AGH Muhammad Thahir Lapeo Sang Pembaru di Mandar (II)

Imam Lapeo pun turut berkontribusi dalam perjuangan melawan penjajah.

gahetna.nl
Ulama tempo dulu mengajar para santrinya.
Rep: Muhyiddin Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID, Masyarakat Mandar mengenangnya tidak hanya sebagai pendakwah. Imam Lapeo pun turut berkontribusi dalam perjuangan melawan penjajah.

Baca Juga

Walau tidak terjun langsung ke medan peperangan, dirinya aktif memberikan nasihat kepada para gerilyawan yang datang kepadanya. Perjumpaan itu selalu disertai doa, semoga Allah SWT memberikan hasil terbaik untuk ikhtiar ini.

Imam Lapeo alias Muhammad Thahir lahir pada 1838 Masehi. Desa Pambusuangkini termasuk wilayah Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat merupakan tempat pertamanya menghirup udara dunia. Ia merupakan putra dari pasangan Haji Muhammad bin Abdul Karim dan Siti Rajiah.

Saat baru lahir, ayahnya memberi nama Junaihil Namli. Nama ini terbilang asing di telinga masyarakat Mandar. Kata namli tidak berasal dari bahasa lokal, melainkan bahasa Arab yang berarti semut (an-naml). Kemungkinan, Haji Muhammad bin Abdul Karim terinspirasi dari satu surah di dalam Alquran.

Sejak kecil, Junaihil Namli tumbuh menjadi anak yang berbakti kepada kedua orang tua. Ayah dan ibunya pun mendidiknya dengan baik. Alhasil, ia dikenal masyarakat sebagai anak yang jujur, pemberani, dan berkemauan keras.

 

 

Ia berasal dari keluarga yang agamis. Haji Muhammad merupakan seorang petani dan nelayan. Di luar pekerjaannya itu, bapak kandung Junaihil itu mengajarkan Alquran kepada anak-anak dan warga umumnya. Ini seturut dengan profil kakeknya, Abdul Karim Abbatalahi, yang seorang hafiz.

Saat masih berumur anak-anak, Junaihil lebih tertarik pada pelajaran-pelajaran agama daripada ilmu umum. Ia mendapat pendidikan ilmu Alquran dari kakeknya langsung. Tak mengherankan bila sejak usia dini dirinya telah mengkhatamkan Alquran beberapa kali. Capaian ini melampaui teman-teman sebayanya.

Menjelang usia remaja, ia lebih giat dalam menguasai bahasa Arab. Karena itu, ia menekuni ilmu-ilmu gramatika, seperti nahwu dan sharaf, dari sejumlah guru di Pambusuang.

Setelah itu, ia pergi ke Pulau Salemo untuk menimba ilmu-ilmu agama Islam. Saat berusia 15 tahun, Junaihil mengikuti pamannya, Haji Buhari, ke Padang, Sumatra Barat. Tujuannya tidak hanya membantu sang paman untuk berdagang kain sutra, tetapi juga meneruskan rihlah keilmuan.

Di Tanah Minang, dirinya berguru kepada ulama-ulama yang masyhur. Sekembalinya dari Sumatra Barat, ia melanjutkan perjalanan ke luar negeri, tepatnya Hijaz. Perjalanan ke Makkah al-Mukarramah dilakukannya untuk berhaji sekaligus menambah ilmu.

 

Di Masjidil Haram, putra daerah Mandar ini mengaji beragam disiplin keislaman, semisal fikih, tafsir Alquran, hadis, kalam, dan lain-lain.

Perjalanannya ke Makkah dimulai pada 1886. Ia tinggal di kota kelahiran Nabi Muham mad SAW itu beberapa tahun lamanya. Di antara guru- gurunya selama di Tanah Suci adalah Syekh Muhammad Ibna. Dalam beberapa literatur, juga disebutkan bahwa ia pernah belajar hingga ke Istanbul, Turki. Karena itu, gelarnya ialah Kanne Tambul, 'sang kakek dari Istanbul.'

Begitu kembali ke Tanah Air, ia tetap meneruskan rihlah intelektualnya. Imam Lapeo tercatat pernah berguru pada sejumlah alim di Pare- pare, termasuk al-Yafii. Perja lanannya juga sampai ke Jawa dan Madura.

Bahkan, dirinya pernah menimba ilmu dari Syaikhona KH Kholil Bangkalan. Beberapa sumber menyebutkan, kota-kota lain yang pernah disinggahinya dalam rangka menuntut ilmu-ilmu agama ialah Temasek (Singapura) dan Melaka. 

 

Pada saat berusia 27 tahun, Imam Lapeo dijodohkan oleh seorang gurunya, Sayyid Alwi Jamaluddin bin Sahil. Ulama besar asal Yaman itu menikahkannya dengan seorang gadis bernama Hagiyah. Perempuan ini lalu berganti nama menjadi Rugayyah. Sejak itulah, nama Imam Lapeo pun diganti oleh Sayyid Alwi men jadi Muhammad Thahir. 

 
Berita Terpopuler