Moderasi Beragama dan Kekerasan Seksual Masih Jadi PR Kemenag

Indonesia ditantang mengelola permasalahan sosial keagamaan.

Kemenag
Moderasi Beragama dan Kekerasan Seksual Masih Jadi PR Kemenag. Menag Yaqut Cholil Qoumas.
Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas genap setahun memimpin Kementerian Agama pada 23 Desember 2021 selepas pencopotan Fachrul Razi oleh Presiden Joko Widodo pada 23 September 2020.

Baca Juga

Setelah dilantik pada 23 Desember 2020, di pundak Yaqut tersemat beban berat untuk mentransformasi Kementerian Agama ke arah yang lebih baik dan menjadi rumah bagi semua agama yang diakui di Indonesia, serta menjadi regulator dalam pembangunan sumber daya manusia di bidang keagamaan.

Ada enam program prioritas yang dicanangkan Yaqut, yaitu Penguatan Moderasi Beragama, Revitalisasi KUA, Transformasi Digital, Cyber Islamic University, Religiosity Index, dan Kemandirian Pesantren, termasuk di dalamnya soal kekerasan seksual di institusi pendidikan keagamaan.

Dari enam program prioritas itu, moderasi beragama dan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan keagamaan menjadi pekerjaan terbesar yang harus dituntaskan Kementerian Agama di bawah kepemimpinan Yaqut. 

Badan Litbang dan Diklat Kemenag meluncurkan buku Dinamika Moderasi Beragama di Indonesia. Buku ini disusun untuk merespons fenomena kelompok aliran atau organisasi keagamaan yang semakin eksklusif dan tidak ramah terhadap kelompok lain di luarnya.

 

Kondisi tersebut tidak terjadi secara natural, tetapi melalui proses indoktrinasi yang intens dari kelompok tertentu untuk kepentingan tertentu. Fenomena seperti ini jika dibiarkan bergerak liar akan menjadi ancaman serius.

Bahkan yang terbaru ada tiga kejadian yang mencederai kerukunan antarumat beragama saat pelaksanaan Natal. Umat Kristiani di tiga wilayah, yakni Tulang Bawang Lampung, Jambi, dan Lakarsantri Surabaya mendapat perlakuan yang tak mengenakkan akibat masalah yang tak terselesaikan.

Mantan menteri agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan setidaknya ada tiga tantangan yang harus dihadapi dalam proses penguatan moderasi beragama. Pertama, berkembangnya pemahaman dan pengamalan keagamaan yang berlebihan, melampaui batas, dan ekstrem sehingga malah bertolak belakang dengan esensi ajaran agama.

Tantangan kedua, munculnya klaim kebenaran atas tafsir agama. Menurutnya, ada sebagian orang yang merasa paham tafsir keagamaannya sajalah yang paling benar, lalu memaksa orang lain yang berbeda untuk mengikuti pahamnya, bahkan bila perlu dengan menggunakan cara paksaan dan kekerasan.

Sementara tantangan ketiga, pemahaman yang justru merongrong atau mengancam, bahkan merusak ikatan kebangsaaan. Ia mencontohkan pemahaman orang yang atas nama agama lalu menyalahkan Pancasila, mengharamkan hormat bendera, mengafirkan orang yang menyanyikan lagu Indonesia Raya, bahkan mengajarkan bahwa nasionalisme tidak penting karena tidak diajarkan agama.

 

"Jadi yang dimoderasi, diposisikan untuk berada di tengah, tidak ekstrem kanan dan kiri, itu cara beragamanya, bukan agama itu sendiri," kata Lukman dalam Rapat Koordinasi dan Percepatan Pelaksanaan Program Moderasi Beragama, Agustus silam.

Sementara menurut Yaqut, Indonesia sebagai negara multikultural dan multiagama, ditantang untuk mengelola keragaman dan permasalahan sosial keagamaan. Belakangan, ada beberapa orang yang memiliki pemikiran keagamaan eksklusif dan ekstrem.

Mereka mengklaim kebenaran hanya untuk dirinya sendiri dan menyalahkan orang lain. Hal ini menimbulkan ketegangan di masyarakat dan mengancam kerukunan intra dan antarumat beragama di Indonesia.

Ia menilai bahwa moderasi beragama merupakan upaya mengembalikan pemahaman dan pengamalan agama agar sesuai dengan esensinya, yaitu menjaga harkat dan martabat manusia, bukan sebaliknya. Dalam Islam, hak utama untuk hidup dan menghormati martabat manusia adalah hak asasi manusia.

Komitmen penguatan moderasi beragama diterjemahkan Yaqut ke sejumlah kebijakan serta arahan program moderasi beragama, seperti Kelompok Kerja (Pokja) Moderasi Beragama Kemenag yang sudah menyelesaikan peta jalan moderasi beragama. Kemudian, Kemenag sedang mengajukan penerbitan peraturan presiden (perpres) sebagai payung hukumnya.

 

Peta jalan tersebut nantinya akan menjadi panduan bersama, tidak hanya oleh jajaran Kemenag, tetapi juga kementerian/lembaga serta instansi terkait lainnya.Namun ada tantangan tersendiri dalam penguatan moderasi beragama. Bakal muncul kekhawatiran akan polarisasi di masyarakat yang justru dapat mempertajam konflik yang terjadi dengan pelabelan "moderat" dan "tidak moderat". Jika akhirnya muncul pelabelan itu, maka moderasi beragama telah gagal menjalankan tugasnya.

Kekerasan Seksual

Pada pertengahan Desember ini publik digegerkan dengan terungkapnya kasus pemerkosaan serta kekerasan seksual yang dilakukan Herry Wirawan, seorang guru sekaligus pemilik sekolah asrama berbasis agama di Kota Bandung, Jawa Barat. Ia diketahui telah memperkosa 12 santrinya --ada yang melaporkan jumlahnya lebih banyak--. Sebagiannya bahkan telah memiliki anak hasil perlakuan bejat dan tak termaafkan Herry Wirawan. 

Kementerian Agama merespons temuan itu dengan mengambil sejumlah langkah untuk mencegah dan mengungkap kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan keagamaan. Menag Yaqut mengatakan langkah pertama dengan melakukan investigasi di semua satuan pendidikan, mulai dari tingkat madrasah hingga perguruan tinggi keagamaan.

"Saya sudah memerintahkan kepada jajaran untuk melakukan investigasi kepada sekolah-sekolah seperti ini, 'boarding-boarding' ini, yang kita sinyalir terjadi pelanggaran serupa, kekerasan seksual, pelecehan seksual, dan seterusnya," ujar dia.

Langkah kedua, menjalin kerja sama dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), aparat kepolisian, dan pihak terkait lainnya dalam penanganan masalah kekerasan dan pelecehan seksual, termasuk dalam proses investigasi. Ia mengaku khawatir kasus pelecehan seksual yang belakangan mencuat di lembaga pendidikan merupakan fenomena gunung es yang selama ini tak terungkap akibat berbagai faktor.

 

Langkah terakhir, Kemenag akan memperbaiki prosedur pemberian izin operasional lembaga pendidikan keagamaan. Yaqut menggarisbawahi pentingnya pengetatan pelaksanaan verifikasi dan validasi sebelum menerbitkan rekomendasi.

"Jadi tidak boleh rekomendasi yang muncul dari Kementerian Agama itu hanya berupa kertas. Rekomendasi harus didasarkan pada hasil verifikasi dan validasi lapangan. Jadi petugasnya harus datang melihat, menyaksikan, baru mengeluarkan rekomendasi izin," kata dia.

Di satu sisi, Kementerian Agama juga mendorong siswa maupun mahasiswa tidak takut melapor jika menjadi korban kekerasan seksual di lingkungan pendidikan keagamaan. Kemenag akan memberi pendampingan dan perlindungan hukum bagi para korban demi menjerat para pelaku.

Perempuan rentan jadi korban kekerasan - (Republika)

 
Berita Terpopuler