta agar IDI dibubarkan.

Baca juga : Ramai-Ramai Membela Terawan

"Saya menyampaikan dimulai dari dua kata dulu, Bubarkan IDI. Itu bukan dari saya, bukan dari Rahmad Handoyo bukan. Tapi sekali lagi nanti introspeksi dari ketum (IDI) dan teman-teman yang lain ya, itu suara rakyat. Suara trending topic, kaget masya Allah saya tuh. Itu suara netizen, begitu menggelora bubarkan IDI, saya kaget ada apa sampai sebegininya gitu," terangnya. 

Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Adib Khumaidi, menanggapi soal usulan pembubaran IDI yang disampaikan sejumlah anggota Komisi IX DPR dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) kemarin. Adib menilai hal tersebut tidak mudah dilakukan, sebab posisi IDI telah diperkuat oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 10/PUU-XV/2017.

"Saya kira kalau kemudian kita bicara IDI dibubarkan kami tadi sudah sampaikan ada keputusan keputusan dari Mahkamah Konstitusi ada Putusan Nomor 10/PUU-VX/ 2017 juga  yang memperkuat posisi daripada IDI," kata Adib di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin.

Baca juga : Partai Berkarya Masuk Koalisi Partai Nonparlemen

Adanya putusan MK tersebut, Adib menegaskan bahwa keberadaan IDI akan selalu ada. Namun demikian dirinya berjanji IDI akan melakukan perbaikan di internal IDI untuk bertransformasi menjadi organisasi yang lebih baik di kemudian hari. 

"IDI tetap akan selalu ada untuk masyarakat Indonesia," ujarnya.

 

Dalam rapat dengan DPR, Adib Khumaidi juga menegaskan pemberhentian terhadap Terawan Agus Putranto tidak terkait dengan Vaksin Nusantara.

"Hal yang terkait dengan kasus beliau ini, pak TAP ini, tidak ada kaitannya dengan Vaksin Nusantara," kata Adib di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin.

Adib menegaskan, dirinya berani menjamin bahwa secara organisasi dan profesi IDI tidak terlibat dalam proses yang berkaitan dengan Vaksin Nusantara. "Memang tidak ada hal yang kaitannya terhadap Vaksin Nusantara terhadap pengambilan keputusan yang kemarin," ucapnya. 

Ihwal pemecatan Terawan, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Herkutanto menyatakan, bahwa IDI memiliki kewenangan dalam menindak anggotanya yang melanggar disiplin organisasi. 

"Seorang anggota dapat saja diberhentikan bila dianggap melanggar disiplin organisasi. Kalau kita kaitkan dengan IDI kesimpulannya adalah IDI memiliki kewenangan dalam menentukan apakah seseorang melanggar disiplin organisasi dan mengambil tindakan sesuai dengan AD ART organisasinya," kata Herkutanto dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR, Senin.

Baca juga : Sudah Disepakati, Tiket Termurah Formula E Dijual Rp 350 Ribu Mulai Mei

Terkait organisasi IDI dengan keanggotaanya, Herkutanto menyebut seorang anggota IDI dipersilakan keluar dari organisasi. Namun konsekuensinya dokter tidak bisa melakukan praktik kedokteran. Ia mengatakan, syarat praktik bisa diberikan apabila mendapat rekomendasi dari IDI.

"Bila memiliki kewenangan publik, tentu harus dilihat sumber hukumnya dalam hal ini UU Praktik Kedokteran pasal 38 ayat 1 huruf C mencantumkan kewenangan IDI memberi rekomendasi untuk dapat berpraktik," ungkapnya.

Herkutanto berkesimpulan setiap dokter yang ingin berpkratik maka harus bergabung dengan IDI agar dapat diberi rekomendasi. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam UU Praktik Kedoktaran.

Adapun terkait Surat Izin Praktik (SIP) dokter dan rekomendasi idi dan str Surat Tanda Registrasi (STR), Herkutanto mengatakan, setiap dokter yang akan berpraktik harus memiliki SIP dari pemerintah, dengan menyertakan dua syarat lain, yaitu  memiliki STR yang diterbitkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia dan rekomendasi IDI.

"Jadi kesimpulannya adalah IDI memiliki kewenangan publik yang cukup strategis dalam menentukan praktik dokter di Indonesia dan tentunya adalah apabila ada mekanisme pengawasan dilakukan oleh negara maka tentunya akan meningkatkan marwah karena akuntabilitas akan meningkat," tuturnya. 

Sebelumnya, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly menyebutkan bahwa posisi IDI harus dievaluasi. Hal tersebut disampaikan Yasonna melalui media sosial merespons pemecatan Terawan sebagai anggota IDI.

"Saya sangat menyesalkan putusan IDI tersebut, apalagi sampai memvonis tidak diizinkan melakukan praktek untuk melayani pasien. Posisi IDI harus dievaluasi!" kata Yasonna seperti dikutip akun Instagram-nya yang diverifikasi, Rabu (30/3/2022).

Baca juga : Nadiem Tolak Usulan PM Malaysia Jadikan Bahasa Melayu Jadi Bahasa Resmi ASEAN

Menurut Yasonna, Indonesia harus membuat undang-undang yang menegaskan izin praktek dokter adalah domain pemerintah. Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu berpendapat bahwa hal tersebut berada dalam lingkup kerja kementerian kesehatan (Kemenkes).

"Ketika teman mendengar keputusan IDI (pemecatan Terawan), kata-kata yang keluar dari mulut mereka adalah 'Syirik dan arogan'," kata Yasonna.

 

Tips memaksimalkan konsultasi dengan dokter secara online - (Republika)

 
Berita Terpopuler