Rekam Jejak Penyebaran Islam di China

pelancong dan pedagang Arab dan Persia datang dari Asia Barat

EPA-EFE / WU HONG
Rekam Jejak Penyebaran Islam di China. Umat Muslim menyiapkan makanan saat berbuka puasa bersama umat lainnya pada hari pertama bulan puasa Ramadhan di Masjid Niujie di kota Beijing, Cina, Selasa (13/4).
Rep: Meiliza Laveda Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah zaman Rasulullah, Islam menyebar ke seluruh dunia, salah satunya China. Komunitas Muslim Sino Hui memiliki banyak tradisi hasil dari perpaduan budaya China dan Islam. Muslim mulai tiba di Cina dalam jumlah yang signifikan selama periode Mongol di bawah Dinasti Yuan (1271-1368).

Baca Juga

Sebelumnya, pelancong dan pedagang Arab dan Persia datang dari Asia Barat dalam jumlah kecil dan tinggal di komunitas yang relatif terpencil. Periode Mongol membawa diaspora dari beberapa juta Muslim Asia Tengah untuk bekerja sebagai ilmuwan, ahli geografi, astronom, musisi, pengrajin, tentara dan administrator. Sebagian besar mereka mulai menikah dengan wanita Han dan anak-anak mereka dibesarkan sebagai Muslim.

Namun, dalam beberapa generasi, asimilasi ke dalam masyarakat China mulai meningkat. Akulturasi ini mengambil bentuk dan kecepatan baru selama Dinasti Ming (1368-1644) yang melembagakan kebijakan homogenisasi Sino-sentris yang mengharuskan Muslim menikahi wanita Han dan menggunakan bahasa China.

Pertukaran agama dan budaya selama pemerintahan Mongol juga berkurang dengan kebijakan perjalanan yang membatasi umat Islam dari jaringan pembelajaran tradisional, bahasa, dan tanah air. Pada tahun-tahun memudarnya Dinasti Ming, banyak Muslim telah kehilangan penguasaan keterampilan linguistik dalam bahasa Arab dan Persia kecuali untuk penggunaan yang paling dasar. Pendidikan Islam tidak memiliki sistem pengajaran formal dan bergantung pada sumber tekstual yang terbatas.

Ini mencirikan kehidupan awal Hu Dengzhou sekitar tahun 1522-1597 yang kemudian mendirikan sistem kelembagaan penting untuk pengajaran Islam di China, yaitu pendidikan balai kitab suci (jingtang jiaoyu). Tidak puas dengan tingkat pengajaran yang dapat diperolehnya di masjid setempat di provinsi barat laut Shaanxi, ia memutuskan mencari pendidikan Islam yang lebih tradisional di pusat-pusat pembelajaran di Asia Tengah dan Makkah.

Setelah beberapa tahun belajar, Hu kembali membawa banyak buku Islam untuk pembelajarannya. Hu akhirnya memiliki komponen untuk membangun program yang sistematis dan dapat diakses dengan mudah. Seiring dengan kurikulum formal teks bahasa Arab dan Persia, Hu juga memberi siswa dukungan finansial yang memungkinkan mereka melakukan perjalanan dari seluruh penjuru kekaisaran.

 

Sistem pendidikan aula kitab suci Hu adalah yang paling efektif untuk komunitas Muslim lainnya di seluruh China. Selain itu, sistem pendidikan tersebut mendapat dorongan langsung untuk memproduksi teks-teks Islam berbahasa Mandarin.

Banyak siswa pengantar yang pandai berbicara hanya dalam bahasa China dan memiliki sedikit pengetahuan tentang bahasa asing. Para siswa tingkat bawah ini mempelajari Alquran dan buku teks Islam dasar yang mencakup doa, wudhu, masalah iman, ibadah, puasa, pernikahan, dan pemakaman.

Kurikulum dan metode pengajaran ini dengan mudah diduplikasi di tempat lain di Tiongkok dan siswa yang lulus bisa mendirikan sekolah mereka sendiri. Fleksibilitas linguistik dan pengajaran melalui bahasa China sangat dihargai di kota-kota dengan populasi Muslim yang lebih kecil yang sepenuhnya berasimilasi ke dalam lingkungan budaya dan sosial China.

Di tempat-tempat yang jauh dari komunitas mayoritas di Cina barat laut, seperti kota pesisir Nanjing bekas ibu kota Dinasti Ming, para pelajar Muslim sangat menguasai kitab-kitab klasik Konfusianisme tapi tidak dapat membaca tulisan-tulisan berbahasa asing.

Nanjing adalah pusat metropolitan besar dengan budaya literasi yang kuat. Ini berarti Muslim fasih dalam tradisi filosofis dan sejarah Cina. Di sini, kerangka balai kitab suci berkembang karena perpaduan antara bahasa dan strategi pendidikan Islam dan Cina. Tak lama kemudian kota itu menyambut beberapa guru penting dan banyak siswa regular serta menjadi pusat produksi teks-teks Han Kitab. Beberapa dari penulis ini bahkan mengidentifikasi diri sebagai sarjana Muslim terpelajar Konfusianisme (Huiru).

 

https://newlinesmag.com/essays/the-rich-history-of-chinas-islam/

 
Berita Terpopuler