Begini Cara Manusia Purba di China Mengolah Pewarna Oker

Oker kemungkinan telah digunakan Homo erectus di Kenya sejak 285 ribu tahun silam.

wikipedia common
Nihewan Basin, situs ditemukannya aktivitas manusia awal-awal di China.
Rep: Shelbi Asrianti Red: Dwi Murdaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Penggunaan oker, bahan pewarna cokelat yang menyerupai warna bijih besi, telah menjadi ciri khas manusia purba. Peninggalan arkeologi yang ditemukan di Xiamabei, China, menunjukkan hal menarik terkait pewarna tersebut.

Tim internasional melakukan penggalian pada 2013 di lokasi itu, tepatnya di tepi Sungai Huliu di wilayah China utara. Salah satu peninggalan yang menarik bukanlah oker itu sendiri, namun teknik pengolahannya.

Baca Juga

Arkeolog Temukan Jejak Homo Sapiens di Tepi Sungai China

Residu oker terdeteksi pada 10 alat yang ditemukan. Dalam dua kasus, oker berada di tepi aktif alat, menandakan oker dibuat sebagai lem, atau penggunaannya dalam pemrosesan kulit. Fasilitas pemrosesan oker prasejarah di lokasi itu diyakini lebih maju.

Menurut para ilmuwan, oker kemungkinan telah digunakan Homo erectus di Kenya sejak 285 ribu tahun silam. Studi lain mengidentifikasi hal sama di situs Neanderthal awal di Belanda 250 ribu hingga 200 ribu tahun yang lalu.

Meninjau temuan arkeologi di Xiamabei, para arkeolog percaya manusia purba di sana mengangkut berbagai jenis oker ke gua terlebih dahulu. Setelah itu, mereka menggiling serta menumbuknya untuk menghasilkan cat.

Cat kemungkinan dipakai untuk menghias lingkungan, tubuh, pakaian, peralatan, dan senjata mereka. Menurut tim penelitian di Xiamabei, jumlah cat yang dihasilkan cukup untuk menghias lantai tempat mereka memproduksinya.

Arkeolog mengidentifikasi sepotong oker kaya zat besi yang telah berulang kali dikikis untuk menghasilkan bubuk oker merah tua terang. Potongan kecil jenis oker yang berbeda tampaknya dihasilkan dari penghancuran potongan besar.


Ada juga lempengan batu kapur memanjang diwarnai dengan oker. Lokakarya untuk produksi dan penggunaan pigmen mineral di Xiamabei merupakan elemen budaya baru jika dibandingkan dengan situs sebelumnya.

Anggota tim internasional yang menganalisis artefak, Profesor Michael Petraglia, mengaku takjub dengan penemuan tersebut. Dia adalah periset di Institut Max Planck Jerman untuk Ilmu Sejarah Manusia.

"Kami bisa bercerita banyak tentang aktivitas hominin. Kami benar-benar melihat area aktivitas pemrosesan oker, yang belum pernah terjadi sebelumnya di China," ujar Petraglia, dikutip dari laman Haaretz.

Lantai tempat tinggal manusia purba dihias dengan nuansa oker yang berbeda, didominasi warna merah. Temuan itu dianggap sesuai dengan karakteristik yang digunakan masyarakat purba pemburu-pengumpul di seluruh dunia.

Penggunaan oker dan alat kecil memang lazim seperti temuan di daerah lain. Akan tetapi, 'industri' pemrosesan pigmen dan alat kecil yang dijumpai di Xiamabei adalah yang pertama dari jenisnya di wilayah tersebut.

Selain itu, tim menyimpulkan identifikasi spesies secara luas. Gua Tianyuan hanya berjarak 150 kilometer dari Xiamabei dan menampung spesimen Homo sapiens yang menunjukkan bukti genetik persilangan dengan Neanderthal.

Apakah manusia purba yang tinggal di Xiamabei 40 ribu tahun yang lalu bertahan? Hal itu masih jadi pertanyaan bagi peneliti. Belum diketahui apakah mereka memiliki keturunan atau jejak garis keturunan mereka punah.

Studi terpisah menunjukkan bahwa garis keturunan spesies 'tetangga' di Tianyuan 40 ribu tahun yang lalu kemungkinan bertahan. Mereka menjadi nenek moyang beberapa populasi Asia dan penduduk asli Amerika, terutama Amerika Selatan.

Seberapa jauh hal itu menjelaskan perkembangan manusia modern belum menemukan jawaban. "Hasilnya masih sangat terbuka karena masih banyak yang harus dipelajari. Lanskapnya rumit," ungkap Petraglia.

 
Berita Terpopuler