KH Abdurrahim Nur, Dai Pemersatu Umat (I)

Abdurrahim gigih sebagai mubaligh muda dan aktivis organisasi.

Dok Istimewa
KH Abdurrahim Nur
Rep: Muhyiddin Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID, KH Abdurrahim Nur lahir pada 17 September 1932 dari pasangan Teriman dan Supiah. Saat usianya baru menginjak enam tahun, ayahnya meninggal dunia. Beberapa waktu kemudian, ibunya menikah lagi. Dari ayah tirinya, Abdurrahim kecil mendapatkan banyak bimbingan, termasuk dalam segi agama. Masa kecilnya dihabiskan terutama untuk menuntut ilmu.

Baca Juga

Pendidikan dasarnya tak ubahnya anak-anak yang tumbuh di lingkungan santri. Ia pernah menimba ilmu di Pondok Pesantren Tirmidzi, Porong, Sidoarjo. Di lembaga yang dipimpin Kiai Manshur dan Kiai Marzuki itu, dirinya mempelajari berbagai disiplin keilmuan, termasuk nahwu, sharaf, dan tahsin Alquran.

Seusai dari sana, ia meneruskan rihlahnya ke Pondok Pesantren Darul Ulum, Peterongan, Jombang. Seperti halnya Tebuireng, pesantren tersebut pun diasuh para kiai Nahdliyin. Mereka antara lain KH Romli Tamim dan KH Dahlan Kholil.

Waktu itu, Indonesia dalam masa transisi dari era penjajahan menuju kedaulatan. Meskipun telah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, RI tetap jauh dari kondisi sentosa. Sebab, Belanda datang lagi dengan tujuan ingin menjajah kembali Bumi Pertiwi. Jawa Timur termasuk wilayah yang mengalami banyak pergolakan pada masa revolusi.

 

 

Pada 1948, Belanda melancarkan agresi militer kedua. Masyarakat Jawa Timur turut merasakan dampaknya. Nyaris seluruh aktivitas publik terhenti. Para pelajar dan santri setempat turut berjuang bersama arek-arek laskar bersenjata demi mengusir penjajah.

Saat suasana mulai mereda, orang-orang mulai kembali beraktivitas meskipun belum sepenuhnya normal. Dari Jombang, Abdurrahim kala itu memutuskan untuk pulang kampung. Untuk sampai ke Porong, dirinya harus berjalan kaki karena memang tidak ada kendaraan untuk ditumpangi. 

Di kampung halamannya, kawan-kawannya mengajaknya untuk berdagang. Selama dua tahun, Abdurrahim pun menjadi pedagang, tetapi semangat pencari ilmu tetap menyala dalam dadanya. Pada 1950, ia kembali nyantri. Kali ini, tempatnya menuntut ilmu adalah sebuah pondok pesantren yang diasuh seorang tokoh Persatuan Islam (Persis), Ustaz A Hassan.

Di pesantren Persis, Abdurrahim pun memperoleh banyak pengetahuan baru tentang agama. Para guru dan rekan-rekannya sesama murid mengenalnya sebagai pribadi yang tekun belajar. Kecerdasannya juga mengesankan banyak orang, terutama lantaran dirinya memiliki kelebihan dalam membaca Alquran secara fasih.

Putra Ustaz Hassan, Ustaz Abdul Qadir Hassan, bahkan kerap memujinya karena kegigihannya dalam menuntut ilmu. Tak hanya itu, lelaki asal Sidoarjo itu juga dikagumi kepiawaiannya dalam berdakwah.

Abdurrahim memang termasuk di antara para santri yang mendapatkan izin untuk bisa berdakwah di luar pondok pesantren selepas jam pelajaran. Begitu waktunya tiba, ia pamit ke luar untuk berceramah di beberapa daerah sekitar, seperti Pandaan, Porong, bahkan pelosok-pelosok desa. Dari hari ke hari, aktivitasnya makin padat. 

Bagaimanapun, Abdurrahim justru makin rajin melibatkan dirinya dalam berbagai kegiatan keagamaan. Di Pesantren Persis, dirinya lantas berga bung dengan Gerakan Pemuda Ansor, organisasi kepemudaan NU. Sejak saat itu, namanya makin dikenal masyarakat luas.

 

 

Ke luar negeri

Kegigihan Abdurrahim sebagai mubaligh muda dan aktivis organisasi akhirnya sampai ke telinga Mohammad Natsir. Perdana menteri pertama RI itu merupakan seorang tokoh Persis. Dai sekaligus politikus tersebut juga bersahabat karib dengan Ustaz Abdul Qadir Hassan.

Atas saran putra Ustaz A Hassan itu, Natsir kemudian memasukkan nama Abdurrahim sebagai calon penerima beasiswa ke luar negeri. Waktu itu, Pemerintah RI memang mendapatkan tawaran dari Presiden Mesir Gamal Abdul Nasir untuk mengirimkan putra-putri Muslim agar bisa belajar di Negeri Piramida. 

Setelah melalui seleksi yang cukup ketat, Abdurrahim dan beberapa santri Pesantren Persis Bangil terpilih sebagai penerima beasiswa dari Mu'tamar al-Alam al-Islamy (MAI). Mereka akan belajar di Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir. Sebelum berangkat, para pemuda itu berkesem patan untuk menghadiri jamuan dengan M Natsir.

Dalam pertemuan tersebut, tokoh Masyumi itu menyampaikan pesan-pesan dan harapan-harapannya. Pada 1955, Abdurrahim pun memulai studi tingkat sarjananya di al-Azhar. 

Di kampus tersebut, ia memilih jurusan pada Fakultas Ushuluddin. Selain aktivitas belajar, dirinya juga terlibat aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan, seperti kepanduan, olahraga, dan musik. Sesekali, bersama kawan-kawannya lelaki yang hobi membaca dan menulis itu menghabiskan sore hari dengan bermain sepak bola.

Pada 1963, Abdurrahim sukses menyelesaikan studinya. Ia berhak mendapatkan gelar licence atau Lc. Sebelum bertolak ke Tanah Air, para penerima beasiswa, termasuk dirinya, menerima gemblengan dari para tokoh MAI dan ulama. Mereka mendapatkan pesan untuk terus berjuang dalam mengamalkan ilmu dan berperan demi kemajuan umat Islam.

Sesampainya di Sidoarjo, Abdurrahim disambut hangat keluarga, masyarakat, dan teman-teman nya. Bahkan, mereka mengadakan acara selamatan sebagai bentuk rasa syukur ke hadirat Allah SWT. Hingga saat itu, alumnus al-Azhar tersebut masih terdaftar sebagai kader GP Anshor NU.

 

 
Berita Terpopuler