'Penyalur Pegawai Bernama KPK'

Penyaluran pegawai KPK tak lolos TWK seperti bagian dari penggembosan integritas KPK.

ANTARA/Asprilla Dwi Adha
Salah satu dari massa aksi yang tergabung dalam serikat buruh dan masyarakat sipil melakukan aksi teatrikal di depan Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (28/6/2021). Aksi tersebut dilakukan sebagai bentuk protes dari upaya pelemahan KPK mulai dari revisi UU KPK hingga pemecatan 75 pegawai KPK yang tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizkyan Adiyudha, Haura Hafizhah, Amri Amrullah

Baca Juga

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih belum memutuskan nasib 51 pegawai yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK). Puluhan pegawai tak lolos TWK itu akan segera mengakhiri tugas secara otomatis pada Oktober nanti berdasarkan UU nomor 19 tahun 2019 tentang KPK.

Ketua KPK, Firli Bahuri, Rabu (15/9), mengatakan KPK akan pada waktu memberikan keterangan mengenai kelanjutan nasib pegawai KPK yang tidak lolos TWK. Saat ini KPK akan lebih dahulu melantik 18 pegawai yang telah melakukan pelatihan bela negara dan wawasan kebangsaan beberapa waktu lalu. Pelantikan akan dilakukan oleh Sekretaris Jenderal KPK Cahya H Harefa.

Mantan deputi penindakan KPK itu namun enggan merinci waktu pastinya KPK menjelaskan isu pemecatan pegawai gagal tes aparatur sipil negara (ASN) tersebut. Dia meminta masyarakat agar tidak berspekulasi terlebih dahulu.

KPK saat ini masih sibuk untuk mempersiapkan pelantikan 18 pegawai yang telah dilatih. Dia mengatakan, pelantikan para pegawai itu dilakukan siang ini. "Kita lantik dan ambil sumpah yang 18 pegawai dulu ya," katanya.

TWK menjadi salah satu syarat alih status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) berdasarkan UU nomor 19 tahun 2019 tentang KPK. Kendati, ditemukan banyak kecacatan administrasi dan pelanggaran HAM selama proses tes tersebut dilaksanakan.

TWK yang diikuti 1.351 pegawai KPK itu sukses menyingkirkan 75 pegawai berintegritas semisal penyidik senior, Novel Baswedan, Ketua Wadah Pegawai KPK yang juga penyidik Yudi Purnomo, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Anti-Korupsi KPK Giri Suprapdiono dan Kasatgas KPK Harun Al-Rasyid. Mereka dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) berdasarkan tes tersebut.

Dalam perkembangannya, dari 75 pegawai TMS itu, sebanyak 24 dinyatakan masih dapat dibina kembali sedangkan 51 sisanya dipastikan tidak lolos dan tidak bisa dibina ulang, termasuk Novel Baswedan dan pegawai berintegritas lainnya.

KPK tidak menampik berupaya memberi bantuan kepada para pegawai yang berstatus TMS. KPK membantu pegawai untuk disalurkan sesuai dengan pengalaman kerja dan kompetensi.

"Kami dapat jelaskan bahwa atas permintaan pegawai yang dinyatakan tidak memenuhi syarat diangkat menjadi ASN, KPK bermaksud membantu pegawai tersebut untuk disalurkan pada institusi lain di luar KPK," kata Sekretaris Jenderal KPK, Cahya Harefa dalam keterangan, Selasa (14/9).

Menurutnya, tidak sedikit institusi yang membutuhkan spesifikasi pegawai sesuai yang dimiliki insan KPK. Oleh karenanya, penyaluran kerja ini bisa menjadi solusi sekaligus kerjasama mutualisme yang positif.

Cahya mengatakan, penyaluran kerja bagi pegawai KPK sebetulnya juga sesuai dengan program lembaga antirasuah yang telah lama dicanangkan. Yaitu, sambung dia, menempatkan insan KPK sebagai agen-agen antikorupsi di berbagai instansi dan lembaga.

"Selanjutnya, untuk dapat bekerja di instansi tujuan, sepenuhnya akan mengikuti mekanisme dan standar rekrutmen yang ditetapkan oleh instansi tersebut," katanya.

Cahya berharap niat baik KPK dimaknai secara positif mengingat penyaluran kerja ini memberikan manfaat langsung bagi pegawai yang bersangkutan, institusi kerja yang baru dan juga bagi KPK. Menurutnya, langkah itu dapat memperluas dan memperkuat simpul antikorupsi di berbagai institusi. "Salah satu pegawai yang telah menyampaikan surat permohonan untuk disalurkan ke institusi lain menyatakan, keinginan terbesarnya adalah menyebarkan nilai-nilai antikorupsi di tempat lain di luar KPK," klaimnya.

Pengamat Hukum sekaligus Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) dari Universitas Andalas Feri Amsari menilai tindakan KPK menyalurkan pekerjaan ini membuat pimpinan KPK mirip penyalur tenaga kerja. "Aneh KPK ini. Katanya pegawai tidak lulus KPK itu tidak pancasilais. Malah mau disalurkan bekerja. Itu kan artinya pemberhentian mereka bukan tidak pancasilais tapi KPK tidak nyaman karena mereka bekerja benar. Tindakan KPK menyalurkan pekerjaan ini membuat pimpinan KPK mirip penyalur tenaga kerja," katanya saat dihubungi Republika, Rabu (15/9).

Kemudian, ia melanjutkan ini menunjukkan kalau pemberhentian pegawai KPK bukan soal bermasalah karena kapasitas kerja dan tidak pancasilais tapi tujuan pemberhentian terkait ketidaknyamanan pihak-pihak tertentu terhadap kinerja mereka. "Sebenarnya Presiden mengangkat saja pegawai tersebut berdasarkan PP nomor 17 tahun 2020 tentang manajemen PNS. Dengan begitu masalah selesai," kata dia.

 

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Arif Maulana juga menilai janggal upaya penyaluran pegawai KPK tak lolos TMS. "Penyaluran ke institusi lain ini bukti jelas kalau Pimpinan KPK yaitu Firli Bahuri memang memiliki intensi dan target untuk menyingkirkan pegawai dengan distigma radikal karena tidak lolos TWK hanya akal-akalannya saja. Betul sangat jelas ini aneh, kekurangan penyelidik dan penyidik namun menyingkirkan mereka apalagi mereka para pegawai berpengalaman dan berprestasi," katanya saat dihubungi.

Kemudian, ia melanjutkan kejanggalan berikutnya adalah sudah distigma bermasalah tetapi mau disalurkan ke lembaga atau institusi lain. Tindakan tersebut menunjukkan kalau stigma itu jelas keliru sebagaimana temuan Ombudsman dan Komnas HAM.

"Ini seperti bentuk cara jahat penyingkiran dengan dalih membantu dan bagian dari program KPK. Padahal Presiden, Ombudsman RI dan Komnas HAM sudah merekomendasikan kepada Pimpinan KPK untuk memproses alih status mereka menjadi PNS di KPK sebagaimana ketentuan UU," kata dia.

Hal ini didasarkan pada Ombudsman menentukan maladministrasi dan penyalahgunaan wewenang dalam penyusunan kebijakan dan pelaksanaan TWK termasuk berbagai temuan pelanggaran HAM oleh Komnas. "Mestinya Pimpinan KPK yang banyak bermasalah saat ini  mengikuti rekomendasi ombudsman dan Komnas HAM. Tidak justru terus membuat kebijakan yang mempermalukan KPK yang mestinya tegakkan hukum bukan mempermainkan hukum," kata dia.

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM Zainur Rahman menilai pimpinan KPK tidak bisa memberhentikan sepihak pegawainya yang tak lolos TWK. Alasannya bertentangan dan melanggar putusan Mahkamah Agung (MA).

Putusan MA tersebut, jelas dia, adalah tindaklanjut atas keputusan TWK KPK menjadi kewenangan pemerintah atau presiden, bukan KPK. Artinya KPK tidak memiliki kewenangan menindaklanjuti hasil TWK, termasuk memecat pegawainya. Kewenangan itu ada di presiden atau bawahannya di pemerintah.

Kemudian Undang Undang 19 tahun 2019 juga memberi batasan waktu maksimal dua tahun untuk pegawai KPK dialihstatuskan menjadi ASN. Artinya tidak ada urgensi untuk memberhentikan pegawai KPK, apalagi pemberhentian itu berlawanan dengan UU dan putusan MA.

"Jadi menurut saya jika pemberhentian itu benar dilaksanakan, maka itu merupakan pelanggaran hukum, pembangkangan terhadap putusan MA karena dilakukan tanpa kewenangan, yang mana kewenangan ada di pemerintah," terangnya.

Terkait penyaluran pegawai KPK untuk bekerja ke institusi lain, Zainur menilai justru cara itu juga bagian dari penggembosan integritas KPK. "Tawaran untuk bekerja di BUMN itu bisa jadi strategi untuk menggembosi perlawanan pegawai KPK yang masih memiliki integritas sangat baik dalam pemberantasan korupsi," ujarnya.

Karena memang KPK tidak memiliki kewenangan menempatkan eks pegawainya ke instansi lain. "KPK bulan penyalur tenaga kerja," tegasnya. Jadi tidak bisa KPK menempatkan eks pegawainya di instansi lain, termasuk di BUMN.

Kalaupun ada, KPK bekerjasama dengan instansi lain untuk menempatkan pegawai aktif ke instansi lain, untuk melakukan perubahan-perubahan agar instansi atau institusi tersebut jadi lebih bersih dari korupsi. Itu memungkinkan, dengan catatan dilakukan dengan kerjasama antara KPK dengan instansi lain.

"Artinya itu dilakukan dalam batasan waktu tertentu, bukan permanen jadi pegawai instansi lain. Itu bisa jadi program pencegahan. Tapi tidak mungkin bila dilakukan oleh eks pegawai," terangnya.

Zainur menilai upaya penggembosan ini dikarenakan syarat yang diajukan adalah harus mengundurkan diri terlebih dahulu. Jadi kalaupun disalurkan ke BUMN, sejatinya itu bukan program pencegahan korupsi, tapi upaya untuk menggembosi perlawanan pegawai, karena TWK sudah disebut maladministrasi oleh Ombudsman RI dan pelanggaran HAM oleh Komnas HAM.

Dan bahkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) menyerahkan keputusan hasil TWK KPK diserahkan ke Presiden, bukan kembali ke KPK. Sehingga Pimpinan KPK tidak memiliki hak memutuskan status pegawainya yang tak lolos TWK, karena diserahkan kembali ke presiden sebagaimana putusan MK dan MA.

"Maka ada strategi dari pimpinan KPK dengan mempekerjakan di instansi BUMN dengan cara mengundurkan diri terlebih dahulu. Maka saya melihatnya ini sebagai penggembosan," imbuhnya.

Kalau melihat logika, menurut dia, justru aneh. Karena pimpinan KPK sejak awal bersikeras mereka tak lolos TWK, tapi kok malah ditawarkan bekerja di instansi lain. Maka kalau dilihat logika tersebut, jelas menurut dia, bahwa TWK yang kemarin memang tes asal-asalan yang banyaj masalah, sesuai dengan temuan Komnas HAM dan Ombudsman.

 

Ombudsman RI telah menyampaikan hasil pemeriksaan terkait tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai KPK - (Republika)

 

 

 

 
Berita Terpopuler