Najib Al-Kailani Sang Pelopor Novel Islami (II-Habis)
Najib al-Kailani berdakwah lewat karya sastra.
IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Najib Al-Kailani berasal dari keluarga petani. Saat berusia delapan tahun, perang Dunia II baru dimulai. Akibatnya, desa kelahiran Najib mengalami krisis ekonomi yang parah.
Haji Abdul Qadir al-Shafei, kakek Najib dari pihak ayah, adalah sosok yang berpengaruh di kehidupannya. Kakeknya adalah saudagar kapas yang dermawan dan menjadikan Alquran sebagai pedoman hidupnya.
Kakeknya banyak mengajarkan nilai-nilai moral. Berkat dorongan sang kakek, Najib mulai belajar menghafal Alquran saat berusia empat tahun.
Saat berusia delapan tahun, Najib pergi ke sebuah sekolah Amerika yang dikenal dengan Sanbat di desa terdekat. Ia lulus SMA di Tanta. Najib menghabiskan masa sekolah ini selama lima tahun.
Setelah menyelesaikan SMA, ia masuk Ilmu Kedokteran Universitas Kairo (Cairo University Fetal Medicine). Sebenarnya, Najib lebih menyukai sastra atau hukum, tetapi ayahnya memaksanya belajar ilmu kedokteran. Tak lama setelah itu, ia akhirnya tertarik dalam bidang kedokteran ini. ed: nashih nashrullah
Pada tahun keempat di universitas atau pada 1955, Najib ditahan atas tuduhan orientasi Ikhwanul Muslimin. Pada masa hukuman inilah, Najib menulis karya pertamanya, yakni Aghany al-Ghoraba.
Najib menghabiskan empat tahun di penjara. Dia dibebaskan dari penjara pada akhir 1958 karena penyakit saraf kaki. Setelah bebas, Najib melanjutkan studinya dan lulus pada 1960.
Presiden Gamal Abdel Nasser memerintahkan menangkap semua anggota Ikhwanul Muslimin. Akibatnya, Najib kembali masuk penjara pada 1967. Setelah dua tahun di penjara, Najib bebas. Setelah dibebaskan dari penjara, Najib berwisata ke Uni Emirat Arab. Ia memutuskan menetap di negara tersebut selama lebih dari 20 tahun.
Najib akrab dengan banyak ulama, seperti Sayyid Quthub, Mustafa Sadiq Rafeay, Manfalouty, Taha Hussein, dan Tawfiq Hakim. Najib begitu gemar membaca, terutama jurnal sastra yang diterbitkan selama periode itu, seperti al-Resaleh, al-Theqafeh, al-Helal, dan al-Moqtatif. Di mata sejumlah sahabat atau mereka yang pernah berhadapan dengannya, Najib adalah figur yang menyenangkan. Murah senyum.
Senyum tersebut, menurut Abdul Quddus Abu Shalih, pemimpin redaksi majalah al-Adab al-Islami (yang terbit pada masa itu), membuat setiap orang yang bertemu dengan Najib akan merasa akrab, hingga merasa telah mengenal Najib sejak lama. Pada 6 Maret 1995, setelah sempat dirawat di RS King Faishal Riyadh, Najib mengembuskan napas terakhir dan dimakamkan di Mesir.