Pejabat Turki Ottoman Nikahi Putri Panglima Perang Pangeran Diponegoro

Keturunan dari pernikahan Ottoman-Jawa itu adalah mantan menteri luar negeri Ali Alatas.

network /Kurusetra
.
Rep: Kurusetra Red: Partner

Meseum Tekstil pernah dihuni Konsul Turki Sayyid Abdul Azis Al Musawi saat Turki masih merupakan Kesultanan Ottoman.

KURUSETRA -- Salam Sedulur... Gedung Museum Tekstil pada mulanya adalah rumah pribadi seorang warganegara Prancis yang dibangun pada abad ke-19. Awal abad ke-19 (1808-1809), Batavia sempat dikuasai Prancis setelah negeri Belanda ditaklukkan Napoleon Bonaparte.

Kemudian orang-orang Prancis membangun rumah dan tempat peristirahatan di daerah Petamburan yang kala itu masih merupakan kawasan elit dan jauh dari pusat kota Batavia. Warga Perancis juga banyak tinggal di Batavia. Mereka membuka toko, hotel serta perkantoran di Rijswijk (kini Jl Veteran), Noordwijk (Jl Juanda), dan Petamburan yang saat itu dikenal sebagai France Buurt (kawasan Prancis).

BACA JUGA:

> Humor Gus Dur: Minta Pindah RS karena Takut Melihat Malaikat Izrail Seliweran Habis Magrib

> Perbedaan Nasi Kapau dengan Nasi Padang yang Diboikot dan Diharamkan

> Cak Nun: Pantas Orang Jawa Gampang Dijajah, Wong Kita Terlalu Baik

Tidak diketahui nama warga Prancis yang membangun gedung megah yang ketika baru dibangun berluas dua hektar ini. Hanya disebutkan ia adalah seorang kaya raya dan gedung ini dibangun dengan gaya Islami yang mencampurkan gaya Eropa dan Timur Tengah serta disesuaikan iklim tropis.

Rumah yang berusia lebih satu abad ini sampai 1950-an memiliki tanah luas di bagian belakangnya. Gedung ini pernah dihuni Konsul Turki Sayyid Abdul Azis Al Musawi saat Turki masih merupakan Kesultanan Ottoman. Konsulat Turki ini menjadi salah satu tempat mengadu bagi orang Indonesia dalam menghadapi kekejaman penjajahan Belanda.

BACA JUGA: Setelah Wayang, Kini Nasi Padang yang Diharamkan

Sayyid Abdul Azis Al Musawi menikah dengan Siti Rohani yang merupakan putri pejuang kemerdekaan Pangeran Sentot Alibasyah yang menjadi anak angkat Sultan Bengkulu terakhir. Pasangan ini dikaruniai seorang putri bernama Syarifah Mariam yang kemudian menikah dengan Sayyid Abdullah bin Alwi Alatas.

Setelah Konsul Turki ini meninggal (1885) rumah tersebut berikut dua buah rumah yang berada di kiri kanannya, masing-masing Jl Petamburan (Jl Karel Satsuit Tubun No 2 dan No 6) dibeli menantunya, Sayyid Abdullah. Ia kemudian merenovasinya sebagaimana bentuknya sekarang ini.

BACA JUGA: Siapa Kakek yang Fotonya Sering Dipajang di Rumah Makan Nasi Padang yang Diharamkan

Menurut Abdullah bin Abbas Alatas, saat kakeknya, Sayyid Alwi Alatas, menempati rumah barunya itu semangat gerakan Pan Islam tengah berkobar di Jakarta. Bahkan, ia sendiri merupakan salah satu tokoh dari gerakan yang sangat ditentang Belanda ini.

Abdullah juga seorang kawan dari Shaikh Mohamad Abduh, murid Sayid Jamaluddin Al-Afghani, pencetus Pan Islam. Kawan dekat lainnya di luar negeri adalah Shaikh Yusuf an-Nabhani, mufti Lebanon.

BACA JUGA: Sujiwo Tejo Dikatain Kadrun karena tak Marah Saat Wayang Diharamkan

Untuk itu Sayyid beberapa kali mengunjungi Mesir dan Timur Tengah. Begitu bergairahnya ia membantu gerakan Pan Islam hingga ia mengirimkan empat orang putranya ke sekolah tinggi Turki yang ketika itu masih berbentuk khalifah dan menjadi salah satu pusat gerakan ini.

Pada 1916 Sayid menerbitkan majalah Borobudur berbahasa Arab sekaligus sebagai pemrednya. Kakek dari mantan menlu Ali Alatas dan mantan PM Yaman Selatan, Haydar Alatas, ini juga menyokong penerbitan harian Utusan Hindia, suratkabar pertama berbahasa Melayu dengan pemimpin redaksinya HOS Cokroaminoto.

BACA JUGA: Cak Nun: Pantas Orang Jawa Gampang Dijajah, Wong Kita Terlalu Baik

Surat kabar ini lahir sebelum Cokro mendirikan Sarikat Islam. Ia juga membantu keuangan Muhammadiyah dan Al-Irsyad ketika kedua organisasi Islam ini didirikan. Selain itu, Sayid juga ikut mendanai Arabithah Alawiyah dan sekolah Jamiatul Kheirnya.

Alatas School yang didirikannya di Jalan KH Mas Mansyur, Tanah Abang, (kini kantor kelurahan Kebon Kacang) merupakan sebuah sekolah Islam modern pertama yang mengajarkan pendidikan agama dan pendidikan Barat. Di kediamannya yang kini jadi Museum Tekstil itu juga pernah digunakan untuk Muktamar NU, seperti diungkapkan tokoh NU KH Mohamad Dachlan.

BACA JUGA: Cak Nun: Apakah Rasulullah Pernah Mengajarkan Tembang Tolak Bala?

Sayyid yang lahir di Pekojan, Jakarta Barat, (1840) ini oleh orang Betawi dijuluki tuan tanah Baghdad. Ia memang salah seorang terkaya di Batavia ketika itu. Konon, ia memiliki tanah dari Pondok Betung di Bintaro hingga ke Pondok Cabe seluas lima ribu hektar.

Di rumahnya itu ia sering kali mengumpulkan para pedagang kecil lalu membeli dagangan mereka untuk kemudian disumbangkan kepada orang-orang tak mampu yang banyak tinggal di sekitar tempat tinggalnya. Sayyid yang meninggal pada 1929 dalam usia 89 tahun dimakamkan di pemakaman wakaf Tanah Abang yang oleh Ali Sadikin digusur dan dijadikan rumah susun. Ketika wafat ia meninggalkan 30 ribu buku yang menurut cucunya, Abdullah bin Abbas, dihibahkan ke Madrasah Jamiatul Khair.

BACA JUGA:

> Humor Gus Dur: Minta Pindah RS karena Takut Melihat Malaikat Izrail Seliweran Habis Magrib

> Humor Gus Dur: Ditegur Gus Mus karena Dicium Artis Cantik, Dijawab Sampeyan Jangan Pengen

> Viral Pernikahan Beda Agama di Semarang, Mempelai Wanita Berhijab Ikut Pemberkatan di Gereja

TONTON VIDEO PILIHAN UNTUK ANDA:

iv>

.

Ikuti informasi penting seputar berita terkini, cerita mitos dan legenda, sejarah dan budaya, hingga cerita humor dari KURUSETRA. Anda juga bisa berpartisipasi mengisi konten di KURUSETRA dengan mengirimkan tulisan, foto, infografis, atau pun video. Kirim tulisan Anda ke email kami: kurusetra.republika@gmail.com. Jangan lupa follow juga Youtube, Instagram, Twitter, dan Facebook KURUSETRA.

 
Berita Terpopuler