Dakwah tak Kenal Lelah KH Asrori Ahmad (II)

KH Asrori Ahmad sangat produktif menulis.

pxhere
(Ilustrasi) KH Asrori Ahmad dikenal sebagai salah seorang ulama yang produktif menulis
Rep: Muhyiddin Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID, Pada 1953, KH Asrori Ahmad menyudahi masa santri di Lasem. Ia pun kembali ke desa tempatnya dilahirkan. Tekadnya ialah mendirikan pondok pesantren di sana sebagai medium penyebaran ilmu-ilmu agama.

Baca Juga

Keinginan itu sempat dikonsultasikannya dengan para guru, semisal Kiai Asy'ari Demesan, KH Ma'shum, KH Baidlowi Lasem, serta KH Bisri Mustofa. Mereka semua mendukung rencananya itu. Maka, berdirilah Pondok Pesantren Roudlotut Thullab di Dusun Wonosari, Desa Prajegsari, Kecamatan Tempuran, Magelang.

Daerah Magelang memiliki reputasi yang baik bagi kaum Muslimin Jawa. Sebab, pada masa dahulu di sanalah salah satu basis perjuangan Pangeran Diponegoro saat melawan Belanda. Para kiai lokal juga setia dalam jalan jihad yang sama dengan sang pahlawan nasional.

Maka, kiprah Kiai Asrori dengan Pesantren Roudlotut Thullab kian membesarkan nama baik Magelang. Dirinya berkhidmat di jalan dakwah dan pendidikan, yakni dengan menum buhkan, membimbing, dan membina umat. Syiar Islam pun kian terbangun di tengah masyarakat.

 

Pendirian Roudlotut Thullab yang diasuh Kiai Asrori itu telah mengalami pasang surut. Hal itu tidak terlepas dari beberapa faktor pendukungnya. Pada 1976, sang pendiri mencoba menerapkan sistem madrasi (sekolah) dengan harapan pola pengajaran di sana akan lebih sistematis. Ternyata, tanggapan yang baik dan bahkan antusias datang dari masyarakat sekitar. Mereka merasakan kemanfaatan yang besar dari rencana tersebut.

Bersamaan dengan proses dimulainya perluasan dan pembangunan gedung, pada 1987 Kiai Asrori kemudian memanggil salah seorang putranya, Ahmad Said. Anaknya itu telah menamatkan pendidikan di Pesantren Roudlatul Ulum, asuhan KH Zamrodji, Kencong, Pare, Kediri.

Sejak kepulangan sang putra pada 1988, Pesantren Roudlotut Thullab semakin dinamis dan berbenah. Dalam hal ini, Ahmad Said dibantu seorang santri senior yang bernama Abdurrahman Masyhuri. Lambat laun, pesantren tersebut menjadi lebih tertata sedemikian rupa, baik dalam sistem pengajaran maupun kitab-kitab yang disajikan.

Selain mengelola pesantren, Kiai Asrori juga memantapkan dakwah bil kitabah atau penyebar an syiar Islam melalui tulisan. Ia aktif menulis dan juga menerjemahkan berbagai kitab kuning ke dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab-Pegon. Karya-karyanya tetap bisa dijumpai bahkan hingga kini. Kitabnya yang berjudul Nurudduja fi Tarjamati Safinatun Najah, misalnya, telah ratusan kali dicetak ulang. Karya ini pun banyak dikaji ataupun dijadikan referensi.

Jumlah kitab-kitab terjemahan yang ditulis Kiai Asrori mencapai ratusan judul dan meliputi berbagai disiplin ilmu. Di antara karya-karyanya yang masyhur adalah Tashil al-Rafiq fi Tarjamati Sullam al-Taufiq, Tarjamah Riyadl al- Shalihin, Tarjamah Irsyad al-Ibad, serta Tarjamah Risalah al-Muawanah. Semua itu meliputi berbagai disiplin, seperti fikih, hadis, akhlak, tauhid, tasawuf, dan sebagainya.

"Kakek saya itu, Kiai Asrori memang dikenal sebagai salah seorang ulama yang produktif menulis,"ujar Gus Nabil Haroen, salah satu cucu Kiai Asrori, saat berbincang dengan Republika, beberapa waktu lalu.

 

 

 

Sejarawan Rijal Mumazziq menjelaskan, dalam proses menyusun dan menerjemahkan kitab-kitab, Kiai Asrori terbilang unik. Sang kiai jarang menggunakan kamus, seperti Munjid, Mu'jamul Wasith, atau Al-Munawwir. Dirinya lebih suka membandingkan antara satu dan kitab lainnya yang serupa. Jika kurang mantap, ulama tersebut mendiskusikannya dengan para khaththath atau penulis kaligrafi kitab.

 
Berita Terpopuler