KPPPA Tegaskan Komitmen Cegah Praktik Sunat Perempuan

KPPPA menyebut, Gorontalo menjadi provinsi tertinggi kasus praktik sunat perempuan.

Pexels
Bayi perempuan (Ilustrasi). Data Riset Kesehatan Dasar (Rikesdas) Kementerian Kesehatan pada 2013 menunjukkan bahwa secara nasional, 51,2 persen anak perempuan berusia 0-11 tahun mengalami praktik sunat perempuan.
Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) berkoordinasi dengan para pemangku kepentingan untuk mencegah terjadinya sunat perempuan. Menurut KPPPA, perlukaan dan pemotongan genitalia perempuan (P2GP) merupakan praktik berbahaya.

"Pemerintah secara serius berkomitmen mencegah terjadinya sunat perempuan (P2GP) di Indonesia," kata Menteri PPPA Bintang Puspayoga melalui siaran pers di Jakarta, Kamis.

Menurut Bintang, Kemen PPPA bersinergi dengan berbagai pemangku kepentingan telah menyosialisasikan roadmap dan menyusun Rencana Aksi Pencegahan P2GP dengan target hingga tahun 2030. Berbagai strategi yang akan dilakukan, yaitu melalui pendataan, pendidikan publik, advokasi kebijakan dan koordinasi antarpemangku kepentingan.

Komitmen ini dilakukan untuk mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) melalui Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017, khususnya pada tujuan 5.3 yaitu "menghapuskan semua praktik berbahaya, seperti perkawinan usia anak, perkawinan dini dan paksa serta sunat perempuan". Bintang menegaskan sinergi semua pihak, baik pemerintah, lembaga masyarakat, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan media massa dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat merupakan kunci mencegah praktik sunat perempuan.

"Sunat perempuan masih menjadi permasalahan serius di Indonesia, bahkan beberapa kali disoroti dunia internasional," kata Bintang.

Baca juga : Ahli: Masker Renggang Bisa Rusak Lapisan Kulit Wajah

 

 

 

 

Data Riset Kesehatan Dasar (Rikesdas) Kementerian Kesehatan pada 2013 menunjukkan bahwa secara nasional, 51,2 persen anak perempuan berusia 0-11 tahun mengalami praktik sunat perempuan. Anak-anak paling banyak (72,4 persen) mengalaminya saat berusia 1-5 bulan.

"Gorontalo menjadi provinsi tertinggi kasus praktik sunat perempuan, yaitu sebesar 83,7 persen," ujar Bintang.

Menurut Bintang, sunat perempuan menjadi masalah yang sangat kompleks di Indonesia. Sebab, itu dilakukan berdasarkan nilai-nilai sosial secara turun-temurun.

"Padahal, dengan berbagai dampak yang merugikan perempuan dan manfaat yang belum terbukti secara ilmiah, sunat perempuan merupakan salah satu ancaman terhadap kesehatan reproduksi serta salah satu bentuk kekerasan berbasis gender, bahkan pelanggaran terhadap HAM," kata Bintang.

Baca juga : Seperti Covid-19, Flu Bisa Picu Kondisi Long Flu

Dalam kesempatan terdahulu, ahli fikih yang juga direktur Rumah Fiqih Indonesia (RFI) ustaz Ahmad Sarwat menjelaskan, ada dalil untuk khitan bagi anak perempuan, baik yang mengacu pada Alquran maupun hadist. Namun, para ulama fikih berbeda pendapat mengenai hukum sunat tersebut.

Baca Juga

"Ada yang mengatakan wajib, tidak wajib, dan ada juga yang memandang, itu pemuliaan atas perempuan," kata ustaz Ahmad Sarwat, melalui pesan elektronik kepada Republika.co.id.

Ustaz Ahmad menjelaskan, dasar pensyariatan khitan mengacu pada Alquran surah an-Nahl ayat 123. Artinya, "Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): ‘Ikutilah agama Ibrahim, seorang yang hanif’ dan bukanlah dia (Ibrahim) termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan."

Ada pula hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas. Rasulullah SAW bersabda, "Khitan itu sunah buat laki-laki dan memuliakan buat perempuan" (HR Ahmad dan Baihaqi).

Hadits lainnya diriwayatkan dari Abu Hurairah RA. Rasulullah SAW bersabda, "Nabi Ibrahim AS berkhitan saat berusia 80 tahun dengan kapak" (HR Bukhari dan muslim).

Selain itu, hadits Nabi SAW yang diriwayatkan dari Aisyah RA: "Potonglah rambut kufur darimu dan berkhitanlah" (HR. Muslim).

Dalil-dalil tersebut menunjukkan dasar pelaksanaan khitan. Namun, khususnya bagi anak perempuan, para ulama fikih dari empat mazhab berbeda pendapat.

Mazhab Syafii berpandangan, hukum khitan ialah wajib atas laki-laki dan perempuan. Adapun mazhab Hanafi, Maliki dan Hanbali tidak memandang khitan atas perempuan dari sisi hukum taklifi, melainkan afdhaliyyah (keutamaan).

"Ketiga mazhab tersebut (Hanafi, Maliki, dan Hanbali) mengatakan bahwa khitan yang dilakukan pada anak perempuan merupakan tindakan pemuliaan Islam atas perempuan," jelas ustaz Ahmad.

Baca juga : Covid-19 Ringan Pun Dapat Berdampak Jangka Panjang pada Otak

Pelarangan khitan perempuan muncul terkait masalah prosedur yang dilakukan di beberapa negara yang bisa merusak organ vital perempuan. Hal itu juga dianggap mengganggu hak asasi manusia perempuan.

Sebenarnya bagaimana cara tepat khitan perempuan secara medis dan sesuai syariat Islam? Dokter spesialis kandungan dan kebidanan, dr. Valleria, SpOG, menjelaskan bahwa khitan perempuan sesuai syariat Islam, dari Anas bin Malik, Rasulullah SAW bersabda kepada Ummu Athiyah RA, "Apabila Engkau mengkhitan wanita, sisakanlah sedikit dan jangan potong (bagian kulit klitoris) semuanya karena itu lebih bisa membuat ceria wajah dan lebih disenangi oleh suami." (HR Al Khatib dalam Tarikh5/327, dinilai shahih oleh Syekh al-Albani dalam Ash-Shahihah).

Khitan perempuan adalah tindakan menggores kulit yang menutupi bagian depan klitoris, tanpa melukainya. Khitan perempuan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan tertentu, yaitu dokter, bidan, dan perawat yang telah memiliki surat izin praktik atau surat izin kerja.

"Yang melakukan khitan pada perempuan diutamakan adalah tenaga kesehatan perempuan," ujar dr Valleria.

Dalam melaksanakan khitan perempuan, menurut dr Valleria, tenaga kesehatan harus mengikuti prosedur tindakan, antara lain cuci tangan pakai sabun, menggunakan sarung tangan, melakukan goresan pada kulit yang menutupi bagian depan klitoris (frenulum klitoris) dengan menggunakan ujung jarum steril sekali pakai dari sisi mukosa ke arah kulit, tanpa melukai klitoris.

Baca juga: Gloria Estefan Ungkap Kasus Pelecehan Seksual Masa Kecilnya

Menurut kuasa hukum Rumah Sunat Dokter Mahdian, Anhari Sultoni SH MH, di Indonesia belum pernah ada pelarangan sunat perempuan. Ia menegaskan bahwa yang meragukan mengenai sunat perempuan adalah pihak lain yang bukan Islam.

Ahari menjelaskan, Islam sudah melakukan sunat perempuan sejak ribuan tahun lalu. Ia menyebut, sunat merupakan aturan agama yang berlaku dan terus berlaku seperti itu tidak perlu diperintahkan lagi.

 
Berita Terpopuler