Kisah Mualaf Amerika Hidup di Negara Muslim

Hidup di negara Muslim membantunya belajar sejarah Islam secara langsung.

AP
Kisah Mualaf Amerika Hidup di Negara Muslim. Burung-burung menyambut pagi di kubah Masjid Jami New Delhi, India, 27 Maret 2011
Rep: Alkhaledi Kurnialam Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Seorang mualaf asal Amerika Serikat Brian Wright menyebut pertemuannya dengan Islam mengubah kehidupannya. Ia bahkan mendalami Islam lebih jauh dengan mempelajari agama di berbagai negara Muslim hingga kini berprofesi sebagai Asisten Profesor Studi Islam di Universitas Zayed, Abu Dhabi.

Baca Juga

Selain hidayah Islam, Brian mengaku hidup di negara-negara Muslim menjadi pengalaman luar biasa. Mudahnya menemukan orang-orang saleh, makanan halal, hingga situs-situs Islam. Tapi ia mencatat beberapa pengalaman berbeda saat tinggal di negara-negara itu.

Hidup dekat dengan sejarah

Ketika hidup dalam masyarakat mayoritas Muslim, dia menyebut mempelajari sejarah tidak hanya dari teks, tapi bisa langsung merasakan dan melihatnya. Di Mesir, misalnya, ada tempat peristirahatan terakhir anggota keluarga dan sahabat Nabi Muhammad, benteng yang dibangun oleh Salahuddin sendiri, dan lembaga-lembaga seperti Al Azhar yang dapat dicapai dengan naik bus.

"Tertarik dengan karya Imam Syafi'i?  Ia dimakamkan di sebelah gurunya, Imam Layth ibn Sa'd, di sisi Selatan Kairo. Hadits? Ibnu Hajar al-Asqalani tinggal hanya berjalan kaki singkat," katanya dilansir dari About Islam, Selasa (7/9).

"Negara-negara Muslim juga merupakan pusat pengetahuan yang berharga. Di AS, saya selalu harus mencari guru yang baik atau menghabiskan banyak uang untuk mendapatkan buku baru. Di India, Anda bisa naik kereta api dan dalam beberapa jam Anda akan menemukan pusat pembelajaran Islam di Deoband atau Nadwa di Lucknow," tambahnya.

Menurutnya, toko buku dan perpustakaan, dengan pengetahuan berabad-abad mudah dijangkau di negara itu. Selain itu, hidup di tengah masyarakat mayoritas Muslim, Islam akan selalu menjadi perhatian publik.

Baca juga : Saudi Siap Denda Jamaah Umrah Tanpa Izin

 

Kekurangannya

"Tapi mari kita juga jujur. Negara-negara mayoritas Muslim, karena berbagai alasan, tidak selalu menjadi tempat tinggal yang mewah. Banyak Muslim masih hidup dalam kemiskinan dan tunduk pada korupsi, salah urus, dan disorganisasi," katanya.

"Di beberapa negara, bahkan tugas dasar sehari-hari seperti menggunakan transportasi umum atau menemukan restoran yang bagus bisa menjadi tugas yang berat," tambahnya.

Sebagai mualaf kulit putih, Brian mengaku selalu terlihat seperti seorang mualaf baru. Ia diperlakukan sebagai orang yang "hampir" Muslim. "Ini selalu terjadi dengan saya ketika saya terlibat dalam percakapan dengan orang asing. Segera setelah saya menyebutkan bahwa saya masuk Islam, saya diberikan sebuah pertanyaan untuk melihat apakah saya “benar-benar” seorang Muslim," katanya.

"Ada berapa rakaat sholat ashar? Bacakan beberapa ayat Alquran untukku. Jika Anda memiliki dua rumah, berapa zakat yang harus Anda keluarkan?" ujarnya tentang pertanyaan yang dilontarkan orang-orang.

Namun, pada saat yang sama, Brian mengatakan perlakuan ini bisa sangat membantu. Terkadang ia menjadi orang yang lebih banyak diperhatikan terutama saat belajar.

"Ini agak aneh, terutama ketika Anda melihat orang lain yang jauh lebih layak, malah diabaikan. Guru akan bekerja ekstra untuk memberi saya tempat di depan kelompok, meskipun saya jelas bukan siswa terbaik atau paling pantas," ujarnya.

Baca juga : Iwan Fals Tantang Sandiaga Jadi Presiden Lewat Cuitannya

 

Hadapi ketidaksempurnaan

Menurutnya, semakin banyak berinteraksi dengan Muslim, ia menyadari Muslim juga manusia. Mereka bisa saja melakukan ketidaksempurnaan yang bertentangan dengan Islam sendiri. Adanya orang yang kasar hingga korup kadang bisa mengubah citra Islam di mata Anda jika tidak memahami benar perbedaan Islam dan Muslim.

Meski begitu, menurutnya, hidup di dunia Muslim adalah kesempatan fantastis. "Setelah bertahun-tahun, saya dapat dengan nyaman mengatakan beberapa bagian (Mesir dan India) adalah rumah kedua bagi saya," katanya.

Brian Wright adalah Asisten Profesor Studi Islam di Universitas Zayed, Abu Dhabi.  Ia meraih gelar PhD dari Institute of Islamic Studies di McGill University. Disertasinya tentang hukum pidana Islam di Mesir, India, dan Turki Usmani pada abad ke-19. Ia telah belajar fiqih dengan sejumlah ulama tradisional di Mesir dan India.

Baca juga : Arab Saudi Berharap Situasi Afghanistan Lekas Stabil

 
Berita Terpopuler