Kena Gangguan Tidur Setelah Sembuh Covid-19, Apa Pemicunya?

Penyintas Covid-19 dapat mengalami gangguan tidur.

Republika/Wihdan
Susah tidur (Ilustrasi). Sejak pandemi melanda, banyak orang yang mengalami susah tidur, termasuk mereka yang telah sembuh dari Covid-19.
Rep: Desy Susilawati Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Post Covid syndrome tak hanya menyerang fisik, tapi juga mental. Salah satunya berpengaruh pada kualitas tidur orang-orang yang telah sembuh dari Covid-19.

Dr Leonardi A Goenawan SpKJ menjelaskan, satu dari tiga orang penyintas Covid 19 akan mengalami gangguan saraf atau gangguan psikiatri dalam kurun waktu enam bulan setelah terinfeksi virus Covid 19. Hal itu merupakan kesimpulan studi observasional terhadap lebih dari 230 ribu rekam medis pasien yang dimuat dalam jurnal The Lancet Psychiatry pada April 2021.

"Gangguan psikiatri yang paling umum ditemukan menurut studi tersebut adalah insomnia dan gangguan kecemasan," jelas dokter spesialis kedokteran jiwa RS Pondok Indah – Puri Indah dan RS Pondok Indah – Bintaro Jaya ini dalam keterangan pers yang diterima Republika.co.id, Jumat (7/1/2022).

Baca Juga

Mengutip studi tersebut, Leonard menyebut, 13 persen dari pasien Covid-19 terdiagnosis mengalami keluhan masalah tidur dan gangguan kecemasan. Mereka tidak pernah memiliki riwayat gangguan tersebut sebelumnya.

Leonard mengatakan, tidur adalah bagian paling sentral dalam kehidupan. Tidur diperlukan untuk memastikan tubuh dapat melakukan tugasnya dengan baik melalui keteraturan irama sirkadian.

Menurut Leonard, ada tiga hal yang dianggap sebagai penyebab coronasomnia, gangguan tidur selama pandemi Covid 19. Hal tersebut tak saja dialami oleh penyintas, tetapi juga banyak orang lainnya.

Meningkatnya stres
Stres emosional akibat pandemi dapat mengubah arsitektur tidur. Stres dapat memperpendek durasi gelombang lambat yang bersifat restoratif, meningkatkan REM (rapid eye movement), dan cenderung membuat seseorang lebih sering terbangun di malam hari.

Kondisi ini, menurut Leonard, dapat tetap terjadi selama dua tahun setelah seseorang mengalami tekanan emosional yang berat, seperti saat pandemi. Stres juga akan meningkatkan kadar kortisol. Hormon ini bekerja berlawanan dengan melatonin, yakni hormon yang bertanggung jawab untuk kualitas tidur.

"Selama hormon kortisol kita tetap dalam konsentrasi yang tinggi, maka produksi melatonin akan terganggu, sehingga kualitas tidur juga akan terganggu," ujar Leonard.

Terjebak di rumah karena menjalankan isolasi mandiri juga memberikan tekanan tersendiri. Tak bisa keluar rumah selama berhari-hari dan kurangnya paparan sinar matahari, dapat menimbulkan stres dan dapat mengganggu irama sirkadian, yakni proses alami yang mengatur siklus tidur-bangun setiap harinya.

Hilangnya rutinitas harian
Perasaan terisolasi dapat berdampak negatif pada kesehatan mental. Sementara itu, ketiadaan aktivitas rutin cenderung membuat tidur lebih larut dan bangun lebih siang.

"Di samping kualitas tidur menjadi buruk, gangguan pada irama sirkadian tersebut juga akan berdampak pada fungsi biologis lainnya, termasuk pencernaan, respons imunitas, dan lainnya," tutur Leonard.

Mengorok bukanlah tanda tidur nyenyak. - (Republika)

Peningkatan konsumsi informasi
Terlalu banyak mengonsumsi informasi akan secara bermakna meningkatkan tekanan mental dalam bentuk kecemasan dan ketakutan. Belum lagi berhadapan dengan disinformasi dan hoaks.

"Durasi kita berada di depan monitor (screen time) dikaitkan dengan menurunnya kualitas tidur, terutama apabila dilakukan pada malam hari," jelas Leonard.

Sinar biru dari monitor akan merangsang tubuh untuk mempertahankan kadar kortisol tetap tinggi dan menekan produksi melatonin. Alhasil, orang sulit mendapatkan istirahat malam yang baik.

 
Berita Terpopuler