Survei: Pandemi Picu Beban Mental Tenaga Kesehatan

Tenaga kesehatan harus memiliki akses ke sumber daya kesejahteraan mental.

EPA-EFE/ANDY RAIN
Tenaga kesehatan membawa pasien Covid-19 menuju RS Royal London, Inggris, Senin (14/6). Peningkatan frekuensi kerja tenaga kesehatan di tengah lonjakan kasus Covid-19 disertai beban mental berpotensi menyebabkan stres dan kecemasan, bahkan peristiwa traumatis.
Rep: Shelbi Asrianti Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Temuan ilmiah telah mengungkap bahwa tenaga kesehatan tiga kali lebih berisiko mengidap Covid-19 dibandingkan masyarakat umum. Tidak hanya itu, selama pandemi, staf perawatan kesehatan juga menyimpan beban mental tersendiri.

Peningkatan frekuensi kerja di tengah lonjakan kasus Covid-19 disertai beban mental berpotensi menyebabkan stres dan kecemasan, bahkan peristiwa traumatis. Utamanya, pada tenaga kesehatan yang tergabung dalam manajemen unit perawatan intensif.

Studi terdahulu pada 2007 telah mengungkap risiko tinggi gangguan stres pascatrauma (PTSD) di antara staf perawat di unit perawatan intensif.  Mengingat tingginya tingkat kematian pasien Covid-19 dengan skala kasus parah, tidak diragukan lagi jika beban mental kian meningkat.

Tim dari Departemen Bedah dan Kanker, Imperial College Healthcare NHS Trust, Imperial College, London, Inggris, menggagas survei daring terkini terkait hal tersebut. Para peneliti berupaya mendapat pemahaman yang lebih baik tentang beban kesehatan mental tenaga kesehatan.

Tujuannya adalah untuk menetapkan prevalensi indeks depresi, insomnia, dan PTSD. Jajak pendapat dilakukan terhadap profesional kesehatan yang bekerja di unit perawatan intensif di Inggris, Prancis, Italia, Belgia, Mesir, Taiwan, dan China.

Baca Juga

Survei memuat tiga kuesioner, yaitu kuesioner PHQ-2 yang menilai tingkat keparahan depresi, skala Athena Insomnia AIS-8, dan kuesioner skrining trauma TSQ. Tim juga menyertakan serangkaian pertanyaan umum tentang kesejahteraan mental.

Studi menghimpun 515 tanggapan dari tujuh negara. Mayoritas responden adalah perempuan (73 persen), etnis kulit putih (73 persen), dan berusia 31-40 tahun (43,3 persen). Sejumlah 5,8 persen responden melaporkan kondisi kesehatan mental yang sudah ada sebelumnya.

Lebih dari setengah responden (52,4 persen) adalah perawat, dengan sisanya adalah dokter senior (13,8 persen), residen (8,9 persen), junior (6,4 persen), fisioterapis, dan lainnya. Hampir dua pertiga (60,2 persen) diperbantukan dari spesialisasi lain dan hanya sepertiga (33,8 persen) yang biasanya memang bertugas di bangsal perawatan intensif.

Secara keseluruhan, skor peserta berada di atas ambang batas untuk setiap kondisi. Di berbagai negara, ada kisaran 16-44 persen responden melebihi ambang batas untuk depresi, 60-80 persen untuk insomnia, dan 17-35 persen untuk kasus PTSD.

Para penulis menyimpulkan bahwa pandemi Covid-19 telah memicu beban kesehatan mental yang signifikan bagi staf perawatan intensif. Tim merekomendasikan agar tenaga kesehatan memiliki akses ke sumber daya kesejahteraan mental, mengingat kemungkinan lonjakan kasus Covid-19 lebih lanjut, dikutip dari laman Hospital Healthcare.

 
Berita Terpopuler