KH Abdurrahim Nur, Dai Pemersatu Umat (II-Habis)

Kiai Abdurrahim menjadi panutan tidak hanya di satu, melainkan lintas ormas Islam.

Dok Istimewa
KH Abdurrahim Nur
Rep: Muhyiddin Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID, Di kampung halamannya, KH Abdurrahim Nur kembali melanjutkan perannya sebagai pendidik, pendakwah, sekaligus aktivis organisasi keislaman. Sebagai pengajar, kariernya secara formal dimulai sebagai guru dan kepala sekolah Pendidikan Guru Agama Atas (PGAA) Muhammadiyah di Porong, Sidoarjo.

Baca Juga

Kemudian, sejak 1967 dirinya mulai menapaki karier sebagai dosen. Kiprahnya berlangsung, antara lain, di Institut Agama Islam Negeri (IAIN)kini Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya hingga masa pensiun pada 1997. Selain itu, ia juga mengajar di Universitas Muhammadiyah Surabaya.

Pada periode 1960-an itulah, KH Abdurrahim mulai tertarik pada organisasi Muhammadiyah. Ketertarikan itu disebabkan dirinya cukup sering diundang Muhammadiyah untuk mengisi kajian keagamaan.

Memang, sebagai mubaligh ia tidak pernah membeda-bedakan siapa yang mengundang. Selama demi kepentingan agama dan umat, undangan akan selalu dipenuhinya bila waktu dan keadaan fisik memungkinkan.

Lama kelamaan, ikatan emosionalnya dengan Muhammadiyah mulai terbangun kuat. Akhirnya, Kiai Abdurrahim bergabung dengan persyarikatan yang didirikan KH Ahmad Dahlan itu.

 

Saat berkiprah di Muhammadiyah, pada mulanya ia dipercaya sebagai sekretaris Majelis Tarjih Pimpinan Daerah Muhammadiyah Sidoarjo. Sejak menduduki jabatan itu pada 1970, perannya terus mengemuka. Alhasil, dirinya kemudian diangkat menjadi ketua Majelis Tabligh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur sekitar 1980-an.

Pada periode 1985-1990, Kiai Abdurrahim menjadi salah satu wakil ketua PWM Jawa Timur. Waktu itu, yang menjadi ketuanya adalah KH Anwar Zain. Pada Desember 1989, Kiai Anwar berpulang ke Rahmatullah.

Dalam sebuah musyawarah wilayah (musywil) PWM di Asrama Haji Surabaya, hadirin pun bersepakat untuk mengangkat Kiai Abdurrahim sebagai penerus tugas sang almarhum. Akhirnya, tokoh yang pada masa mudanya aktif di NU itu terpilih sebagai ketua PWM Jawa Timur dua periode berturut-turut, yakni 1990-1995 dan 1995-2005.

Dengan latar belakangnya itu, sosok Kiai Abdurrahim menjadi panutan tidak hanya di satu, melainkan lintas organisasi Islam. Semasa memimpin PW Muhammadiyah, dirinya diakui luas mampu menjembatani segala perbedaan yang ada di perserikatan maupun antar-organisasi.

Bagi warga Nahdliyin, utamanya yang tinggal di Jawa Timur, alumnus al-Azhar yang seangkatan dengan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu merupakan pribadi yang sangat bersahabat dan terbuka. Bahkan, tabiatnya mengingatkan orang-orang pada Mohammad Natsir, yang juga diterima seluruh elemen Muslimin Indonesia. 

Pribadi Rendah Hati dan Sufistik

Tawadhu merupakan salah satu sifat orang-orang saleh. Buya Syafii Ma'arif dalam buku Pergumulan Tokoh Muhammadiyah Menuju Sufi mengenang KH Abdurrahim Nur sebagai seorang teladan dalam perkara tawadhu. Menurut dia, keteladanan itu dapat menjadi inspirasi bagi Muslimin Indonesia, khususnya warga Muhammadiyah. 

Mantan ketua umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah itu menuturkan, Kiai Abdurrahim dikenang karena kepribadiannya. Tutur katanya lembut, sikapnya santun, dan menunjukkan sifat rendah hati. Ulama yang wafat pada 29 Mei 2007 itu menjalani hidupnya dengan kesederhanaan.

Di samping itu, Buya Syafii melanjutkan, Kiai Abdurrahim sangat getol dalam melakukan dakwah. Sejak masa muda, alumnus Uni versitas al-Azhar (Mesir) yang seangkatan dengan KH Abdurrahman Wahid itu sudah menekuni dunia syiar Islam. Selain itu, tokoh kelahiran Sidoarjo, Jawa Timur, tersebut selalu terlibat aktif dalam berbagai kegiatan sosial keagamaan, seperti menyantuni anak-anak yatim, baik secara pribadi maupun melalui perserikatan.

Selain berkiprah di Muhammadiyah, Kiai Abdurrahim juga mendirikan dan memimpin Yayasan Nurul Azhar, yang mengelola panti asuhan yatim-piatu. Setiap pekan dirinya juga mengadakan pengajian rutin tafsir Alquran dan pengajian bulanan bertajuk Fajar Shodiq di halaman rumahnya. Setiap kegiatan itu kerap diikuti ribuan jamaah dari pelbagai kalangan.

 

 

"Namun, bagi ustaz kita ini (KH Abdurrahim Nur), dikagumi atau tidak bukan urusannya. Yang penting baginya, pesan risalah Nabi Muhammad SAW disampaikan secara bijak melalui pengajaran yang baik, dan bila berdialog dilakukannya dengan penuh kesopanan,"tulis Buya Syafii.

Ada satu kisah yang berkesan tentangnya. Dalam setiap kesempatan, Kiai Abdurrahim tidak membiasakan diri untuk dicium tangannya oleh para santri atau muridnya. Buya menceritakan, hal itu dilakukannya sebagai cerminan sikap tawadhu sekaligus menunjukkan jiwa tauhid yang kuat. Buya melihat, dalam diri ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur periode 1987-2000 terdapat karakteristik sufi sejati. 

Dalam arti, seorang salik yang tidak hanya menghabiskan waktunya untuk berzikir atau beribadah vertikal (habluminallah). Dalam berbagai risalah pemikirannya, tampak bahwa sang kiai menasihati pentingnya sikap menerima, menyerah, tunduk, dan patuh sepenuhnya kepada ketentuan Allah SWT.

 

Sebagai seorang dai prolifik, Kiai Abdurrahim menghasilkan cukup banyak karya. Di antaranya adalah Percaya Kepada Taqdir: Membawa Kemajuan atau Kemunduran? (1987) dan Perkembangan Aqidah Dalam Islam (1999).

 
Berita Terpopuler