Bagaimana Muhammadiyah Memandang Tradisi Selamatan untuk Orang Meninggal?

Tradisi selametan umumnya dianut kaum Islam Abangan karena dipercaya mampu menyingkirkan mala petaka.

network /Kurusetra
.
Rep: Kurusetra Red: Partner

Acara Selamatan di sebuah masjid di Cibodas pada tahun 1907, dengan tumpeng sebagai menu utamanya. Foto: Wikipedia.

KURUSETRA -- Selametan, sebuah tradisi ritual masyarakat Sunda, Jawa, dan Madura. Selametan acara syukuran mulai dari pindah rumah, sunatan, pernikahan, hingga acara kematian yang dibarengi dengan tahlilan. Biasanya mengundang tentang dan kerabat, dimulai dengan doa bersama, dan diakhiri dengan ramah tamah alias makan makan. Namun bagaimanakah hukumnya dalam ajaran Islam?

Antropolog dari Amerika Serikat dalam Keluarga Jawa menuliskan, umumnya upacara selametan dianut kaum Islam Abangan. Sementara bagi kaum Islam Putihan (santri), praktik selametan tersebut tidak sepenuhnya dapat diterima, kecuali dengan membuang unsur-unsur syirik yang menyolok seperti sebutan dewa-dewa dan roh-roh.

BACA JUGA: Ancaman Dakwah Muhammadiyah Banyuwangi: Rumah Pimpinan Ditandai Silang, Sampai Ancaman Pembakaran RS

Karena itu bagi kaum santri, selamatan adalah upacara doa bersama dengan seorang pemimpin atau modin yang kemudian diteruskan dengan makan-makan bersama sekadarnya dengan tujuan untuk mendapatkan keselamatan dan perlindungan dari Allah.

Geertz mengkategorikan selametan ke dalam empat jenis utama. Pertama yang berkaitan dengan kehidupan: kelahiran, khitanan, pernikahan, dan kematian. Kedua yang terkait dengan peristiwa perayaan Islam. Ketiga bersih desa ("pembersihan desa"), berkaitan dengan integrasi sosial desa. Dan keempat berkaitan dengan kejadian yang tidak biasa misalnya berangkat untuk perjalanan panjang, pindah rumah, mengubah nama, kesembuhan penyakit, kesembuhan akan pengaruh sihir, dan sebagainya.

BACA JUGA: Humor Gus Dur: Pesawat Santri Terbang ke Matahari Biar Gak Panas Berangkatnya Habis Maghrib

Sebenarnya, kata selametan diambil dari bahasa Arab, yakni "salamah" yang berarti selamat, bahagia, sentosa. Selamat dapat dimaknai sebagai keadaan lepas dari insiden-insiden yang tidak dikehendaki. Sementara itu, Clifford Geertz slamet berarti ora ana apa-apa (tidak ada apa-apa). Upacara selametan adalah tradisi yang dipercaya akan menjauhkan diri dan keluarga dari mala petaka.

Bicara selametan dan tahlilan satu hari, lima hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, seribu hari, sampai haul untuk yang sudah wafat, menjadi perdebatan. Namun bagaimana tuntutannya dalam ajaran Islam.

BACA JUGA: Mengapa Orang Muhammadiyah tidak Tahlilan?

Dinukil dari Majalah Suara Muhammadiyah No.3, 2007, hukum mengadakan selamatan yang disertai dengan doa yang dipaketkan itu, tidak ada tuntunan dari Islam. Selamatan tiga hari, lima hari, tujuh hari, dan seterusnya itu adalah sisa-sisa pengaruh budaya animisme, dinamisme, serta peninggalan ajaran Hindu yang sudah begitu berakar dalam masyarakat Indonesia.

Karena hal itu ada hubungan dengan ibadah, maka kita kembali saja kepada tuntunan Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang ulama Yahudi yang masuk Islam, bernama Abdullah bin Salam, yang ingin merayakan hari Sabtu sebagai hari raya. Ia ditegur oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi, kita harus masuk kepada ajaran Islam secara menyeluruh (kaffah), tidak boleh sebahagian-sebahagiannya.

BACA JUGA: Islam Abangan: Menyukai Wayang Tapi tak Menduakan Tuhan

Seharusnya, ketika ada orang yang meninggal dunia, kita harus bertakziyah/melayat dan mendatangi keluarga yang terkena musibah kematian sambil membawa bantuan/makanan seperlunya sebagai wujud bela sungkawa. Pada waktu Ja’far bin Abi Thalib syahid dalam medan perang, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh kepada para shahabat untuk menyiapkan makanan bagi keluarga Ja’far, bukan datang ke rumah keluarga Ja’far untuk makan dan minum.

BACA JUGA: Ketua Muhammadiyah Musnahkan Wayang karena Gambarkan Nabi dan Malaikat

TONTON VIDEO PILIHAN UNTUK ANDA:

iv>

.

Ikuti informasi penting seputar berita terkini, cerita mitos dan legenda, sejarah dan budaya, hingga cerita humor dari KURUSETRA. Anda juga bisa berpartisipasi mengisi konten di KURUSETRA dengan mengirimkan tulisan, foto, infografis, atau pun video. Kirim tulisan Anda ke email kami: kurusetra.republika@gmail.com. Jangan lupa follow juga Youtube, Instagram, Twitter, dan Facebook KURUSETRA.

 
Berita Terpopuler