Sentimen Anti-Muslim di Asia, Umat Islam Diminta tak Merespons Secara Emosional

Sentimen anti-Islam, umat Islam di Indonesia diminta tak merespon secara emosional.

Republika/Prayogi
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Muti memberikan keterangan terkait Rancanan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila di Jakarta, Senin (15/6).
Rep: Kiki Sakinah Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID, JAKARTA - Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu'ti, menanggapi soal sentimen anti-Muslim yang menyebar di Asia, khususnya di India dan Indonesia. India saat ini menjadi sorotan terutama setelah siswi Muslim di negara bagian Karnataka dilarang mengenakan jilbab di dalam kelas.

Baca Juga

Mu'ti mengatakan, kecenderungan meningkatnya sentimen anti Islam di India lebih karena faktor politik. India sekarang ini dikuasai oleh partai Bharatiya Janata Party (BJP), partai Hindu Fundamentalis yang di antara cita-citanya menjadikan India sebagai negara Hindu.

Selain itu, menurut Mu'ti, faktor lain adalah demografi. India adalah negara yang diproyeksi oleh Pew Research Center sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia pada 2050. Bagi kelompok lain, ini bisa menjadi alasan untuk menekan Muslim.

Selanjutnya, kata dia, faktor sejarah-politik terkait masalah Kashmir-Punjab. Dalam berbagai kesempatan, pemerintah India menyatakan tindakan represif mereka adalah untuk melawan kelompok separatis.

"Saya kira alasan itu hanya dalih untuk membenarkan tindakan kekerasan," kata Mu'ti melalui pesan elektronik kepada Republika.co.id, Kamis (24/2/2022).

Pasalnya, sebelum BJP berkuasa, hubungan pemerintah India dengan Muslim terbangun dengan baik. Bahkan, dalam sejarah, jabatan presiden di India pernah diduduki seorang Muslim. Mu'ti mengatakan, selama beberapa tahun hal itu seakan menjadi konvensi untuk membangun kerukunan di India. Karena itulah, Mu'ti menyerukan agar pemerintah India menghentikan semua bentuk kekerasan terhadap masyarakat Muslim.

"Tindakan kekerasan bisa mengarah kepada pelanggaran HAM serta mempengaruhi hubungan politik India dengan negara-negara Muslim," ujarnya.

 

 

Adapun di Indonesia, Mu'ti menilai tidak menutup kemungkinan ada Islamofobia di Indonesia, tetapi itu tidak oleh pemerintah. Menurutnya, jika ada individu tertentu yang ditindak oleh aparatur keamanan itu lebih karena faktor pelanggaran hukum.

Meski demikian, ia mengatakan tidak bisa dipungkiri adanya sekelompok masyarakat yang tidak suka terhadap Islam dan Muslim. Menurutnya, penyebabnya banyak faktor, sebagian karena sentimen keagamaan.

Ia menyebut hal ini biasanya dilakukan oleh kelompok ekstrem dalam agama tertentu atau aliran ideologi tertentu. Sebagian juga karena kepentingan politik untuk meraih kekuasaan. Faktor lain adalah adanya kekhawatiran umat Islam akan mendirikan negara Islam. Di samping, mungkin juga karena ada sebagian umat Islam yang ekstrem dan berlebih-lebihan dalam beragama sehingga menimbulkan rasa tidak suka atau bahkan ketakutan bagi kelompok lain. 

Dalam menghadapi fenomena anti-Islam ini, Mu'ti mengimbau agar umat Islam tidak melakukan kekerasan atas tindakan yang dilakukan terhadap Muslim, termasuk oleh pemerintah India. Akan tetapi, umat Islam dikatakannya tidak boleh tinggal diam.

Untuk kasus di India, ia berpendapat pemerintah Indonesia bisa memanggil duta besar India untuk menjelaskan tindakan mereka terhadap Muslim dan mendesak dihentikannya semua bentuk kekerasan yang bertentangan dengan HAM.

"Di tengah fenomena anti-Islam, umat Islam Indonesia hendaknya tidak merespon secara emosional. Sebaiknya umat Islam bersikap dewasa dan berusaha memperbaiki diri dalam bersikap dan mengekspresikan Islam sesuai dengan ajaran rahmatan lil alamin," kata Mu'ti.

Sementara itu, ia juga menyarankan agar pemerintah Indonesia sebaiknya lebih sensitif terhadap suasana psikologis umat Islam dan lebih berhati-hati dalam mengambil kebijakan. Ia menekankan bahwa aparatur keamanan dan penegak hukum sudah seharusnya bersikap lebih tegas dan adil kepada siapapun yang melanggar hukum.

 

"Ada kesan, aparatur keamanan terlalu reaktif jika ada masalah yang terkait dengan Muslim dari kalangan tertentu. Kesan tersebut harus diakhiri dengan kerja yang lebih profesional, objektif, dan adil," tambahnya.

 
Berita Terpopuler