Memahami Ijtihad Gus Dur dan Gus Yahya Bela Palestina 

Gus Dur dan Gus Yahya mempunyai cita-cita luhur untuk Palestina

AP/Mahmoud Illean
Gus Dur dan Gus Yahya mempunyai cita-cita luhur untuk Palestina. Ilustrasi Al Aqsa Palestina
Red: Nashih Nashrullah

Oleh : Sekretaris PP MDS Rijalul Ansor,  Ustadz Ali Mashar Lc MA   

REPUBLIKA.CO.ID, Pada 14 Mei 1948, Israel mendeklarasikan kemerdekaannya di atas bagian tanah yang diperuntukkan bagi negara tersebut dalam Resolusi PBB Nomor 181 Tahun 1947. Resolusi ini disetujui 33 negara dengan 13 negara menentang dan 10 negara abstain.  

Baca Juga

Satu hari setelah Israel mendeklarasikan kemerdekaannya, Liga Arab melayangkan protes resmi ke PBB atas berdirinya negara Israel. Mesir menginginkan sebagian wilayah yang diperuntukkan bagi negara Israel dan Palestina merdeka, untuk menjadi bagian  negaranya.

Yordania juga menganggap wilayah yang diperuntukkan untuk kedua negara baru dalam “two-state solution” tersebut merupakan wilayah kekuasaan kerajaan Yordania. 

Selain Mesir dan Yordania yang tidak rela ada pembagian tanah untuk dua negara baru Palestina dan Israel, beberapa negara Arab lainnya juga tidak setuju dengan berdirinya negara Israel dan Palestina dengan alasannya masing-masing.  

Tentara Mesir, Yordania, dan beberapa negara Arab lainnya kemudian menginvasi wilayah yang diperuntukkan untuk negara Palestina Merdeka oleh komite UNSCOP yang sudah disahkan dalam resolusi nomor 181 tersebut. 

Invasi militer ini kemudian memicu perang Arab-Israel 1948, karena wilayah Palestina yang diduduki tentara negara-negara Arab tersebut dijadikan basis konfrontasi melawan Israel.

Tapi negara-negara Arab itu kalah dalam perang melawan Israel. Tentara negara-negara Arab itu berhasil dipukul mundur oleh militer Israel sehingga wilayah Palestina yang tadinya diduduki tentara negara-negara Arab, akhirnya jatuh dalam kekuasaan Israel.  

Perluasan wilayah negara Israel yang ada dalam Green Line atau Armistice Line itu diakui dunia internasional, bahkan juga “terpaksa” diakui negara-negara Arab, karena mereka yang dianggap bersalah telah melakukan invasi, lalu kalah.   

Tinggal tersisa sedikit wilayah untuk orang Arab setelah perang tersebut yaitu Gaza dan West Bank. Bagian barat daya (Gaza) akhirnya dikuasai Mesir. Bagian timur, yaitu Nablus, sebagian Yerussalem dan Hebron (yang disebut West Bank), dikuasai Yordania. 

Sebanyak 711 ribu warga Arab meninggalkan kampung halaman yang telah dikuasai Israel. Sisanya yang tidak mengungsi, kini menjadi warga negara Israel. Sehingga di dalam negara Israel saat ini terdapat sekitar 20 persen warga Arab.  

Bagaimana dengan bagian rakyat Palestina? Dari awal, negara-negara Arab memang tidak mengakui keberadaan negara Palestina, maupun Israel. Orang Palestina juga tidak pernah berkuasa atas kedaulatannya sendiri.  

Baru pada tahun 1964, negara-negara Arab bersepakat untuk membentuk organisasi yang mewakili kepentingan orang Palestina, yaitu PLO. Masalahnya, Mesir maupun Yordania tetap tidak mau memberikan wilayah Gaza dan West Bank kepada rakyat Palestina.   

Yang dimaksud oleh Mesir dan Yordania dengan mendukung berdirinya negara Palestina adalah  Palestina yang merdeka di atas wilayah negara Israel yang sudah mendeklarasikan kemerdekaannya itu.

Adapun Gaza dan West Bank tetap menjadi milik Mesir dan Yordania. Raja Yordania baru melepas wilayah West Bank untuk diberikan kepada rakyat Palestina pada 1988. Ya, memang rumit.  

Adapun Gaza, setelah dikuasai Mesir dan sempat memiliki administrasi bayangan yang disebut “All-Palestine Government,”  kemudian jatuh dalam pendudukan Israel sejak 1967. Israel yang kelelahan “mengurus” Gaza, sempat mengisyaratkan untuk meminta Mesir mengambil kembali wilayah Gaza. Tapi Mesir menolak.  

Pada 15 November 1988, Majelis Nasional Palestina menyatakan kemerdekaan negara Palestina. Deklarasi itu disuarakan dari Aljazair. 

PBB dibuat bingung dengan deklarasi kemerdekaan ini karena tidak mencantumkan secara jelas wilayah negara Palestina yang dideklarasikan tersebut. Deklarasi kemerdekaan itu juga tidak mencatumkan pengakuan atas 

Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 242 dan 338. Padahal dua resolusi yang di antaranya berisi tentang gencatan senjata, pengakuan batas wilayah Israel, dan penarikan pasukan Israel dari wilayah pendudukan itu, sudah disepakati Koalisi Arab dan Dewan Keamanan PBB.  

Pada 1979, Mesir di bawah Anwar Sadat dan Israel di bawah Begin, menandatangani kesepakatan Camp David yang disponsori Presiden Carter. Kesepakatan yang di antara isinya adalah pembukaan hubungan diplomatik antara Mesir dan Israel itu memberikan harapan nyata bagi terwujudnya perdamaian dan kemerdekaan negara Palestina.  

Tetapi seluruh negara Arab, termasuk PLO, menentang kesepakatan tersebut. Anwar Sadat dimusuhi, negara Mesir dikeluarkan dari Liga Arab. Bahkan akhirnya Anwar Sadat dibunuh. 

Pada 1993, diam-diam Yasser Arafat, pemimpin PLO membuat kesepakatan Oslo bersama Israel, yang isinya tidak jauh berbeda dengan yang disepakati Anwar Sadat. 

Kesepakatan Oslo menyetujui pemerintahan mandiri rakyat palestina atas wilayah Gaza, Jericho, dan Tepi Barat. 

Pada 9 September 1993, Yasser Arafat menyatakan bahwa PLO mengakui keberadaan negara Israel. PLO menghapus butir-butir perjuangan dalam Piagam Nasional Palestina yang menyatakan bahwa Israel adalah negara ilegal. Ya, perdamaian hampir tercapai. Palestina hampir merdeka. 

Tiba-tiba radikalisme agama kaum Yahudi Ortodoks di Israel menguat bersamaan dengan menguatnya Kelompok Ikhwanul Muslimin (IM) di Gaza. Kelompok radikal Yahudi menentang kesepakatan damai. IM yang menjelma menjadi Hamas juga menentang. Yasser Arafat dicaci maki. Intifadah bergulir. Perdamaian dan kemerdekaan Palestina tinggal harapan. 

Gus Dur sempat ingin membuka kembali pintu dialog agar konflik Arab-Israel tidak terjatuh semakin dalam ke jurang gelap tak berujung, yang hanya akan menambah kesengsaraan rakyat Palestina.  

Israel tidak pernah menanggapi suara dan pendapat negara-negara Islam yang tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan negara Yahudi tersebut. Negara-negara Islam yang didengar Israel hanya Turki yang sudah menjalin hubungan diplomatik sejak 1949, Mesir, yang menjalin hubungan diplomatik setelah Camp David Accord 1979, dan Yordania, yang menjalin hubungan diplomatik sejak 1994. 

Oleh karena itu Gus Dur pernah mewacanakan hubungan dagang dan hubungan diplomatik dengan Israel. Tapi Gus Dur bernasib sama dengan Anwar Sadat dan Yasser Arafat, dicaci maki.  

Suatu saat, setelah bertemu dengan tokoh-tokoh Palestina, KH Hasyim Muzadi dalam sebuah pidato mengatakan bahwa persoalan di sana sangat rumit. Di antara mereka sendiri terdapat begitu banyak faksi, perbedaan pendapat, dan kepentingan. 

Waktu bergulir, tahun berganti, pandangan politik bergeser, dan sebagian penguasa Arab juga sudah berubah. Beberapa negara Arab bernostalgia dengan kesepakatan Camp David dan Oslo. Mereka menyampaikan kepada Israel, kalau Israel memberikan “deal” seperti yang diberikan dalam kesepakatan Camp David, termasuk soal batas wilayah sebelum 1967, maka beberapa negara Arab itu bersedia mengakui negara Israel dan selanjutnya membuka hubungan diplomatik. 

Tapi zaman dan keadaan sudah berubah. Ibarat kata pepatah: “Sesal kemudian tiada guna.” Israel kini merasa berada di atas angin. Bahkan Israel dengan congkak dan sombong berani membangun pemukiman illegal di wilayah pendudukan mereka di Jerussalem. Dan dunia internasinalpun seolah tak berkutik. 

Gus Yahya, salah satu murid Gus Dur yang gigih memperjuangkan perdamaian dan kemanusiaan, ingin melanjutkan upaya dialog Gus Dur dengan Israel, demi kemaslahatan rakyat Palestina. Gus Yahya secara tegas mengatakan kepada para pemimpin Israel, bahwa hubungan diplomatik Indonesia-Israel sulit mendapat dukungan rakyat Indonesia jika perdamaian Israel-Palestina belum tercapai. 

Tentu Gus Yahya menyadari resiko dari tindakannya menjalin dialog dengan Israel. Beliau pasti tahu bakal disalah-pahami dan dicaci maki. Tapi demi tujuan mulia, semua itu dihadapi dengan lapang dada. 

Kini Emirat, Bahrain, dan Maroko telah membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Putera Mahkota Saudi, Muhammad bin Salman juga sudah bertemu dengan Perdana Menteri Israel. Tetapi NU dan Republik Indonesia, belum akan menjalin hubungan dengan Israel, jika urusan konflik Palestina-Israel belum menemui titik terang. Meskipun dialog, tetap perlu dilakukan. 

Sementara itu di tempat lain, ada kelompok politik yang tidak begitu peduli dengan nasib rakyat Palestina. Mereka justru gembira jika rakyat Palestina bentrok dengan tentara Israel dan menjadi korban. Dengan begitu, mereka bisa berjualan narasi, melakukan demo, seolah-olah peduli dengan nasib rakyat Palestina. Lalu, menggalang dana. Wallahu A’lam.      

 
Berita Terpopuler