Syekh Yusuf Penggerak Perjuangan Dua Bangsa (II-Habis)

Perjuangannya terus dikenang dua bangsa sekaligus, Indonesia dan Afrika Selatan.

Antara/Yusran Uccang
KH Ma
Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID, Syekh Yusuf menginjak usia 68 tahun saat dipindahkan dari Ceylon ke Cape Town, Afrika Selatan (Afsel). Ada dua perspektif yang bisa dipakai.

Baca Juga

Di satu sisi, sufi-pejuang tersebut kian jauh dari tanah kelahirannya. Di sisi lain, kehadirannya di Benua Hitam ternyata ikut merintis dakwah dan perkembangan Islam bagi penduduk setempat.

Taufiq Ismail dalam Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 3 menjelaskan, Belanda mulai mendirikan koloni di Afrika Selatan pada 1652. Belasan tahun kemudian, daerah itu menjadi tujuan pembuangan lawan-lawan politik kolonial.

Sebelum kedatangan Syekh Yusuf al-Makassari, sudah ada tiga orang tahanan politik asal Sumatra Barat yang dibuang ke sana pada 1667. Dua orang dicampakkan ke hutan, sedangkan seorang lainnya ditahan di Pulau Robben, Afsel. Mereka adalah Urang Kayo (Belanda: Cayen) yang nama-namanya tidak dicantumkan pada nisan setempat.

 

 

Pada 2 April 1694, Syekh Yusuf dan para pengikutnya tiba di Afsel dengan menumpang kapal De Voetboeg. Mereka semua dalam keadaan di belenggu sejak meninggalkan Sri Lanka.

Catatan perjalanan penyair Taufiq Ismail yang pernah dimuat Republika pada April-Juni 1993 mengungkapkan besarnya peran ulama kelahiran Gowa itu dalam mengembangkan Islam. Bahkan, masyarakat setempat sampai saat ini menghormatinya sebagai pahlawan. 

Rombongan tahanan Syekh Yusuf berada di wilayah Zandfliet, dekat False Bay. Kendati mengalami isolasi, penduduk setempat masih dapat menerima pengajaran darinya sehingga dakwah Islam menyebar dari kampung ke kampung.

Afsel saat itu merupakan daerah yang dihuni banyak buruh kerja paksa yang didatangkan untuk membangun koloni-koloni Belanda. Sebagian dari mereka tertarik pada ajaran Islam, alih-alih kristenisasi yang gencar dilakukan Barat.

Taufiq mengutip data dari tesis Suleman Essop Dangor (1981) bahwa Syekh Yusuf telah menulis sekurang-kurangnya 15 buku dalam bahasa Arab, Bugis, dan Melayu. Banyak karyanya yang sampai hari ini masih tersimpan di perpustakaan Leiden, Belanda.

Kegemarannya menulis kitab-kitab sudah ditekuninya sejak masih menjabat mufti di Banten hingga berstatus tahanan politik di pengasingan, baik Batavia, Sri Lanka, maupun Afsel.

Syekh Yusuf berpulang ke rahmatullah pada 23 Mei 1699 atau lima tahun setelah penahanan di Zandfliet. Jenazah almarhum dikebumikan di Zandfliet, yang kini bernama Desa Macassar, Cape Town, Afsel.

Namun, Belanda kemudian menyetujui permintaan Sultan Gowa Abdul Jalil sehingga jasadnya di pindahkan ke Gowa. Penjemputan tiba pada 5 April 1705 dan sehari berikutnya pemakamannya dilakukan di Lakiung, Sulawesi Selatan.

 

Gelar Pahlawan dan Rumah Kedua

Kisah heroik Syekh Yusuf akan terus dikenang dua bangsa sekaligus, Indonesia dan Afrika Selatan. Presiden Afsel (1994-1999) Nelson Mandela pernah memuji syekh asal Sulawesi Selatan itu sebagai putra Afrika, pejuang teladan. Pada era Wapres Jusuf Kalla (2004- 2009), menurut catatan Hamid Awaludin (2009), Pemerintah Afsel menganugerahkan gelar kehormatan pahlawan kepada Syekh Yusuf.

Untuk diketahui, ulama-sufi ini bukanlah sosok terakhir yang mendakwahkan Islam di ujung selatan Benua Afrika. Pada 1697, mendaratlah Raja Tambora dari Nusa Tenggara Barat.

Awalnya, raja yang juga hafiz Alquran itu ditempatkan di kandang kuda pada benteng kompeni. Syekh Yusuf pun memprotesnya sehingga menantunya itu dipindahkan ke Verglegen, Stellenbosch, Cape Town.

Penyait, Taufiq Ismail mengungkapkan, Raja Tambora di dalam tahanan menulis Alquran berdasarkan memori. Itulah mushaf Alquran pertama di Afrika Selatan. Suami Sitina Sara Marouf, putri kandung Syekh Yusuf, itu lantas menghadiahkannya untuk gubernur kolonial, van der Stel.

 

 

Kemudian, pada 1744 dua ulama asal nusantara tiba di Pulau Robben, Afsel, yakni Haji Matarim dan Tuan Said Aloewi. Yang pertama itu wafat dalam masa tahanan, sedangkan yang kedua bebas setelah 11 tahun dipenjara. Kepada penduduk setempat, utamanya para budak, Tuan Said berdakwah Islam secara sembunyi-sembunyi.

Pada 1780, Raja Tidore Imam Abdullah bin Qadi Abdussalam, usia 68 tahun, dibuang ke Cape Town. Selama 13 tahun tokoh sepuh itu ditahan di Pulau Robben. Sama seperti Raja Tambora, dia juga hafiz sehingga mampu menulis Alquran dengan mengandalkan ingatan.

 

Mushaf tersebut lantas disalin ulang olehnya berkali-kali. Jadilah sejumlah Alquran tulisan tangan disebarkan kepada para penduduk setempat. Bebas dari penjara, namanya lebih dikenal sebagai Tuan Guru. Dia mendirikan masjid dan madrasah pertama di Afsel

 
Berita Terpopuler