Indonesia Bersiap Tinggalkan Bisnis Batu Bara

Batu bara adalah kontributor tunggal terbesar terhadap perubahan iklim.

Antara/Prasetyo Utomo
Truk membawa batubara di area pertambangan (ilustrasi).
Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Idealisa Masyrafina, Intan Pratiwi

Baca Juga

Negara pengguna batu bara utama termasuk Polandia, Vietnam dan Chili berkomitmen untuk beralih dari bahan bakar fosil, dalam janji yang dibuat pada Konferensi Tingkat Tinggi KTT Iklim COP26. Tetapi beberapa negara yang bergantung pada batu bara terbesar di dunia, termasuk Australia, India, China, dan AS, tidak menandatangani janji tersebut.

Batu bara adalah kontributor tunggal terbesar terhadap perubahan iklim. Inggris mengatakan 190 negara dan organisasi telah bersumpah untuk berhenti menggunakan batu bara.

Penandatangan perjanjian telah berkomitmen untuk mengakhiri semua investasi pembangkit listrik tenaga batu bara baru di dalam negeri dan internasional. Mereka juga telah sepakat untuk menghentikan pembangkit listrik tenaga batu bara pada 2030-an untuk negara-negara ekonomi utama, dan 2040-an untuk negara-negara miskin.

"Akhir dari batu bara sudah di depan mata. Dunia sedang bergerak ke arah yang benar, berdiri siap untuk menutup nasib batu bara dan merangkul manfaat lingkungan dan ekonomi dari membangun masa depan yang didukung oleh energi bersih," kata Menteri Bisnis dan Energi Inggris Kwasi Kwarteng, dilansir di BBC, Kamis (4/11).

Lebih dari 40 negara telah menandatangani pernyataan tersebut. Polandia, Vietnam, dan Chili termasuk di antara 18 negara yang setuju untuk menghentikan dan tidak membangun atau berinvestasi dalam pembangkit listrik tenaga batu bara baru untuk pertama kalinya.

Sementara Indonesia, menurut Menkeu Sri Mulyani, apat menghentikan pembangkit listrik tenaga batu bara secara bertahap hingga 2040 jika mendapat bantuan keuangan yang cukup dari masyarakat internasional.

Indonesia merupakan negara berpenduduk terpadat keempat di dunia dan penghasil gas rumah kaca terbesar ke-8, dengan batu bara membentuk sekitar 65 persen dari bauran energinya. Indonesia juga merupakan pengekspor batu bara terbesar di dunia.

Sri Mulyani mengatakan Indonesia pada Rabu mengumumkan rencana terperinci untuk beralih ke energi yang lebih bersih, dengan penghapusan batu bara sebagai isu utama.

Sebelumnya, Pemerintah Indonesia mengatakan berencana menghentikan penggunaan batu bara untuk listrik pada 2056, sebagai bagian dari rencana untuk mencapai emisi nol karbon bersih pada 2060 atau lebih awal.

"Kalau kami mau majukan sampai 2040, kami perlu dana untuk menghentikan penggunaan batu bara lebih awal dan untuk membangun kapasitas baru energi terbarukan.Itulah yang sekarang menjadi isu utamanya dan saya sekarang sebagai menteri keuangan menghitung apa dampaknya bila menghentikan penggunaan batu bara lebih awal. Berapa biayanya?," Kata Menkeu.

Pada pakan lalu Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengatakan kepada parlemen Inggris bahwa Presiden RI Joko Widodo telah mengatakan Indonesia akan memajukan waktu untuk penghapusan penggunaan batu bara hingga 2040. Namun, Pemerintah Indonesia sebelumnya belum mengonfirmasi rencana tersebut.

Sri Mulyani mengatakan bahwa untuk memenuhi target tersebut tergantung pada bantuan keuangan yang didapatkan Indonesia dari lembaga multilateral, sektor swasta, dan negara-negara maju. Dia mengatakan rencana itu untuk memajukan pemenuhan target iklim Indonesia di luar "retorika" ke dalam rincian teknis dan bahwa Asian Development Bank (ADB) dan lembaga keuangan lainnya "sangat bersemangat" dengan rencana atau ide tersebut.

ADB memimpin sekelompok lembaga keuangan untuk menyusun rencana guna mempercepat penutupan pembangkit listrik tenaga batu bara di Asia, termasuk di Indonesia, dengan membeli alat pembangkit itu dan menghentikan penggunaannya.

 

 

Jakarta telah mengidentifikasi 5,5 gigawatt pembangkit listrik tenaga batu bara yang dapat dipensiunkan lebih awal dalam 8 tahun ke depan, dan langkah itu diperkirakan akan menelan biaya sebesar 25 hingga 30 miliar dolar AS. Sri Mulyani mengatakan Indonesia juga akan membutuhkan dukungan internasional untuk memastikan tarif listrik tetap terjangkau ketika beralih ke sumber energi terbarukan. 

Menteri ESDM Arifin Tasrif menyampaikan komitmen Indonesia untuk mencapai net zero emission. Menurutnya, persoalan lingkungan dan ketegasan menjalankan misi tersebut membutuhkan daya dukung transisi energi sehingga membuka ruang pemanfaatan energi baru dan terbarukan yang optimal.

"Transisi energi menuju net zero emission membutuhkan infrastruktur energi, teknologi, dan pembiayaan. Melalui peningkatan infrastruktur seperti interkoneksi jaringan, kita (Indonesia) berpeluang untuk mengoptimalkan pemanfaatan EBT," jelas Arifin, Kamis (4/11).

Indonesia, sambung Arifin, berencana mulai mengembangkan Super Grid pada tahun 2025 untuk mengatasi kesenjangan antara sumber EBT dan lokasi di daerah yang memiliki permintaan listrik yang tinggi. "Sebagai negara kepulauan, kita perlu menyediakan akses listrik ke seluruh masyarakat lokal setempat," katanya.

Sementara penerapan teknologi tepat guna juga diperlukan tidak hanya untuk menjaga dan meningkatkan keandalan dan efisiensi pasokan, tetapi juga untuk mengintegrasikan sumber EBT dan mengantisipasi sifat intermitten EBT, seperti matahari dan angin. "Teknologi yang dibutuhkan untuk mengembangkan EBT termasuk jaringan pintar (smart grid), smart meter dan sistem penyimpanan energi termasuk pumped storage dan Battery Energy Storage System (BESS)," Arifin menambahkan.

Terkait pembiayaan, Arifin menegaskan peran sektor swasta sebagai penopang finansial selain pemerintah dan lembaga keuangan sebagai aspek penting dalam meningkatkan dan mempercepat implementasi energi rendah karbon. "Diperlukan kebijakan dan regulasi yang tepat untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif. Kami berusaha untuk mencapainya dengan menyederhanakan dan merampingkan kerangka peraturan," paparnya.

Salah satunya melalui pengesahan Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT Perusahaan Listrik Negara 2021 - 2030 dimana porsi sumber energi berbasis EBT melebihi porsi energi fosil, yaitu sebesar 51,6 persen atau setara dengan 20,9 Giga Watt (GW). "Kami mengakui bahwa kerangka peraturan sangat penting untuk mempercepat penyebaran energi terbarukan dan memastikan keberhasilan transisi energi kami," ungkap Arifin.

Arifin menegaskan, penambahan kapaistas pembangkit listrik hanya akan berasal dari EBT mulai tahun 2035. "Pemanfaatan panas bumi dimaksimalkan hingga 75 persen dari potensi, pembangkit hidro dioptimalkan ke pusat beban di pulau-pulau kecil dalam menyeimbangkan pembangkit listrik VRE," jelasnya.

 

 
Berita Terpopuler