Syekh Yusuf Penggerak Perjuangan Dua Bangsa (I)

Perjuangannya terus dikenang dua bangsa sekaligus, Indonesia dan Afrika Selatan.

flickr.com
Makam Syekh Yusuf di Cape Town, Afrika Utara.
Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID,  JAKARTA -- Makassar saat itu menjadi bagian dari Kesultanan Gowa. Islam tidak hanya diakui sebagai agama resmi. Penguasa setempat ikut menyokong perkembangan dakwah di wilayahnya.

Baca Juga

Istana mendukung dan melindungi alim ulama dalam menyebarkan ajaran Islam di tengah masyarakat. Sekolah-sekolah tradisional keagamaan didirikan di pelosok-pelosok daerah. 

Dalam situasi seperti itu, keluarga Muhammad Yusuf membesarkan anak-anaknya. Syekh Muhammad Yusuf al-Makassar lahir di Moncong, Loe, Gowa, Sulawesi Selatan, pada 3 Juli 1626.

Mengutip Ensiklopedi Islam untuk Pelajar, ibundanya merupakan keturunan raja Gowa. Adapun ayahandanya berasal dari kalangan petani biasa yang taat beragama.

Setelah melakukan pengembaraan ilmu selama masa remaja di Makkah, Madinah, dan Hadramaut, Yaman, Syekh Yusuf, menurut sejumlah sumber, kembali ke Banten yang juga pernah menjadi tempatnya belajar ilmu agama.

Banten sejak pertama kali dibentuk oleh Sunan Gunung Jati selalu tampil konfrontatif terhadap Belanda. Di Pulau Jawa, Batavia (kini Jakarta) menjadi pusat bangsa Eropa itu dalam mengendalikan monopoli komoditas ekspor nusantara, khususnya rempah-rempah.

Tidak jarang mereka memakai kekuatan militer sehingga Banten membalasnya setimpal dengan mengerahkan pasukan-pasukan tempur. Kendati begitu, pertempuran antara keduanya juga diselingi rupa-rupa gencatan senjata.

 

 

Pangeran Dipati alias Sultan Ageng Tirtayasa termasuk golongan pemimpin Banten yang membenci kesewenang-wenangan Belanda. Putra Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad itu tidak kenal takut dalam melindungi negeri dan rakyatnya, utamanya kaum Muslimin.

Pelbagai infrastruktur pertanian, irigasi, dan pelabuhan dibangunnya untuk me majukan perekonomian Banten. Perhatian yang tinggi juga diberikannya kepada perkembangan dakwah Islam, antara lain, melalui dukungan terhadap para dai dan mubaligh.

Syekh Yusuf al-Makassari diangkat menjadi mufti Kesultanan Banten. Pengangkatan itu berkaitan pula dengan peran muridnya, Sultan Ageng Tirtayasa. Keduanya sama-sama bertekad mengusir Belanda dari bumi nusantara. Merespons kolaborasi ulama-umara itu, kompeni bermain licik dengan me nerap kan politik pecah belah, devide et impera.

Antarbangsawan di istana pun saling mencurigai. Puncaknya terjadi ketika Abdul Qahar alias Sultan Haji melawan ayah kandungnya sendiri, Sultan Ageng, untuk merebut kekuasaan.

Dalam perang saudara ini, Belanda membantu Sultan Haji. Hal itu digambarkan Prof Titik Pudjiastuti dalam Perang, Dagang, Persahabatan: Surat-surat Sultan Banten.

 

 

Salah satu arsip koleksi yang ditelitinya menunjukkan konsep perjanjian antara Sultan Haji dan pihak kompeni. Dokumen itu ditulis dengan bahasa dan aksara Jawa pada naskah kertas Eropa.

Isinya menyebutkan, Sultan Haji meminta bantuan senjata dan tenaga kepada Belanda demi memerangi ayahnya sendiri kira-kira pada 1682.

Syekh Yusuf tentu berpihak pada Sultan Ageng Tirtayasa. Bahkan, ulama ini tampil berani di tengah medan pertempuran. Sayangnya, pada 14 Desember 1683 kubu Sultan Ageng terdesak.

Syekh Yusuf yang kala itu berusia 57 tahun ditangkap pasukan Belanda. Satu tahun lamanya dia disekap di penjara Batavia. Pada September 1684, dia bersama dengan kedua istrinya, beberapa anak, dan belasan muridnya diasingkan ke Sri Lanka. 

Pengasingan di sana tak bisa lama-lama. Ceylon alias Sri Lanka sering disinggahi calon jamaah haji asal nusantara sebelum sampai ke Arab. Saat bermukim di pulau tersebut, Syekh Yusuf sering mengadakan kontak dengan mereka yang hendak menunaikan haji atau dalam perjalanan pulang dari Tanah Suci. Belanda kemudian menyadari persinggahan jamaah haji berbahaya.

 

Orang-orang Muslim itu dapat memperoleh inspirasi dan bahkan strategi untuk memperkuat gerakan perlawanan di nusantara. Itulah salah satu pemantik haji-fobia di kalangan kolonial. Bertahun-tahun kemudian, Belanda yang mengidap ketakutan akan haji fanatik memberlakukan ordonansi haji pada 1859.

 

Orang pribumi pun kesulitan bila hendak menunaikan rukun Islam kelima. Dengan beleid itu, mereka yang pernah ke Masjid al-Haram harus melalui pendataan pemerintah kolonial. Bahkan, gelar haji akhirnya diberikan Belanda sebagai kamuflase belaka untuk memudahkan aktivitas spionase.

 
Berita Terpopuler