Masjid Ramah Lingkungan, Cara Muslim Lindungi Bumi

Masjid di era awal Islam semuanya dapat dianggap sebagai masjid ramah lingkungan.

ANTARA FOTO
Sejumlah pekerja memasang panel listrik tenaga surya di atap Masjid Istiqlal di Jakarta, Selasa (28/1/2020).
Red: Esthi Maharani

IHRAM.CO.ID, Oleh Kiki Sakinah

Ide masjid ramah lingkungan bukanlah hal baru. Meskipun perubahan iklim bukan menjadi perhatian utama dalam sejarah awal Islam, namun masjid-masjid di era awal Islam semuanya dapat dianggap sebagai masjid ramah lingkungan. Sebab, bangunan masjid bersumber dari bahan-bahan lokal dengan menggunakan metode berkelanjutan.

Baca Juga

Dalam banyak kasus, masjid dibangun untuk melengkapi lingkungan. Seperti halnya Masjid Agung di Timbuktu, Mali. Dinding lumpur dan jendela kecil juga membantu menjaga bangunan tetap sejuk di tengah panasnya Sahara.

Desain ramah lingkungan awal lainnya adalah pengenalan kubah masjid tradisional. Tujuannya tidak hanya untuk estetika, tetapi juga memiliki fungsi penting dalam hal pengaturan suhu. Ketika sebuah kubah dipanaskan oleh matahari, bentuknya yang cekung menarik udara dari dalam masjid dan melepaskannya, secara alami mendinginkan ruang di dalamnya.

Bagi banyak Muslim, tugas untuk memerangi perubahan iklim tidak hanya terletak pada negara tetapi juga pada diri mereka sendiri sebagai individu. Perlindungan lingkungan adalah kewajiban etis yang ditetapkan sejak masa-masa awal Islam.

Salah satu hadits atau riwayat Nabi Muhammad Saw berbunyi, "Bumi itu hijau dan indah dan Allah telah menunjuk Anda khalifah di atasnya."

Atas dasar hal itulah, banyak Muslim merancang masjid dengan turut memperhatikan lingkungan. Harapannya, rumah ibadah tidak berkontribusi dalam merusak planet bumi ini.

Middle East Eye, dilansir Rabu (3/11), menyoroti teknik lain yang digunakan Muslim di seluruh dunia untuk memerangi perubahan iklim. Salah satu negara mayoritas Muslim yang telah mulai mengembangkan cara agar bisa beribadah dengan tetap memelihara lingkungan adalah Maroko.

Maroko, yang menjadi tuan rumah COP22 pada 2016, memiliki sekitar 50 ribu masjid di seluruh negeri. Menjelang event itu pada 2014, negara itu berjanji untuk memasukkan desain ramah lingkungan, seperti panel surya dan pencahayaan LED ke dalam masjid yang ada dimulai dengan 600 di bawah proyek Masjid Hijau.

Inisiatif ini merupakan kerja sama antara Kementerian Agama Maroko dan pemerintah Jerman. Sejauh ini lebih dari 890 masjid telah dimodifikasi menjadi lebih hemat energi.

Ada satu masjid ramah lingkungan yang dibangun sangat efisien, menjadi masjid energi-plus, yang berarti telah menciptakan lebih banyak energi daripada yang dikonsumsi. Masjid tersebut adalah Jami'a al-Kutubiyya abad ke-12 yang bersejarah di Marrakesh, yang memiliki panel surya yang ditambahkan ke strukturnya pada 2017.

Satu jam ke selatan Marrakesh di desa kecil Tadmamet terdapat masjid ramah lingkungan pertama di Maroko dengan panel tenaga surya fotovoltaik di atapnya. Dibangun pada  2017, masjid ini sekarang menghasilkan lebih banyak energi daripada yang dikonsumsi dan juga menyediakan listrik ke bagian lain desa yang berpenduduk 400 orang.

Maroko mengimpor sekitar 90 persen energinya dari berbagai negara termasuk Amerika Serikat (AS) dan Arab Saudi. Akan tetapi, negara ini kini tengah berupaya untuk memproduksi 52 persen energinya menggunakan sumber terbarukan pada 2030. Mengingat lokasi negara Afrika Utara ini di dalam Sahara, dengan sinar matahari yang berlimpah, energi matahari menjadi sumber listrik yang semakin penting.

Seperti halnya Maroko, Yordania berharap dapat menggunakan iklim cerahnya untuk membantu mengarahkan ke energi terbarukan. Masjid Abu Ghuweileh di lingkungan Tla al-Ali di barat laut Amman, Yordania, adalah salah satu yang pertama menggunakan panel surya pada 2018. Setahun kemudian sekitar 500 masjid menggunakan tenaga surya.

Tujuannya adalah untuk memastikan sebagian besar masjid dan gereja di negara itu bergerak menuju metode konsumsi energi yang lebih berkelanjutan. Hal itu juga merupakan bagian dari inisiatif yang lebih luas untuk menjadi netral karbon pada 2050.

Selain menggunakan energi matahari, upaya untuk lebih ramah lingkungan juga bisa diwujudkan melalui penanaman pohon atau tanaman. Pohon, tanaman, dan tanaman hijau membawa simbolisme penting dalam tradisi Islam, yang banyak ditampilkan dalam deskripsi surga.

Dalam Alquran, surga digambarkan sebagai taman yang sungai-sungainya mengalir dan buah-buahnya akan abadi. Sepanjang sejarah Islam, berbagai raja dan penguasa telah berusaha untuk mempercantik istana mereka dengan taman dan masjid juga telah berusaha untuk memasukkan tanaman hijau ke dalam lingkungan sekitar mereka.

Di Turki, misalnya, pohon-pohon berlimpah di halaman masjid, terutama pohon cinar, yang ditanam untuk menambah ketenangan saat beribadah. Di Inggris, terdapat Masjid Cambridge yang merancang tamannya dengan cermat untuk mencerminkan penghormatan Islam terhadap semua makhluk hidup.

Masjid Cambridge adalah masjid ramah lingkungan pertama yang dibangun khusus di Eropa, dan telah memenangkan penghargaan untuk arsitektur yang luar biasa. Desainnya dimaksudkan untuk menghubungkan umat dengan alam, karena balok kayu yang membentuk struktur masjid menyebar ke halaman depan di mana pohon apel kepiting berjajar di jalan.

Atap masjidnya ditanami sedum, tanaman tahunan berbunga, yang meningkatkan keanekaragaman hayati dan meningkatkan penyekatan. Masjid ini juga memiliki panel fotovoltaik di atapnya, yang bekerja untuk menghasilkan sepertiga dari kebutuhan energinya.

Masjid pertama di Eropa yang dirancang dengan fokus khusus pada keberlanjutan ini, memiliki daftar menakjubkan dari tampilan ramah lingkungan yang mengesankan. Panas bawah tanah memompa suhu sedang di dalam masjid, sehingga suhu internal selalu diatur. Lampu LED hemat energi digunakan di malam hari dan bekerja menggunakan sensor gerak, sehingga tidak pernah menghabiskan energi secara sia-sia. Sedangkan parkir mobil bawah tanah dilengkapi dengan titik pengisian untuk kendaraan listrik dan ada rak sepeda besar untuk hingga 300 sepeda.

Di bagian lain dunia, ada Masjid Khalifa Al Tajer di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA), yang disebut-sebut sebagai masjid ramah lingkungan pertama di dunia Islam. Masjid yang dibuka pada 2014 ini menggunakan sistem untuk mengurangi limbah air. Selain itu, masjid ini juga menggunakan teknik pembatasan air di keran untuk mengurangi jumlah air yang terbuang selama wudhu.

Rata-rata orang menggunakan enam hingga sembilan liter air saat berwudhu, yang merupakan ritual wajib sebelum sholat lima waktu. Nabi Muhammad SAW berpesan untuk berhati-hati dalam menggunakan air, terutama saat berwudhu untuk sholat.

Pada 2012, sekelompok mahasiswa dari UEA memenangkan penghargaan untuk merancang cara mendaur ulang air wudhu. Metode mereka mengarahkan air yang digunakan oleh jamaah selama wudhu ke tangki air, yang kemudian digunakan untuk menyuburkan tanaman dan lanskap di sekitar tempat ibadah.

Selain panel surya, beberapa arsitek sedang mencari cara untuk memasukkan turbin angin ke dalam menara masjid. Arsitek Jerman-Turki Selcuk Unyilmaz ingin mengawinkan ekologi dengan yang sakral dalam desainnya.

Ia membuat proposal pada 2011 untuk sebuah masjid ramah lingkungan di Norderstedt, dekat Hamburg di Jerman. Proposal itu menampilkan bilah rotor kaca 1,5 meter yang diamankan di dalam menara setinggi 22 meter di bangungn masjid tersebut, dengan maksud untuk menghasilkan sepertiga dari listrik gedung. Hingga hari ini, desainnya itu masih berupa konsep.

Di tempat lain, ada masjid yang memanfaatkan bangunannya untuk membudidayakan lebah. Lebah adalah penyerbuk penting, dan sepertiga dari produksi pangan dunia bergantung pada lebah, baik yang dibudidayakan maupun liar.

Mengetahui hal ini, Masjid London Timur dan Masjid Kingston di Inggris mulai membudidayakan lebah dengan menambahkan sarang lebah ke atapnya, bahkan salah satunya memproduksi madunya sendiri. Sarang lebah di Masjid London Timur dikelola oleh tim suami-istri. Wisatawan atau jamaah yang penasaran dapat melihat sarang lebah dari area pengamatan khusus.

Dekan Cambridge Muslim College dan ketua pengawas di Masjid Cambridge, Timothy Winter, mengatakan kepada seorang pewawancara bahwa dia juga menginginkan sarang lebah tetapi tidak memiliki cukup ruang.

 
Berita Terpopuler