Memahami Hadis yang Dicontohkan Sahabat

Para sahabat di masa Rasulullah langsung meminta penjelasan secara langsung

Blogspot.com
Hadist (ilustrasi).
Rep: Imas Damayanti Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID,  Najih Arramadloni dalam buku Daulah Islamiyah dalam Alquran dan Sunnah menjelaskan bahwa di masa Nabi apabila ada sahabat yang ingin mendapatkan pemahaman yang benar tentang sebuah hadis, mereka bisa langsung meminta penjelasannya dari Nabi.

Baca Juga

Mereka pun dapat memperoleh pemahaman hadis dari majelis formal maupun non-formal sebagaimana yang pernah terjadi pada Uqbah bin Harits yang menanyakan langsung kepada Nabi perihal hukum menikahi saudara sepersusuan yang tidak ia ketahui sebelumnya.

Sedangkan apabila ada sahabat yang tidak dapat menemui Nabi secara langsung, mereka dapat menanyakannya pada sahabat yang lain. Hal ini sebagaimana kisah Sayyidina Umar bin Khattab dan seorang tetangganya yang secara bergantian mengikuti majelis Nabi untuk menerima penjelasan langsung dari sang kekasih Allah itu.

Meski demikian, Nabi tidak menutup adanya peluang kemungkinan ragam pendapat atas hadis yang beliau sampaikan. Terbukti, para sahabat sempat tidak sejalan dalam memahami hadis berikut, “Janganlah kalian shalat Ashar kecuali telah sampai di daerah Bani Quraidzah,”.

Para sahabat saling berbeda pendapat, sebagian memahami bahwa secara substansial hadis tersebut merupakan perintah untuk bergegas dalam perjalanan agar dapat tiba di tempat tujuan pada waktu Ashar. Sehingga jika waktu Ashar sudah tiba namun mereka belum sampai di tempat tujuan, maka boleh shalat Ashar di mana saja dan tidak harus menundanya sampai di perkampungan Bani Quraidzah.

 

 

Itu artinya, golongan sahabat ini tidak memahami hadis tersebut sebagaimana bunyi teksnya. Di mana terdapat larangan shalat Ashar kecuali telah tiba di perkampungan Bani Quraidzah. Sedangkan sebagian sahabat lainnya memahami berbeda.

Menurut sahabat di kalangan ini, hadis tersebut adalah pesan Rasulullah SAW untuk hanya shalat Ashar di perkampungan Bani Quraidzah dan tidak boleh shalat di lain tempat meski waktu shalat Ashar telah masuk. Saat kembali dari Bani Quraidzah, para sahabat menceritakan peristiwa tersebut kepada Nabi untuk meminta penjelasan. Kemudian oleh Nabi, kedua pemahaman tersebut dibenarkan.

Kebiasaan para sahabat untuk meminta klarifikasi atas sebuah persoalan langsung kepada Nabi, di kemudian hari dikenal dengan nama metode kritik matan. Yakni menjelaskan kebenaran atau ketidakbenaran penisbatan teks hadis kepada Rasulullah SAW. Kebenaran ini dalam ilmu hadis diperoleh dengan cara mengetahui apakah teks sebuah hadis itu bebas dari shuzuz (kejanggalan) dan illat (cacat). 

Sejarah pemahaman hadis juga berlanjut hingga generasi setelah Nabi wafat. Masa ini ditandai dengan kehati-hatian para sahabat dalam meriwayatkan hadis. Hal ini dilatarbelakangi oleh kekhawatiran para sahabat atas ancaman untuk orang-orang yang berani berdusta atas nama Rasulullah SAW, serta kekhawatiran tercampurnya Alquran dengan hadis.

 

Kehati-hatian yang sama juga dilakukan para sahabat dalam menerima suatu hadis sebagaimana yang dilakukan Sayyidina Abu Bakar yang melakukan kroscek ke sahabat yang lain tentang validitas sebuah hadis. Sebab pasca-wafatnya Nabi Muhammad, situasi tidak lagi sama.

Para sahabat tidak lagi dapat secara leluasa menanyakan maksud suatu hadis secara langsung kepada sumbernya. Karenanya, interpretasi terhadap hadis pun semakin beragam. Ditambah dengan kesenjangan kapasitas antar-sahabat dalam mencerna hadis, keragaman pemahaman terhadap suatu hadis semakin tidak mungkin untuk dibendung.

 

Belum lagi perbedaan kapasitas intelektual para sahabat. Maka tentang keragaman pemahaman ini, kalangan sahabat memberikan dua macam respons; pertama, sebagian sahabat memilih untuk diam. Dan kedua, sahabat memberikan komentar berupa kritik. Hal ini dilakukan dengan mengkonfirmasi sebuah pemahaman dengan nash Alquran atau dengan hadis-hadis yang lain.

 
Berita Terpopuler