Muslimah dan Tantangan dalam Peran Strategis

Ada isu-isu sensitif yang mungkin tidak berani dibicarakan perempuan.

Pixabay
Ilustrasi Muslimah
Rep: Umar Mukhtar Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID,  RAMALLAH -- Kholoud Al-Faqeeh adalah hakim wanita di Pengadilan Agama Islam di Palestina. Tak lama setelah dia diangkat menjadi hakim, tak sedikit yang bergumam tidak ingin perkaranya diputuskan oleh hakim wanita. Al-Faqeeh sedih mengetahui ini, tapi ia tidak terkejut, karena orang-orang telah lama terbiasa melihat pria sebagai hakim.

Baca Juga

Barulah pada 2009 Al-Faqeeh diangkat menjadi salah satu dari dua wanita pertama yang diangkat di Tepi Barat sebagai hakim pengadilan agama Islam. Kehadirannya di pengadilan mengatur masalah status pribadi mulai dari perceraian dan tunjangan hingga hak asuh dan warisan.

"Yang lebih menantang adalah pengadilan agama ini menangani kasus perempuan. Seluruh siklus hidup seorang wanita ada di depan pengadilan ini," ujar dia dilansir dari VOA News, Ahad (12/12).

Wanita seperti al-Faqeeh membuka jalan bagi orang lain untuk mengikuti jejak mereka. Di seluruh dunia, wanita mengajar di sekolah dan universitas Islam, memimpin lingkaran studi Alquran, berceramah dan memberikan bimbingan agama kepada umat beriman.

Al-Faqeeh mengatakan, ketidakhadiran wanita pada jabatan hakim dalam waktu yang lama di pengadilan Islam Palestina sebagian disebabkan oleh kebiasaan. Juga fakta bahwa banyak yang memandang jabatan itu sebagai posisi religius, seperti posisi seorang imam. Sebaliknya, dia melihatnya sebagai pengadilan yang bergantung pada aturan Syariah Islam.

Al-Faqeeh berpendapat, tidak ada alasan untuk mengecualikan perempuan. Dalam prosesnya, tentu ada tantangan, besar maupun kecil, hingga wanita bisa berkarir sesuai minatnya. Misalnya, setelah dia diangkat sebagai hakim, beberapa hakim laki-laki dan pegawai pengadilan tampak kurang senang.

 

 

Namun, kalangan perempuan justru merasa lega ketika kasusnya ditangani oleh hakim perempuan. Karena dengan begitu mereka dapat bicara secara terbuka tentang masalah pribadi yang sensitif. "Mimpi yang dulunya tidak mungkin menjadi mungkin," kata al-Faqeeh.

Ketua Komunitas London dan Windsor dalam Studi Islam di Huron University College di London, Ontario, Ingrid Mattson menyampaikan, dalam hal keilmuan, pria dan wanita bisa berperan sebagai apapun, misalnya sebagai cendekiawan agama, pembimbing spiritual, ataupun orang yang mengajarkan agama kepada orang-orang.

Ada beragam pandangan di berbagai daerah, budaya, dan mazhab pemikiran Islam tentang kebolehan dan ruang lingkup peran kepemimpinan perempuan dalam agama. Beberapa tradisi dan praktik Nabi Muhammad dilestarikan dan ditransmisikan oleh wanita terdekatnya, seperti istri-istrinya. Banyak wanita mengatakan bahwa itu memberikan dasar yang mereka coba bangun.

Mattson mengatakan, orang selalu bertanya apakah seorang wanita bisa menjadi imam. Menurutnya, pembingkaian itu mencerminkan konteks Barat yang berfokus pada sholat berjamaah yang dilakukan setiap pekan daripada apa yang dilakukan warisan Islam dalam hal memberikan kepemimpinan agama di seluruh masyarakat untuk memenuhi banyak kebutuhan yang berbeda.

Aziza Moufid, wanita berusia 40 tahun asal Maroko, adalah salah satu dari mereka yang telah mengambil jubah kepemimpinan dalam Islam. Dia menjadi pembimbing agama wanita di negara itu (mourchidat). Mourchidat dilatih di sebuah institut untuk siswa pria dan wanita yang didirikan oleh dan dinamai Raja Maroko Mohammed VI.

Lulusan perempuan mengajar kelas agama dan menjawab pertanyaan perempuan di masjid atau selama pekerjaan penjangkauan di sekolah, rumah sakit dan penjara. Moufid telah bekerja sebagai pembimbing sebagian besar melalui WhatsApp selama pandemi. Dia menggunakan platform untuk menjelaskan hadits nabi kepada anak-anak. Ia juga membantu wanita belajar menghafal dan membaca Alquran, menasihati gadis remaja tentang berbagai topik mulai dari akhlak, sholat, hingga menstruasi.

 

 

"Ada isu-isu sensitif yang mungkin tidak berani dibicarakan oleh sebagian dari mereka bahkan dengan ibu atau saudara perempuan mereka. Tapi tidak ada rasa malu di antara kita. Saya memberi tahu mereka, 'Saya saudara perempuan Anda. Saya adalah teman Anda. Saya ibumu'," katanya.

Direktur institut Mohammed VI Abdesselam Lazaar, seorang pria, mengatakan layanan "mourchidat" sangat diminati. "Para wanita di sini di Maroko sangat tertarik untuk menghafal Al-Qur'an dan belajar tentang agama," tuturnya.

Di belahan dunia lain di Amerika Serikat, Samia Omar, yang menjadi pembimbing agama Islam wanita pertama di Universitas Harvard pada 2019, juga mengungkapkan soal bagaimana kalangan perempuan Muslim bisa merasa lebih dekat dengan pembimbing agama.

Para mahasiswi senang bisa mengajukan pertanyaan tentang hal-hal seperti menstruasi kepadanya daripada kepada seorang pria. "Saya melayani dan mengajar gadis-gadis dan wanita muda ini dengan cara yang saya harap wanita lain akan membantu mengajar putri-putri saya nanti," katanya.

Omar tidak selalu berencana untuk menjadi pemimpin agama. Namun lika-liku hidupnya, termasuk pernikahan yang penuh kekerasan, perceraian, dan kehilangan seorang putri karena kanker, membawanya pada panggilan yang sekarang ia praktikkan bersama suaminya saat ini, yang juga menjabat sebagai pembimbing Muslim.

 

 

Selama perceraian, beberapa orang di masjidnya mencoba mencegahnya untuk mendapatkan hak asuh. Dia mengabaikan tekanan itu dan akhirnya memenangkan hak asuh penuh atas anak-anaknya, tetapi pengalaman itu membuat Omar merasa bahwa beberapa pria mengeksploitasi agama untuk menindas wanita. Itu bisa memiliki konsekuensi spiritual yang serius. "Banyak wanita muda tidak mengerti bahwa kita itu penting di mata Allah," ujarnya.

Banyak orang di AS telah menganjurkan peran yang lebih besar bagi perempuan di masjid, dari ruang sholat yang lebih baik untuk jamaah perempuan hingga lebih banyak kursi di dewan pemerintahan dan budaya masjid yang lebih ramah. Beberapa juga menyerukan model kepemimpinan yang lebih terdesentralisasi di masjid-masjid, yang mencakup cendekiawan residen perempuan yang dibayar di samping imam laki-laki.

Tamara Gray, dari Rabata, organisasi nirlaba yang bekerja untuk memberdayakan perempuan Muslim, mengatakan, perubahan membutuhkan banyak kesabaran dan banyak diskusi dan mampu menjadi berani. Dia mendirikan organisasi nirlaba yang berbasis di Minnesota, yang programnya mencakup kursus online dalam ilmu-ilmu Islam.

 

Melalui pertemuan virtual yang berfokus pada pertumbuhan spiritual dan ibadah, wanita dapat mengalami berada di ruang suci dan kemudian kembali ke masjid mereka sendiri hingga merasa bahwa masjid ini membuat mereka merasa dihargai dan dihormati.

 
Berita Terpopuler