Hukum Ikan yang Diberi Pakan Tinja

Para ulama berbeda pendapat tentang kehalalan hewan jallalah.

ANTARA/Dedhez Anggara
Hukum Ikan yang Diberi Pakan Tinja. Ilustrasi
Rep: Rossi Handayani Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di pedesaan banyak didapati kolam-kolam ikan yang berfungsi ganda, selain sebagai tempat pemeliharaan ikan juga sebagai tempat pembuangan tinja. Dapat dipastikan pakan ikan itu sebagian besarnya berasal dari najis (tinja). 

Baca Juga

Dikutip dari buku Harta Haram Muamalat Kontemporer karya Erwandi Tarmizi, ikan dan hewan ternak yang diberi pakan najis (seperti tinja dan bangkai) sehingga bau daging hewan tersebut tidak normal, hewan ini dinamakan dengan jallalah. Apakah ikan jallalah tersebut dihukumi najis, tidak halal dimakan dan bila dijual hasil penjualannya menjadi harta haram? 

Para ulama berbeda pendapat tentang kehalalan hewan jallalah. Pendapat pertama, ulama mazhab Hanbali mengharamkan hewan tersebut karena hewan ini tercemar najis yang menyebabkannya tidak halal dimakan. Dengan demikian, bila dijual maka hukum jual belinya tidak sah dan uang hasil penjualan hewan jallalah merupakan harta haram (Ibnu Qudamah, Al Mugni).

Dalil pendapat ini adalah hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, ia berkata, 

نَهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن أكل الجلاّلة وألبانها

"Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang makan hewan jallalah dan (meminum) susunya". (HR. Abu Daud dan Nasa'i. Hadis ini dishahihkan oleh Nawawi dan Ibnu Daqiqil led). 

Hadits di atas menjelaskan Nabi SAW melarang memakan daging dan meminum air susu hewan jallalah. Setiap kalimat larangan menunjukkan hukum yang dilarang adalah haram. 

 

Adapun sebab larangannya dikarenakan daging dan susu hewan tersebut telah tercemar najis melalui makanan dan minuman yang dikonsumsinya. Bila daging hewan tersebut dimakan oleh manusia berarti ia memakan najis (haram) dan bila dijual berarti menjual najis. Dan tidak sah akad jual beli najis. 

Pendapat kedua, ulama mazhab Hanafi dan Syafi'i berpendapat hewan jallalah halal karena hukum asal setiap benda adalah halal, kecuali bila terdapat larangan. Adapun hadis Nabi SAW yang melarang memakan daging dan air susu jallalah bukan disebabkan daging dan air susu hewan tersebut tercemar najis tetapi oleh sebab lain.

Karena kaidah perubahan wujud, yaitu suatu wujud barang yang merupakan perubahan dari wujud lainnya maka yang dilihat adalah wujud baru. Contoh, hukum asal hewan ternak halal. Adapun pakan najis telah berubah menjadi daging dan air susu. Sedangkan daging dan air susu hukumnya halal (An Nawawi, Al Majmu).

Dengan demikian, larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut hukumnya hanya makruh. Dan daging serta air susu hewan jallalah boleh dimakan dan diminum, juga boleh dijual dan hasil penjualannya halal. Hanya saja afdhalnya hewan tersebut dikarantina terlebih dahulu sebelum dikonsumsi atau dijual (Dr. Shalih Al Musallam).

 
Berita Terpopuler