74 Tahun Berlalu, Warga Palestina tanpa Kewarganegaraan

Hak-hak warga Palestina harus dipertahankan, tidak dapat diubah atau dicabut.

AP/Nasser Nasser
Warga Palestina berkumpul di bagian pembatas pemisah Israel, sementara mereka menunggu tentara Israel mengizinkan mereka melintasi pagar, di desa Nilin, Tepi Barat, barat Ramallah, Ahad ( 7/11//2021). Hampir dua dekade setelah Israel memicu kontroversi di seluruh dunia dengan membangun penghalang selama pemberontakan Palestina, itu telah menjadi fitur yang tampaknya permanen dari lanskap - bahkan ketika Israel mendorong warganya untuk menetap di kedua sisi.
Rep: Fergi Nadira Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, Tanggal 29 November 2021 merupakan peringatan 74 tahun pemisahan tanah air Palestina. Impian para warganya untuk merasakan sebuah negara merdeka tampaknya sangat sulit.

Seperti dilansi Middle East Monitor, Selasa (30/11), pada 29 November 1977 PBB melembagakan Hari Solidaritas Internasional dengan Rakyat Palestina. Dewan Nasional Palestina yang berafiliasi dengan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), pada Ahad (28/11) lalu menegaskan bahwa hak-hak Palestina harus dipertahankan, tidak dapat diubah, tidak dapat dicabut dan tak akan hilang.

Dewan meminta PBB dan negara-negara yang berdiri di belakang Israel, terutama Inggris, untuk memikul tanggung jawab hukum dan moral mereka. Mereka juga mendesak untuk menerapkan bagian lain dari Resolusi partisi dengan mendirikan negara Palestina, dan Yerusalem sebagai ibukotanya.

Badan itu juga mendesak parlemen di seluruh dunia untuk menunjukkan solidaritas mereka dengan hak-hak rakyat Palestina dan mengutuk pendudukan Israel dan kebijakan pemukimannya.

Baca Juga

Resolosi

Menilik sejarahnya, pada 29 November 1947, Majelis Umum PBB mengadopsi Resolusi 181. Resolusi itu menyerukan pembagian Mandat Palestina menjadi tiga wilayah, termasuk negara-negara Yahudi dan Arab, setelah berakhirnya Mandat Palestina Inggris. Pertama, adalah negara Arab dengan luas sekitar 11136,95 kilometer persegi (4.300 mil persegi), terletak di wilayah Galilea barat di kota Acre di Tepi Barat, dan pantai selatan yang membentang dari kota Ashdod hingga Rafah dengan bagian dari gurun di sepanjang perbatasan dengan Mesir.

Kedua adalah negara Yahudi di area seluas 14762,93 km persegi (5.700 mil persegi), terletak di dataran pantai dari Haifa ke selatan Tel Aviv dan Galilea timur, termasuk Danau Tiberias, Galilee Panhandle, dan gurun Negev. Sedangkan yang ketiga Yerusalem dan Betlehem serta tanah tetangga mereka ditetapkan sebagai wilayah perwalian PBB.

Meskipun orang Yahudi pada saat itu membentuk 33 persen dari total populasi dan hanya memiliki 7 persen dari tanah, Resolusi 181 memberi mereka sebuah negara di 56,5 persen dari total wilayah Palestina secara historis. Orang Arab, yang memiliki mayoritas tanah dengan 67 persen populasi, hanya ditunjuk 43,5 persen dari tanah itu.

Usai Partisi

Resolusi PBB mendapat penolakan langsung dari Palestina dan Arab. Liga Arab mengecam Resolusi tersebut sebagai "ilegal". Resolusi tersebut tidak dilaksanakan karena kelompok bersenjata Yahudi menguasai sebagian besar wilayah Palestina pada 1948 di bawah rencana yang mengandalkan peningkatan frekuensi serangan terhadap kota-kota dan desa-desa Palestina.

Pada tahun yang sama, Inggris menarik diri dari Palestina, dan organisasi bersenjata Yahudi merebut tanah Palestina sehingga mereka mendirikan negara Israel. Tiga perempat dari Palestina berada di bawah kendali Israel. Yordania memerintah Tepi Barat dan Jalur Gaza berada di bawah otoritas Mesir.

Dalam Perang Arab-Israel 1967, Israel menduduki Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur, Jalur Gaza, Semenanjung Sinai Mesir, dan Dataran Tinggi Golan Suriah setelah kekalahan tentara Arab. Terlepas dari penandatanganan Persetujuan Oslo antara Israel dan PLO pada 1993, Israel masih belum puas dengan hasilnya.

Israel terus menduduki tanah Palestina dengan memperluas pemukimannya, dan merampas hak-hak paling dasar warga Palestina. Hukum internasional menganggap Tepi Barat dan Yerusalem Timur sebagai wilayah pendudukan dan menganggap semua aktivitas pembangunan permukiman Yahudi di sana ilegal.

Nihil Solusi

Para ahli menilai tidak ada harapan di masa mendatang untuk pembentukan negara Palestina. Seorang penulis dan analis politik, Talal Okal mengatakan, setelah bertahun-tahun, pembentukan Negara Palestina di perbatasan pra-1967 telah menjadi "impian yang dibuat-buat."

"Tidak ada ruang untuk solusi berdasarkan negosiasi yang akan memberikan Palestina sebuah Negara merdeka, terlepas dari perbatasan, ukuran, dan spesifikasinya," kata Okal kepada Anadolu Agency.

Selain menganggap Israel bertanggung jawab atas situasi Palestina saat ini, Okal mengatakan tidak ada tekanan yang dilakukan pada Israel untuk memberikan hak-hak mereka kepada Palestina. Hal ini terutama mengingat percepatan normalisasi Arab-Israel, perpecahan antar-Palestina, hingga penurunan dukungan internasional.

Okal meyakini pilihan utama yang tetap terbuka bagi Palestina dalam upaya mendirikan negara merdeka. Menurutnya opsi itu dengan menghidupkan kembali konflik dengan Israel.

Sementara menghargai solidaritas internasional dengan perjuangan Palestina, ia harus berpendapat bahwa itu tetap menjadi masalah hubungan masyarakat yang tidak memiliki dampak nyata di lapangan. "Palestina perlu memahami bahwa proyek Zionis adalah ekspansionis dan kolonial, dan tidak hanya berusaha untuk mendirikan negara bagi orang-orang Yahudi di tempat geografis tertentu," kata Okal.

"Kita harus menghidupkan kembali konflik (dengan Israel) lagi," katanya.
a

 
Berita Terpopuler