Wadi Hanifah, Destinasi Favorit Warga Saudi

Upaya restorasi Wani Hanifah mulai dilakukan di penghujung tahun 2010.

Tangkapan Layar Youtube
Wadi Hanifah
Rep: Fuji Eka Permana Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID, Wadi Hanifah, lembah yang membentang sepanjang 120 kilometer dari barat laut ke tenggara Riyadh ini pun membuat suasana ibu kota Arab Saudi tersebut terasa lebih sejuk dan damai. Tak heran, jika Wadi Hanifah kini menjadi salah satu destinasi warga setempat untuk bersantai.

Baca Juga

"Aku datang ke sini sepanjang waktu, siang dan malam, ucap Hussein al-Doseri,"salah satu warga Riyadh seperti dilansir laman Aramco World.

"Itu membuatku bahagia, bersantai, dan menghabiskan waktu bersama keluargaku di te pi air. Karena itu, jika aku ingin bertemu teman, aku akan langsung mengajak mereka ke sini,"kata dia.

Hussein mengatakan, sebelum Wadi Hanifah jadi seperti sekarang, sangat sulit untuk mencapai wilayah ini, mengingat wilayah ini sebelumnya adalah tempat pembuangan sampah-sampah industri.

"Sebelum semua ini, tidak ada layanan di sini, tidak ada jalur, tidak ada rute. Sekarang mudah, katanya.

Upaya restorasi Wani Hanifah mulai dilakukan di penghujung tahun 2010, saat proyek teknik lingkungan menyasar lembah ini untuk memenangkan penghargaan Aga Khan dalam bidang arsitektur. Upaya reboisasi cukup memakan waktu, mengingat mereka harus mampu menyulap Wadi Hanifah menjadi ruang bernapas.

 

Tak banyak yang tahu jika Wadi Hanifah berkontribusi besar dalam sejarah terbentuknya Arab Saudi. Pada tahun 1744, Wadi Hanifah dipilih sebagai tempat berlangsungnya perjanjian antara Muhammad bin Sa'ud, penguasa Dir'iyyah, sebuah kota di Wadi Hanifah, dan cendekiawan agama Muhammad bin Abdul Wahhab dari Al Uyayna di hulu wadi.

Dalam perjanjian itu tercapailah kesepakatan yang dikenal sebagai Negara Saudi Pertama. Aliansi yang terbentuk dari perjanjian ini, yang disebut Sa'udi-Wahhabi, bahkan masih ada hingga detik ini.

Namun, tak lama setelah perjanjian berlangsung, pasukan Sa'udi berangkat dari markas mereka di Dir'iyyah, dan melancarkan serangan untuk menaklukkan sebagian wilayah Arab. Namun, serangan yang dilakukan pada 1818 itu berujung pada kekalahan telak.

Mereka memutuskan meninggalkan Dir'iy yah, dan pindah ke hilir Riyadh. Pada 1902, Abdul Aziz bin Sa'ud berhasil merebut Riyadh, dan menjadi awal terbentuknya Kerajaan Arab Saudi modern pada 1932, dengan Riyadh sebagai ibu kotanya.

 

Kata 'wadi' sendiri, dalam bahasa Arab, memiliki arti lembah yang berkelok-kelok, dan selalu kering. Meski demikian, selama ribuan tahun, wadi selalu dipenuhi permu kiman. Sebab, walau kering sepanjang tahun, wila yah ini tetap subur berkat kandungan air tanah (akuifer) yang berada di dekat permukaan.

Berabad-abad sebelum Islam, suku yang tinggal di sekitar Wadi Hanifah dikenal sebagai Banu Hanifah. Sebagian besar dari mereka berprofesi sebagai petani dan pedagang. Di antara kota-kota yang mereka dirikan, salah satunya adalah Haji, yang menjadi ibu kota al-Yamamah.

Pada abad ke-14, kota itu digambarkan sebagai kota yang indah dan subur, dengan air yang melimpah. Kota ini akhirnya berganti nama menjadi al-Riyadh yang berarti kebun, dan bertahan hingga kini. 

Riyadh yang bermula sebagai sebuah desa, mulai berkembang menjadi kota kecil. Namun, sejak awal 1970-an, seperti dikatakan Abdullatif al-Asheikh, presiden Otoritas Pengembangan Arriyadh, terdapat ekspansi signifikan di wilayah Riyadh, khususnya dalam bidang industri, yang dapat berdampak buruk bagi Wadi Hanifah.

Pertumbuhan industri yang cepat dinilai mulai merusak ekosistem. Penggalian batu dan tanah melemahkan tepian saluran penahan banjir, ditambah penambangan mineral yang tidak terkendali. Perkebunan kelapa sawit juga menyerap banyak air dari Wadi Hanifah, ditambah saluran yang terhambat karena pembuangan limbah pabrik yang tak terkontrol. Akibatnya, banjir bandang musiman terjadi di sana, dan menyebabkan erosi. 

"Air limbah pun membanjiri permukiman sekitarnya. Kita tidak bisa tinggal lebih lama lagi di sini. Kami harus meninggalkan lembah, "ucap salah satu petani yang tinggal di Wadi Hanifah.

 

 

Jadi tempat favorit

Fitur utama dari proyek restorasi Wadi Hanifah adalah untuk menentukan saluran alir an banjir lembah ini dan member sihkannya dari puing-puing bangunan dan industri. Ke mudian, meminimalkan dampak destruktif dari banjir.

Keringat dan kerja keras para arsitektur lingkungan untuk menampilkan wajah baru Wadi Hanifah akhirnya menuai buah manis. Kini, Wadi Hanifah bukan lagi daerah pembuangan limbah, melainkan tempat favorit war ga sekitar untuk bersantai di bawah naung an 30 ribu pohon akasia yang tersebar di sekitar Wadi serta suara gemericik air jernih yang mengalir di sepanjang lembah.

Untuk menambah kenyamanan, Wadi Hanifah juga dilengkapi dengan jalan setapak sepanjang 7,4 kilometer, tempat parkir yang mampu menampung 2.000 kendaraan, serta ratusan toilet umum. Kami tidak memiliki ruang terbuka di Riyadh. Tidak ada taman, tidak ada pantai.

Wadi Hanifah telah menjadi tempat untuk bernapas, kata Saud al-Ajmi, salah satu warga Riyadh saat bersantai di Wadi Hanifah. Wadi Hanifah kini bertindak seperti baling-baling yang mengembuskan angin se juk, meringankan polusi, dan mengusir panas. Di sekitar Wadi terdapat koridor hijau tempat tumbuhnya tanaman perdu seperti pohon tamarisk dan akasia.

"Kami sengaja menanam untuk membiarkan wadi menemukan keseimbangan alaminya sendiri. Semua semak-semak ini akan me nipis seiring waktu. Penanam an yang berle bihan juga mendorong perbanyakan benih. Ini membantu mengisi wadi dengan spesies asli,"jelas arsitek lansekap Christopher Walter yang ambil bagian dalam proyek reboisasi Wadi Hanifah. 

 

Walter sengaja tidak menanam kurma. Mengapa? Pohon kurma dapat menyerap air sebanyak 52 liter sehari di musim panas. Tetapi, jika bola akar pohon kurma terusmenerus terendam, ia akan mati. Kurma yang kita tanam di sini gagal karena tingkat air tanah yang tinggi, jadi kita telah menggantinya dengan rosewood yang tahan air, dan lainnya.''

 
Berita Terpopuler