KH Muhammad Nawawi Riwayat Pejuang dari Mojokerto (II)

Kiai Nawawi tidak hanya mengajar ilmu-ilmu agama tetapi semangat patriotisme.

google.com
Santri tempo dulu tengah mengaji.
Rep: Muhyiddin Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID, Sepulang dari menuntut ilmu pada 1914 dalam usia sekitar 28 tahun, KH Muhammad Nawawi kemudian menikah dengan Nyai Nasifah. Perempuan itu adalah putri seorang kiai kampung, Syafi'i dari Dusun Mangunrejo, Jagalan, Mojokerto. Pasangan baru ini lalu menetap di dusun tersebut. Keluarga ini dikaruniai tujuh orang anak.

Baca Juga

Setelah menikah dengan Nyai Nafisah, Kiai Nawawi dipercaya oleh Kiai Syafi'i un tuk mengasuh Pondok Pesantren Mangunrejo. Tak disangka-sangka, beberapa tahun kemudian istrinya wafat. Ia pun akhirnya menikah untuk kedua kalinya dengan Nyai Bannah. Dari pernikahan ini, dirinya dikaruniai lima orang anak.

Untuk menunjang kebutuhan ekonomi sehari-hari keluarganya, Kiai Nawawi pernah bekerja sebagai penjahit. Pekerja annya berjalan sukses, bahkan orang-orang Belanda juga banyak yang memesan pakaian kepadanya. Ini membuktikan, perjuangannya adalah melawan sistem penjajahan, bukan memusuhi manusia Belanda belaka.

Selain itu, Kiai Nawawi juga mendirikan mushalla di samping rumahnya sebagai tempat anak-anak mengaji Alqur'an dan kitab-kitab. Sebuah masjid juga dibangun dikampung kelahirannya di Lespadangan yang kemudian diwakafkan kepada warga untuk dikembangkan. Selama membawakan pengajian, Kiai Nawawi tidak hanya mengutip ayat-ayat Alquran dan hadis-hadis Nabi Muhammad SAW.

 

Metode penyampaian dakwah pun dilakukannya dengan cara yang menarik hati. Kadang kala, syiar itu diselingi dengan lantunan kidung-kidung Jawa yang sarat ajaran moral dan pitutur budi pekerti. Selain mendidik para santri, sang kiai juga menggelar pengajian umum di mushala yang dibangunnya. 

Kiai Nawawi memang tidak pernah berkeliling memberikan pengajian umum. Namun, ia banyak mendatangkan penceramah yang merupakan teman-teman seperjuangannya, seperti KH Khusaeri dan KH Naser dari Gresik. Keduanya pernah memberikan pengajian umum di halaman mushallanya.

Ketika Nahdlatul Ulama (NU) berdiri pada 1926, Kiai Nawawi juga aktif di dalamnya. Jam'iyah ini merupakan motor penyebar ajaran ahlussunnah wal jamaah (aswaja). Dua tahun kemudian, ia bersama teman-temannya juga mendirikan cabang NU di Mojokerto. Salah satu tugasnya adalah melakukan tabligh keliling di wilayah Mojokerto.

Pada saat Muktamar NU ke-11 di Banjarmasin pada 1936, Kiai Nawawi juga ikut hadir sebagai utusan NU Mojokerto. Dalam forum tersebut, ia pun memperoleh pengetahuan dan pengalaman baru, ter utama yang menyangkut tanggung jawab ulama terhadap kehidupan masyarakat.

 

 

Untuk memperkuat basis pendidikan umat Islam di Mojokerto, Kiai Nawawi bersama sejumlah pengurus NU kemudian mendirikan madrasah. Awalnya, madrasah itu hanya ditempatkan di teras mushalla milik KH Zainal Alim yang letaknya di sebelah Pasar Pahing Kota Mojokerto.

Kemudian, Madrasah Ibtida'iyah tersebut dipindah ke gang Kauman, sehingga masyarakat menyebutnya Madra sah Kauman. Dalam perkembangannya, madrasah tersebut kemudian berganti nama menjadi Madrasah Ibtida'iyah Al-Muhsinun pada 1976.

Dengan madrasah ini, Kiai Nawawi tidak hanya mengajar ilmu-ilmu agama, tapi juga menguatkan spirit patriotisme. Untuk menanamkan rasa cinta Tanah Air dan bangsa kepada murid-muridnya, ia bahkan menerjemahkan teks lagu Indonesia Raya ke dalam bahasa Arab.

Selain untuk mengajarkan pela jaran bahasa Arab, hal itu juga bertujuan untuk menghindari polisi patroli. Aparat kolonial itu memang sangat ketat pengawasannya terhadap sekolah-sekolah swasta. Gurunya di pondok Siwalan Panji, Kiai Chozin juga ikut mengajar di madrasah tersebut, termasuk Kiai Muhammad dari Porong, Sidoarjo.

 

 

Belanda pergi, datanglah Jepang. Pada masa pendudukan Dai Nippon, muncul pembatasan terhadap segenap kegiatan organisasi politik maupun organisasi kemasyarakatan di Indonesia. Kendati demikian, Kiai Nawawi tetap menghidupkan kegiatan-kegiatan ke-NU-an dengan memakai nama "Ahlussunnah Wal Jama'ah.

Meski secara keorganisasian NU tidak diperbolehkan muncul di ruang publik, dakwah keagamaannya tetap berjalan seperti biasa. Pengajaran patriotisme hubbul wathon minal iman cinta Tanah Air adalah sebagian dari imanjuga selalu didakwahkan oleh Kiai Nawawi demi menggerakan semangat juang rakyat Indonesia untuk ikut mempersiapkan diri berperang melawan penjajah. 

Setelah Laskar Hizbullah didirikan pada Oktober 1944, mobilisasi pemuda untuk pertahanan rakyat di Mojokerto diprakarsai oleh Kiai Ahyat Halimy, Mansur Solikhi, Munasir, Manadi, Mustakim dan Abdul Halim. Kesem patan ini juga dimanfaatkan Kiai Nawawi mengkader anak-anak muda ten tang pendidikan bela agama dan bela negara.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, ancam an terhadap Republik Indonesia mulai muncul. Tentara Belanda kembali hadir dengan membonceng kedatangan tentara Inggris ke Indonesia.

Saat itu, ancaman terhadap keutuhan Republik Indonesia yang baru merdeka mulai terasa di Surabaya hingga meledak menjadi perang besar 10 November 1945 yang kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan. 

 
Berita Terpopuler