Uji Klinis: Plasma Konvalesen tidak Cegah Keparahan Covid-19

National Institute of Health telah menerbitkan hasil uji klinis plasma konvalesen.

ANTARA/Destyan Sujarwoko
Penyintas Covid-19 menyumbangkan plasma konvalesennya (Ilustrasi).
Rep: Gumanti Awaliyah Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Studi terbaru dari Amerika Serikat menunjukkan bahwa terapi plasma konvalesen pada pasien rawat jalan Covid-19 tidak efektif mencegah keparahan penyakit. Temuan tersebut dipublikasikan secara daring di edisi terbaru The New England Journal of Medicine.

Hasil akhir uji klinis plasma konvalesen Covid-19 yang dilakukan National Institute of Health (NIH) menyimpulkan, terapi ini tidak mampu mencegah perkembangan penyakit pada kelompok pasien rawat jalan Covid-19 di fase awal sakitnya. Uji coba klinis sebelumnya dihentikan pada Februari karena kurangnya kemanjuran plasma konvalesen berdasarkan analisis sementara.

Baca Juga

"Kami berharap penggunaan plasma konvalesen Covid-19 akan mencapai setidaknya 10 persen pengurangan perkembangan penyakit pada kelompok ini, tetapi pengurangan yang kami amati justru kurang dari 2 persen," kata Dr Clifton Callaway, peneliti utama yang juga profesor kedokteran di University of Pittsburgh.

Callaway dan rekan terkejut dengan kesimpulan penelitiannya. Sebagai dokter, mereka ingin ini membuat perbedaan besar dalam mengurangi penyakit parah.

"Namun, ternyata itu tidak berguna," kata dia, dikutip dari laman NIH, Sabtu (28/8).

Plasma konvalesen Covid-19 adalah plasma darah yang berasal dari penyintas penyakit akibat infeksi virus corona tipe baru (SARS-CoV-2) tersebut. Tahun lalu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) AS mengeluarkan izin penggunaan plasma konvalesen pada pasien rawat inap dengan Covid-19 melalui otorisasi penggunaan darurat.

Uji klinis kali ini difokuskan untuk mengetahui apakah plasma konvalesen Covid-19 juga bisa membantu orang yang baru saja terinfeksi virus corona, tetapi tidak sakit parah. Tujuannya adalah untuk mencegah perkembangan penyakit Covid-19 menjadi parah.

Studi yang yang diluncurkan pada Agustus 2020 itu dirancang untuk menjawab pertanyaan tersebut. Uji klinis acak terkontrol melibatkan pasien rawat jalan dewasa yang datang ke unit gawat darurat dengan gejala Covid-19 ringan selama pekan pertamapasca infeksi.

Uji klinis melibatkan lebih dari 500 peserta dari 48 unit gawat darurat di seluruh AS. Para peserta terdiri dari berbagai ras dan etnis dengan usia rata-rata 54 tahun, dan hampir setengahnya adalah perempuan.

Peserta juga memiliki setidaknya satu faktor risiko untuk berkembang menjadi Covid-19 yang parah, seperti obesitas, hipertensi, diabetes, penyakit jantung, atau penyakit paru-paru kronis. Para peserta secara acak diberikan pengobatan dengan plasma konvalesen Covid-19 titer tinggi (mengandung antibodi anti-Covid-19) atau plasebo (larutan garam yang diresapi dengan multivitamin).

Donor Plasma Konvalesen - (Republika)

Para peneliti membandingkan hasil pada kedua kelompok dalam waktu 15 hari pengobatan. Mereka memantau secara khusus apakah pasien perlu mencari perawatan darurat lebih lanjut, di rawat di rumah sakit atau meninggal.

Hasilnya, para peneliti tidak menemukan perbedaan yang signifikan dalam perkembangan penyakit antara kedua kelompok. Dari 511 peserta, perkembangan penyakit terjadi pada 77 (30 persen) pada kelompok plasma Covid-19 dibandingkan dengan 81 pasien (31,9 persen) pada kelompok plasebo.

"Hasilnya menunjukkan bahwa plasma konvalesen tampaknya tidak bermanfaat bagi kelompok tertentu ini. Tetapi temuan ini menjawab pertanyaan klinis yang penting dan dapat membantu membawa para peneliti selangkah lebih dekat untuk menemukan perawatan yang lebih efektif melawan penyakit yang menghancurkan ini," kata peneliti lainnya, Nahed El Kassar.

Peneliti belum menemukan alasan pasti terkait temuan ini. Mereka terus mencari penjelasan yang mungkin, termasuk dosis plasma yang tidak mencukupi, waktu pemberian plasma, faktor terkait inang, atau aspek lain dari respons jaringan inang terhadap infeksi.

Studi tambahan tentang plasma konvalesen Covid-19 sedang berlangsung atau direncanakan pada populasi yang berbeda. Hipotesis yang mendasari penggunaan plasma konvalesen sebagai pengobatan potensial untuk pasien Covid-19 adalah antibodi yang dikandungnya dapat menetralkan virus, menghentikannya mereplikasi, dan menghentikan kerusakan jaringan.

Pada Januari lalu, peneliti lintas negara yang tergabung dalam REMAP-CAP menemukan bahwa pemberian plasma konvalesen memiliki probabilitas manfaat yang sangat rendah (2,2 persen) untuk mengurangi angka kematian atau mengurangi jumlah hari dirawat pada pasien yang membutuhkan perawatan intensif. REMAP-CAP adalah uji klinis internasional yang mengeksplorasi pengobatan potensial untuk Covid-19.

Uji klinis tersebut telah merekrut 4.100 pasien Covid-19 di lebih dari 290 situs klinis di seluruh Eropa, Amerika, Asia, Afrika, dan Australasia. Sementara itu, Ketua Umum Pengurus Pusat Palang Merah Indonesia (PMI), Muhammad Jusuf Kalla, mengemukakan 90 persen penggunaan plasma konvalesen dari para penyintas Covid-19 efektif menyembuhkan pasien terinfeksi SARS-CoV-2.

Pernyataannya itu merujuk pada data klinis pasien Covid-19 yang menjalani terapi plasma di Jawa Timur berdasarkan laporan Ketua Konsil Kedokteran Indonesia, Putu Moda. Ia pun menyerukan penyintas Covid-19 untuk menyumbang plasma konvalesen.

"Plasma konvalesen adalah penemuan sejak lama bahwa plasma dari seorang penyintas Covid-19 yang telah sembuh dapat menyumbangkan plasmanya kepada orang yang tengah sakit Covid-19 ini telah menyembuhkan," katanya dalam acara Webinar Nasional dalam rangka memperingati Hari Donor Darah Sedunia 2021, Senin (14/6).

Menurut publikasi laman sehatnegeriku.kemkes.go.id pada 8 September 2020, terapi plasma konvalesen pada Covid-19 hingga kini hanya boleh digunakan untuk kodisi kedaruratan dan dalam penelitian. Manfaat terapi ini masih kontroversial karena masih belum cukup bukti yang menunjukkan efektifitasnya.

Dikutip dari laman yang sama, peneliti senior Lembaga Biologi Molekuler Eijkman David H Muldjono menuturkan, pemberian plasma konvalesen sebagai terapi tambahan Covid-19 hanya diberikan untuk pasien derajat sedang yang mengarah kegawatan (pneumonia dengan hipoksia) di samping pasien derajat berat. Terapi ini juga bukan bagian dari pencegahan, melainkan pengobatan pasien.

"Kita tidak memberikan ini untuk pencegahan, karena ini adalah terapi dan belum diuji coba di seluruh dunia dan belum ada protokolnya, sehingga kami tidak memberikan dalam konteks pencegahan,” kata David.

 
Berita Terpopuler