KH Muhammad Nawawi Riwayat Pejuang dari Mojokerto (I)

Masyarakat lokal memanggilnya dengan sebutan Mbah Nawawi Jagalan.

gahetna.nl
Ulama tempo dulu mengajar para santrinya.
Rep: Muhyiddin Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID, Di Mojokerto, Jawa Timur, ada seorang kiai yang dikenang terkait perjuangannya. Dialah KH Muhammad Nawawi.

Baca Juga

Sang pendiri sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Mangun Rejo, Jagalan, Kota Mojokerto, itu merupakan tokoh setempat. Masyarakat lokal memanggilnya dengan sebutan Mbah Nawawi Jagalan. Dalam sejarah, dirinya pernah mengomandoi Laskar Sabilillah dan Hizbullah.

Perjuangannya dikisahkan di dalam buku Titik Akhir di Sumantoro: Jejak Langkah Perjuangan KH Nawawi. Penulisnya, Abdullah Masrur, merupakan akademisi yang juga berasal dari Mojokerjo.

Diungkapkannya, Kiai M Nawawi tidak hanya menyebarkan ajaran Islam di tengah masyarakat. Sang alim pun turut memompa semangat mereka untuk melawan penjajahan.

KH Nawawi lahir pada 1886 di Dusun Lespadangan, Desa Terusan, Kecamatan Gedeg, Mojokerto. Ayahnya, Munadi, adalah seorang tukang yang selalu menaruh hormat pada kaum ulama. Adapun ibundanya bernama Siti Khalimah.

 

 

Melalui masa kecilnya, Kiai Nawawi mendapat pendidikan dasar-dasar keislaman dari ayahnya serta ustaz-ustaz di sekitar rumah. Saat menginjak usia tujuh tahun, dirinya menempuh pendidikan di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Partikelir, setingkat sekolah dasar yang dikelola pihak swasta.

Setelah itu, sang ayah mengantarkannya ke Jombang, Jawa Timur. Di sanalah dirinya memulai pengalaman sebagai seorang santri, berguru kepada pendiri Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari di Pondok Tebuireng. 

Saat akan memasuki gerbang pesantren, ayahnya berpesan kepada Nawawi agar menjadikan hidupnya berguna bagi agama dan bangsa. Pesan inilah yang selalu tertanam dalam benaknya.

Bahkan, saat dirinya memimpin pasukan Laskar Hizbullah dan Sabilillah pada 1945-1946 nasihat dari sang ayah begitu mengena. Pesan yang sama pun disampaikannya kepada seluruh anggota laskar guna menyemangati mereka.

 Selama nyantri di Tebuireng, Nawawi dikenal sebagai pembelajar yang tekun. Saat pihak pesantren meliburkan para santri menjelang bulan Ramadhan, umpamanya, putra daerah Mojokerto itu tetap tinggal di asrama.

Waktu-waktu luang diisinya dengan banyak membaca kitab-kitab. Dengan begitu, dirinya seperti mendapatkan momen ekstra untuk terus menimba ilmu-ilmu agama Islam.

 

 

Selama bulan Ramadhan, ia juga sempat mengikuti pengajian kitab hadis shahih al-Bukhari yang digelar KH Hasyim Asy'ari. Selain itu, ia juga mengikuti kegiatan bahtsul masail atau diskusi masalah-masalah keagamaan. Alhasil, wawasan keagamaan dan kebangsaannya pun semakin luas.

Melalui forum intelektual tersebut, Nawawi muda kian menjadi sadar dan peka terhadap persoalan-persoalan di tengah masyarakat. Penduduk Nusantara kala itu masih dicengkeram penjajahan. Pemerintah kolonial tidak rela membiarkan negeri ini merdeka, bebas menentukan nasibnya sendiri. 

 

Setelah belajar di Tebuireng, Nawawi kemudian berguru pada Kiai Chozin di Pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo. Usai itu, dirinya belajar pada Kiai Sholeh dan Kiai Zainuddin di Pesantren Mojosari, Nganjuk.

Rihlah keilmuannya pun berlanjut kepada Syaikhona Kholil di Pesantren Demangan, Bangkalan, Pulau Madura. Setidaknya, 15 tahun lamanya dirinya mengembara dari satu tempat ke tempat lain guna mencari ilmu.

 
Berita Terpopuler