BPOM Disarankan Uji Senyawa Kimia Makanan Kemasan Kaleng

Makanan dalam kemasan kaleng bisa berdampak terhadap kesehatan

EPA
Makanan dalam kemasan kaleng bisa berdampak terhadap kesehatan. Makanan kalengan.
Rep: Novita Intan Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) disarankan perlu melakukan uji laboratorium terhadap paparan Bisfenol A (BPA) yang ada dalam makanan kemasan kaleng seperti yang dilakukan terhadap kemasan plastik Policarbonat (PC).  

Baca Juga

Hal itu, menurut pakar kimia dari Departemen Kimia Universitas Indonesia, Agustino Zulys, karena penelitian yang dipublikasikan Environmental Research menunjukkan mengonsumsi makanan kaleng berhubungan dengan tingginya konsentrasi BPA dalam urin. 

“BPOM perlu meneliti sejauh mana migrasi dari pelapis kaleng anti karat atau BPA yang terdapat dalam kemasan kaleng itu terjadi ke makanannya. Hal ini, BPOM bisa melakukan kerja sama juga dengan perguruan tinggi,” ujarnya dalam keterangan resmi, Kamis (14/10). 

Dia menuturkan bahan makanan kemasan kaleng yang bersifat asam bisa memungkinkan BPA yang ada dalam lapisan kaleng terlarut. “Makanya, makanan kaleng tidak boleh untuk makanan-makanan yang sifatnya asam,” ucapnya. 

Selain itu, proses pengemasan makanan kaleng itu juga harus dilakukan dengan baik agar tidak merusak produk makanan di dalamnya. Menurutnya, kemasan kaleng yang rusak bisa menyebabkan masuknya bakteri yang bisa menyebabkan terjadinya fermentasi  terhadap produk makanan di dalamnya.  

Karenanya, kata Agustino, proses sterilisasi perlu dilakukan terhadap  kemasan kaleng ini dengan menggunakan pemanasan atau penyinaran UV.  “Proses ini dilakukan untuk mematikan bakteri  yang  bisa menyebabkan rusaknya makanan,” ucapnya. 

Sementara itu,  pakar teknologi pangan dari IPB, Aziz Boing Sitanggang, mengatakan BPA dalam kemasan kaleng dibutuhkan khususnya uresin epoksi untuk melaminasi kaleng guna menghindari korosi.  

Menurutnya, kecenderungan BPA bermigrasi  dari kalengnya ke bahan makanannya bisa berpotensi lebih besar dan bisa lebih kecil.  

"Tapi, seberapa besar pelepasan BPA-nya kita tidak tahu. Karena di Indonesia belum ada studi untuk meng-compare langsung dan itu perlu dikaji lagi lebih jauh,” tuturnya.  

Dia juga mengutarakan makanan kaleng itu disterilisasi komersil dengan suhu di atas 100 derajat Celcius dan dalam waktu lama atau bisa sampai satu jam.   

Disebutkan, proses migrasi BPA dari kemasan kaleng itu bisa disebabkan beberapa faktor di antaranya proses laminasi BPA-nya, PH atau tingkat keasaman produk dalam kemasan kaleng itu,  dan pindah  panas dari produk pangannya. 

 

Dia mencontohkan sarden, jamur, nenas yang dikalengkan itu beda-beda pindah panasnya saat disterilisasi, sehingga perlakuan kombinasi suhu dan waktu  pemanasannya juga berbeda-beda. 

"Ketika itu beda-beda, berarti  peluang migrasi BPA-nya juga berbeda-beda. Tapi, semakin asam bahan makanannya atau PH semakin rendah, kemungkinan besar bisa merusak laminasi epoksinya,” katanya. 

Penelitian kemasan kaleng di Universitas Stanford dan Johns Hopkins University yang dipublikasikan Environmental Research menunjukkan adanya paparan BPA ke dalam produk makanannya. 

Disebutkan, semakin banyak mengonsumsi makanan kaleng maka akan semakin berpeluang untuk seseorang terkontamiasi BPA.  

“Saya dapat makan tiga kaleng peach, orang lain bisa makan satu kaleng sup krim jamur, dan saya memiliki paparan lebih besar terkena BPA," kata pemimpin penelitian, Jennifer Hartle dari Stanford Prevention Research Center, seperti dilansir Laboratory Equipment. 

BPA merupakan senyawa kimia yang diberikan sebagai pelapis dalam kaleng makanan. Adapun senyawa ini sempat menjadi senyawa andalan dalam pembuatan kemasan, namun sifat kimia yang mirip hormon membuat bahan ini dilarang pada beberapa produk seperti botol bayi. 

Penelitian berfokus pada analisis kadar BPA dalam produk makanan kaleng dan mengukur paparan senyawa itu pada sekelompok manusia. Hartle dan tim menemukan bahwa makanan kaleng dengan BPA tinggi berpengaruh pada kandungan senyawa tersebut dalam urin manusia. 

Kandungan BPA berbeda pada masing-masing jenis makanan. Namun beberapa jenis makanan kaleng rupanya memiliki implikasi besar pada kandungan BPA dalam urin, seperti jenis sup, pasta, sayuran, dan buah.

Studi yang dilakukan Hartle sebelumnya menemukan anak-anak menjadi pihak yang paling rentan terpapar BPA. Hal ini karena makanan kaleng banyak digunakan pada menu makan siang di sekolah dan aneka jajanan lainnya. 

Meski pihak BPOM Amerika Serikat (FDA) mengizinkan penggunaan BPA dalam kadar tertentu pada kemasan kaleng, namun negara bagian California telah menempatkan senyawa itu dalam racun reproduksi wanita.  

 

"FDA tidak lagi mengizinkan BPA digunakan dalam botol bayi dan lapisan kaleng susu formula, dan mulai banyak perusahaan yang tidak menggunakan BPA. Tapi kami juga belum tau apakah senyawa pengganti BPA cukup aman digunakan," kata Hartle.

 
Berita Terpopuler