Omicron Muncul karena Rendahnya Capaian Vaksinasi

Produsen vaksin mulai memodifikasi vaksin Covid-19 hadapi varian Omicron.

EPA-EFE/AARON UFUMELI
Warga Zimbabwe berjalan di bawah papan yang mengajak masyarakat mau divaksinasi Covid-19 di Harare, Zimbabwe, Ahad (28/11). Zimbabwe merupakan salah satu negara di Afrika bagian selatan yang terkena larangan masuk ke negara lain akibat B.1.1.529 atau varian Covid-19 Omicron.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Kamran Dikarma, Idealisa Masyrafina, Rizky Jaramaya

Varian baru Omicron diperkirakan bisa muncul karena rendahnya tingkat vaksinasi Covid-19 di negara-negara Afrika. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres dalam pertemuan Senin (29/11) mengisyaratkan dugaan tersebut.

“Orang-orang Afrika tidak dapat disalahkan atas rendahnya tingkat vaksinasi yang tersedia di Afrika, dan mereka tidak boleh dihukum karena mengidentifikasi serta berbagi informasi ilmu pengetahuan dan kesehatan yang penting dengan dunia,” kata Guterres, dikutip dari laman All Africa, Selasa (30/11). Pernyataan Guterres muncul akibat kekhawatirannya terhadap larangan penerbangan dari negara-negara Afrika ke berbagai negara dunia.  

Dilansir dari BBC, tercatat baru sekitar 41 persen orang dewasa di Afrika Selatan (Afsel) yang telah menerima satu dosis vaksin dengan 35 persen orang dewasa divaksinasi penuh. Tingkat vaksinasi harian Afsel telah menurun dan saat ini di bawah Inggris, Uni Eropa dan negara-negara lain.

Afrika Selatan telah menghadapi tantangan dengan lebih sedikit orang yang datang untuk vaksinasi dan melakukan kurang dari 150 ribu vaksinasi sehari dari target 300 ribu. Baru-baru ini negara itu meminta Pfizer untuk menunda pengiriman vaksin karena jumlah stok yang menumpuk.

"Kami khawatir bahwa wabah ini sebagian besar di antara kaum muda, jadi ini adalah risiko yang sangat tinggi," kata Menteri Kesehatan Joseph Phaahla. Sekitar 26 persen dari mereka yang berusia 18 hingga 35 tahun sudah divaksinasi satu dosis dan baru 21 persen yang divaksinasi lengkap.

Departemen Kesehatan di Afrika Selatan percaya bahwa kesalahan informasi vaksin telah memainkan peran. Beberapa tema anti-vaksinasi yang terlihat di tempat lain di dunia telah menemukan resonansi tertentu di Afrika Selatan.

Baca Juga

Guterres menyarankan, peningkatan metode pengujian terhadap pelaku perjalanan luar negeri ketimbang pelarangan bagi negara-negara Afrika bagian selatan. Ia mengimbau negara-negara mempertimbangkan pengujian Covid-19 berulang kepada para pelancong atau wisatawan asing dibarengi dengan langkah-langkah tepat serta efektif lainnya. Guterres mengatakan penting mengambil semua tindakan yang memungkinan perjalanan dan keterlibatan ekonomi.

Sebelumnya Namibia menyesalkan keputusan sejumlah negara menerapkan larangan perjalanan terhadapnya dan negara-negara Afrika bagian selatan lainnya menyusul penemuan varian Omicron. Namibia menilai, langkah itu tak dapat diterima serta diskriminatif.

“Kementerian Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pariwisata menyesalkan keputusan Inggris menempatkan Namibia dan negara-negara saudara lainnya dari wilayah SADC (Southern African Development Community) dalam daftar merah karena terdeteksinya varian Covid-19 Omicron di Botswana dan Afrika Selatan," kata Kementerian Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pariwisata Namibia, kemarin, dikutip dari Xinhua News Agency.

Namibia pun menyampaikan ketidakpuasannya atas keputusan larangan perjalanan yang turut diambil sejumlah negara Uni Eropa, termasuk di Asia. "Larangan perjalanan dan pembatasan yang diberlakukan pada negara-negara dari wilayah SADC tidak memiliki dasar ilmiah serta tidak dapat diterima, diskriminatif, dan bertentangan dengan pedoman dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)," kata Kementerian Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pariwisata Namibia.

Ia menegaskan, larangan perjalanan merupakan pukulan telak bagi industri pariwisata negara-negara SADC. Sebab banyak masyarakat yang menggantungkan kehidupan dan mata pencahariannya di sektor tersebut.

WHO memang telah meminta negara-negara dunia mengkaji ulang penerapan larangan perjalanan dari negara-negara Afrika bagian selatan. WHO mengimbau agar keputusan terkait dengan penanganan pandemi didasarkan pada sains dan peraturan kesehatan internasional. “Karena semakin banyak negara memberlakukan larangan penerbangan terhadap negara-negara Afrika selatan karena kekhawatiran atas varian baru (Covid-19) Omicron, WHO mendesak negara-negara untuk mengikuti sains dan peraturan kesehatan internasional guna menghindari penggunaan pembatasan perjalanan,” kata WHO dalam sebuah pernyataan pada Ahad (28/11).




 

Penyebaran Omicron memicu perhatian serius tak hanya dari pemimpin dunia. Efektivitas vaksin terhadap varian baru ini juga dipertanyakan.

CEO Moderna Stephane Bancel mengatakan, vaksin Covid-19 yang beredar saat ini kurang efektif dalam menangkal varian baru Omricon. Hal ini memicu kekhawatiran bahwa resistensi vaksin dapat menyebabkan lebih banyak penyakit dan rawat inap, sehingga memperpanjang pandemi.

"Saya pikir, tidak ada di dunia ini, di mana (efektivitas vaksin) berada pada level yang sama dengan Delta. Saya pikir itu akan menjadi penurunan materi. Saya tidak tahu berapa banyak, karena kita perlu menunggu datanya. Tetapi semua ilmuwan yang saya ajak bicara mengatakan, 'ini tidak akan baik-baik saja'," kata Bancel.  

Akhir pekan lalu, Moderna Chief Medical Officer Paul Burton mencurigai pula varian Omicron yang kini tengah menyebar mungkin dapat menghindari keampuhan vaksin. Jika vaksin yang ada saat ini memang tak jitu menghadapi Omicron, maka diperlukan vaksin baru. “Jika kita harus membuat vaksin baru, saya pikir itu akan pada awal 2022, sebelum benar-benar tersedia dalam jumlah besar,” ucap Burton.

Dia cukup yakin Moderna dapat memformulasikan dan menyediakan vaksin tersebut. “Hal yang luar biasa tentang vaksin mRNA, platform Moderna, adalah kami dapat bergerak sangat cepat,” ujarnya.
 
Sementara perusahaan farmasi asal Amerika Serikat (AS), Pfizer, sudah mulai mengembangkan vaksin untuk Covid-19 varian Omicron. Hal itu dilakukan guna mengantisipasi jika vaksin yang tersedia saat ini tak ampuh melawan varian baru tersebut.

CEO Pfizer Albert Bourla mengungkapkan perusahaannya mulai menguji keampuhan vaksin saat ini terhadap Omicron pada Jumat (26/11) lalu. “Saya tak berpikir hasilnya adalah vaksin (saat ini) tak melindungi,” katanya saat diwawancara CNBC.

Namun dia menyebut pengujian dapat menunjukkan bahwa vaksin yang ada saat ini hanya memiliki sedikit perlindungan terhadap Omicron. Artinya, vaksin baru perlu dibuat dan dikembangkan. “Jumat kami membuat template DNA pertama kami, yang merupakan kemungkinan pertama dari proses pengembangan vaksin baru,” ujar Bourla.

Bourla mengungkapkan situasi yang sekarang sedang berlangsung mirip seperti awal tahun ini. Kala itu Pfizer dan mitranya, BioNTech, berusaha mengembangkan vaksin baru di tengah penyebaran cepat varian Delta. Kala itu, turut ada kekhawatiran vaksin yang sudah tersedia memiliki efikasi rendah terhadap varian tersebut.

Namun vaksin baru yang dikembangkan Pfizer dan BioNTech selama 95 hari pada akhirnya tak digunakan. Sebab vaksin dengan formula sebelumnya ternyata efektif melawan Delta. Bourla mengatakan Pfizer berharap dapat memproduksi 4 miliar dosis vaksin pada 2022.

Sebelumnya BioNTech juga telah mengumumkan saat ini pihaknya tengah mengembangkan vaksin untuk melawan varian Omicron. Namun belum diungkap tentang apakah mereka akan memformulasikan ulang vaksinnya yang telah dikembangkan bersama Pfizer. “Pengembangan vaksin yang diadaptasi adalah bagian dari prosedur standar perusahaan untuk varian baru (Covid-19),” kata BioNTech dalam sebuah pernyataan pada Senin.

Munculnya varian Omicron telah memicu alarm global. Ketakutan varian baru telah mendorong negara-negara di seluruh dunia untuk bergerak cepat memperketat kontrol perbatasan. Mereka mencegah terulangnya penguncian ketat tahun lalu dan penurunan ekonomi yang tajam.

Otoritas Hong Kong telah memperluas larangan masuk bagi non-warga negara dari beberapa negara seperti Angola, Ethiopia, Nigeria dan Zambia mulai 30 November. Selain itu, non-penduduk yang telah bepergian ke Austria, Australia, Belgia, Kanada, Republik Ceko, Denmark, Jerman, Israel dan Italia dalam 21 hari terakhir tidak akan diizinkan memasuki kota mulai 2 Desember.

Di Australia, lima pelancong dinyatakan positif Omicron. Mereka saat ini sedang menjalani karantina. Para pejabat menambahkan bahwa, mereka tidak menunjukkan gejala atau menunjukkan gejala yang sangat ringan.

Kementerian Kesehatan Singapura mengatakan, dua pelancong dari Johannesburg yang positif Omicron di Sydney telah transit melalui bandara Changi. Australia menunda pembukaan kembali perbatasan negara untuk pelajar internasional dan migran terampil.

"Kami melakukan ini karena sangat berhati-hati, tetapi pandangan kami bahwa, (Omicron) adalah varian yang dapat dikelola," kata Menteri Kesehatan Federal Australia Greg Hunt, dikutip dari Reuters.

Dunia Khawatirkan Varian Omicron - (Infografis Republika.co.id)

 
Berita Terpopuler