Menyebar di Australia, Infeksi Virus Japanese Encephalitis tak Bisa Diremehkan

Japanese encephalitis disebarkan oleh nyamuk yang sebelumnya gigit hewan terinfeksi.

EPA-EFE/LYNN BO BO
Vaksin Japanese encephalitis. Australia tengah berhadapan dengan infeksi Japanese encephalitis di tengah bencana banjir.
Rep: Adysha Citra Ramadani Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kemunculan virus Japanese encephalitis di Australia telah menginfeksi 17 warga dan menyebabkan dua di antaranya meninggal dunia. Virus ini tidak menular antarmanusia, sehingga mungkin tidak akan membawa ancaman sebesar virus corona. Akan tetapi, konsekuensi dari infeksi virus Japanese encephalitis tak boleh diremehkan.

Virus Japanese encephalitis termasuk ke dalam jenis flavivirus. Virus ini bisa ditemukan pada hewan babi dan burung. Penularannya ke manusia terjadi melalui perantara nyamuk yang sebelumnya menggigit hewan terinfeksi.

Sebagian besar orang yang terinfeksi virus Japanese encephalitis hanya akan mengalami gejala ringan atau bahkan tanpa gejala. Tak jarang, gejala yang muncul dianggap seperti flu biasa.

Akan tetapi, pada sebagian orang, infeksi virus Japanese encephalitis bisa menyebabkan radang otak atau ensefalitis. Kondisi ini bisa berakibat fatal atau menyebabkan kerusakan saraf dalam jangka panjang. Beberapa gejala ensefalitis meliputi kebingungan, sakit kepala, kekakuan pada leher, tremor, mengantuk, dan kejang.

Diperkirakan sekitar satu dari 250 orang yang terinfeksi dengan virus Japanese encephalitis akan mengalami gejala yang lebih berat karena infeksi menyebar ke otak. Biasanya, kondisi ini muncul dalam waktu lima hingga 15 hari setelah infeksi. Beberapa kondisi yang mungkin terjadi pada kasus berat adalah kejang, koma, kelumpuhan, kematian dan masalah saraf.

Sekitar satu dari tiga orang yang mengalami gejala serius dari infeksi Japanese encephalitis akan meninggal dunia. Di Australia, dua kasus kematian terkait infeksi virus Japanese encephalitis mengenai dua orang lansia berusia 70-an dan 60-an tahun.

Pada pasien yang berhasil bertahan, gejala cenderung membaik secara perlahan sehingga pemulihan bisa membutuhkan waktu beberapa bulan. Kondisi ini juga bisa berujung pada munculnya masalah jangka panjang, seperti tremor, kedutan otot, perubahan kepribadian, lemah otot, kesulitan belajar, dan kelumpuhan pada satu tungkai atau lebih.

"Sepertiga hingga 50 persen (yang bertahan) akan mengalami konsekuensi serius hingga mengubah hidup," ujar CEO Encephalitis Society dr Ava Easton, seperti dilansir The Sun, Jumat (11/3/2022).

Risiko gejala berat dari infeksi virus Japanese encephalitis dinilai mengkhawatirkan, khususnya bagi kelompok rentan. Kelompok rentan ini meliputi lansia dan anak berusia di bawah lima tahun.

Baca Juga

Virus ini paling banyak ditemukan pada area-area terpencil di Asia Tenggara, kepulauan Pasifik, dan Timur Jauh. Kasus di Australia dicurigai berasal dari peternakan babi, setelah empat negara bagian melaporkan adanya infeksi. Banjir yang baru saja melanda area timur Australia dinilai memberikan kondisi yang sempurna bagi nyamuk untuk berkembang biak.

"Banjir di Australia menyebabkan adanya lebih banyak air, lebih banyak burung bermigrasi, dan artinya ada kapasitas yang lebih besar bagi nyamuk untuk mendapatkan makanan," ujar dr Easton.

Hingga saat ini, belum ada obat untuk menyembuhkan penyakit Japanese encephalitis. Pasien yang mengalami infeksi berat biasanya memerlukan perawatan di rumah sakit agar bisa diberikan cairan, oksigen, dan obat-obatan penunjang.

Cara terbaik untuk mencegah penyakit ini adalah dengan vaksinasi. Sebagai tambahan, penting juga untuk menghindari gigitan nyamuk dengan menggunakan semprotan atau losion antinyamuk dan mengenakan pakaian tertutup sehingga tak mudah digigit nyamuk.

 
Berita Terpopuler