KH Ahmad Rifai Arief, Ulama Santun Pendidik Umat (II)

KH Ahmad Rifai Arief percaya makin banyak sekolah Islam bermanfaat untuk umat Islam.

Dok Daar el-Qolam
Pondok Pesantren Daar el-Qolam di Gintung, Jayanti, Tangerang, Banten.
Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID, Walaupun sudah cukup sukses dengan Madrasah al-Mu'allimin al-Islamiyah (MMI) dan Pondok Pesantren Daar el-Qolam, KH Ahmad Rifa'i Arief masih bervisi mendirikan beberapa lembaga pendidikan Islam lainnya. Menurut ulama asal Kampung Pasir Gintung, Tangerang, Banten, ini, semakin banyak sekolah, kaum Muslimin pun lebih merasakan manfaat pencerahan.

Baca Juga

Pada 1989, ia mendapatkan lahan seluas kira-kira 13 hektare di kawasan P arakansantri, Lebakgedong, Lebak, Ban ten. Di sana, alumnus Pondok Modern Darussalam Gontor ini merintis institusi baru, yang dinamakannya Pondok Pesantren La Tansa Mashira. Nama itu terinspirasi dari surah al-Qasas ayat 77, sehingga maknanya adalah tetaplah fokus pada akhirat, tetapi jangan melupakan dunia.

Kepeduliannya pada dunia pendidikan tidak berhenti sampai di situ. Pada akhir 1993, Kiai Rifa'i melebarkan sayar pesantren dengan adanya Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi/Sekolah Tinggi Agama Islam (STIE/STAI) La Tansa Mashiro. Dengan begitu, para santri setempat dapat meneruskan studi hingga ke jenjang pendidikan tinggi.

Kira-kira dua tahun kemudian, putra pasangan H Qasad dan Hj Hindun ini merin tis pesantren baru lagi. Kali ini, lokasinya terletak di dekat pantai Pandeglang, Banten. Lembaga itu kemudian dinamakan sebagai Pondok Pesantren Wisata La Lahwa.

Nama tersebut bermakna para santri jangan lalai dengan dunia. Disebut sebagai pesantren wisata karena beberapa vila kecil dan resor didirikan di sana. Tujuannya agar pondok itu tidak hanya sebagai tempat untuk menikmati keindahan alam, tetapi juga mentadaburi keagungan ciptaan Allah SWT.

 

 

Pondok-pondok pesantren yang didirikan Kiai Rifa'i sering dikunjungi banyak tokoh, baik dalam skala nasional maupun internasional. Di antara tamu yang pernah menyambangi tempat-tempat itu adalah delegasi dari Universitas al-Azhar Kairo (Mesir), menteri agama Malaysia pada 1995, dan jajaran kabinet Presiden Soeharto pada 1990-an. Selama tiga dasawarsa sang kiai mengasuh keempat lembaga pendidikan Islam tersebut.

Sebagai upaya regenerasi dan kaderisasi, ia pun menempatkan adik-adiknya sebagai penanggung jawab keberlangsungan pondok-pondok pesantren itu. Pernah dirinya mengutarakan di hadapan seluruh santri, Walaupun saya mati, pondok-pondok pesantren ini tidak boleh mati. Harus tetap hidup dengan sistemnya, bukan sosok kiainya. Nasihat itu seperti menjadi wasiatnya menjelang tutup usia. Pada 14 Juni 1997, Kiai Rifa'i ditemukan seorang putranya dalam keadaan pingsan di atas sajadah shalat.

Ulama tersebut segera dilarikan ke rumah sakit terdekat. Para dokter menyatakan, mubaligh ini terkena serangan jantung dan harus menjalani perawatan medis. Namun, kondisinya terus menurun. Dua hari kemudian, tepatnya pada 16 Juni 1997 dokter mengatakan bahwa Kiai Rifa'i telah meninggal dunia. Kabar tersebut kemudian tersiar luas melalui televisi dan media massa nasional.

 

Dengan penuh kedukaan, lautan manusia mengiringi proses pemakaman jenazahnya. Sepeninggalan almarhum, sejumlah karib meneruskan amanah dalam mengasuh empat lembaga pendidikan yang telah dirintisnya.

 
Berita Terpopuler