Kurang dari Setahun, Prancis Tutup Hampir 30 Masjid

Pejabat agama dari luar negeri tidak akan bisa datang ke Prancis mulai 2023.

Reuters
Kurang dari Setahun, Prancis Tutup Hampir 30 Masjid. Seorang polisi berjaga di depan Masjid Agung Paris, Prancis.
Rep: Kiki Sakinah Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Dalam waktu kurang dari setahun, Prancis telah menutup hampir 30 masjid. Menteri Dalam Negeri Prancis Gerald Darmanin mengatakan telah menutup sepertiga dari 89 masjid yang diperiksa sejak November 2020.

Baca Juga

Darmanin mengatakan kepada surat kabar Le Figaro, bahwa sebelum "undang-undang anti-separatisme" diberlakukan, 650 tempat ditutup di negara itu karena diduga menampung ekstremis dan 24 ribu tempat diperiksa polisi Prancis.

Dari pemeriksaan yang dilakukan di 89 masjid sejak November 2020 atas tuduhan radikalisasi, sepertiga di antaranya telah ditutup. Darmanin mengatakan mereka mengambil tindakan untuk menutup enam masjid lagi di Sarthe, Meurthe-et-Moselle, Cote-d'Or, Rhone, dan wilayah Gard.

Darmanin menambahkan mereka juga menentang pembangunan sebuah masjid bernama "Eyup Sultan" di Strasbourg, yang berafiliasi dengan Islamic Community National View (IGMG). Padahal, telah ada persetujuan dari otoritas setempat untuk membangun masjid tersebut.

Selain itu, Darmanin mengatakan lima asosiasi Muslim yang diduga mempromosikan apa yang disebut 'Islam politik' telah ditutup sejauh ini. Dikatakannya, undang-undang separatisme memungkinkan mereka untuk melakukan lebih dari itu.

 

Ia mengatakan akan ada total 10 asosiasi tambahan yang ditutup. Sebanyak empat di antaranya ditutup pada Oktober 2021. Tidak hanya itu, ia menambahkan rekening bank dari 205 asosiasi telah disita dan dua imam diusir.

"Kami menyebarkan teror di antara mereka yang ingin melakukan teror kepada kami," kata Darmanin, dilansir di Anadolu Agency, Jumat (1/10).

Darmanin menuturkan, pejabat agama dari luar negeri tidak akan bisa datang ke negara itu mulai 2023. Ia juga telah menginstruksikan para gubernur tidak memperbarui izin tinggal orang-orang yang ada di sana.

Dia mengatakan mereka tidak memperbarui kartu tempat tinggal orang-orang yang dihukum karena perdagangan narkoba dan kekerasan dalam rumah tangga di negara itu. Prancis telah membatasi jumlah visa yang dikeluarkan bagi warga Aljazair, Tunisia, dan Maroko sehingga memungkinkan negara-negara ini menerima kembali warganya yang dideportasi oleh Prancis.

Otoritas konstitusional tertinggi Prancis telah menyetujui undang-undang anti-separatisme pada Agustus 2021. Undang-undang itu menjadi kontroversial dan menuai kritik karena dinilai menargetkan Muslim.

 

Rancangan undang-undang itu disahkan oleh Majelis Nasional pada Juli 2021, meskipun ada tentangan kuat dari anggota parlemen sayap kanan dan kiri. Pemerintah mengklaim bahwa undang-undang tersebut dimaksudkan untuk memperkuat sistem sekuler Prancis.

Akan tetapi, para pengkritik menilai undang-undang itu membatasi kebebasan beragama dan memojokkan umat Islam. RUU tersebut telah dikritik karena menargetkan komunitas Muslim Prancis dan memberlakukan pembatasan pada banyak aspek kehidupan anggotanya.

Jumlah Muslim di Prancis sendiri merupakan yang terbesar di Eropa, dengan 3,35 juta anggota. Undang-undang tersebut mengizinkan pejabat untuk campur tangan di masjid dan asosiasi yang bertanggung jawab atas administrasi mereka, serta mengontrol keuangan asosiasi dan LSM yang berafiliasi dengan Muslim.

Undang-undang itu juga membatasi pilihan pendidikan Muslim dengan membuat sekolah di rumah tunduk pada izin resmi. Berdasarkan undang-undang ini, pasien dilarang memilih dokter mereka berdasarkan jenis kelamin karena alasan agama atau alasan lain dan pendidikan sekularisme diwajibkan bagi semua pegawai negeri. 

 
Berita Terpopuler