Menelusuri Perjuangan KH Abbas Buntet (II-Habis)

KH Abbas Buntet merupakan generasi keempat yang mengasuh Pondok Pesantren Buntet.

ANTARA/NOVRIAN ARBI
Ilustrasi Pondok Pesantren
Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID, Pondok Pesantren Buntet pun menjadi basis penting laskar-laskar jihad, seperti barisan Hizbullah, Sabilillah, atau PETA (Pembela Tanah Air), terutama ketika era setelah Proklamasi 1945. Di luar itu, dia juga membentuk dua regu laskar santri, yakni Asybal dan Athfal. Demikian keterangan Munawir Aziz, seperti dilansir NU Online.

Baca Juga

Dan memang, KH Abbas dikenal luas sebagai pejuang yang berani. Pada zaman revolusi, Belanda (NICA) yang membonceng Sekutu ingin menjajah kembali Indonesia. Sementara itu, laskar-laskar Indonesia sibuk melucuti persenjataan Jepang sebagai persiapan tempur. Di Surabaya, Sekutu semakin arogan dengan memaksa penduduk untuk menyerahkan senjata dan menyerah di tempat.

Ultimatum ini ditolak mentah-mentah rakyat seluruhnya. Mereka lebih memilih mati berjuang daripada ditindas kembali. Menjelang pertempuran 10 November 1945 itu, di Cirebon KH Abbas juga sudah mulai memobilisasi massa, terutama dari kalangan santri.

Dia memberikan komando untuk ikut dalam barisan perjuangan rakyat Indonesia di Surabaya. Dia sendiri ikut terjun dalam kancah perang besar ini. Orator ulung, Bung Tomo, bisa dikatakan anak didiknya dalam semangat perjuangan.

Ditilik ke belakang, peristiwa historis tersebut merupakan efek dari Resolusi Jihad yang digagas para kiai sebelumnya dalam pertemuan Nahdlatul Ulama di Surabaya, pada Oktober 1945. KH Abbas juga turut menghadiri acara yang merumuskan fatwa jihad tersebut. Demikianlah, Kiai Abbas selalu mengajarkan dan memberikan contoh kepada para santrinya agar mencintai Tanah Air. 

 

 

Organisasi dan Politik

Setelah Indonesia mendapatkan pengakuan kedaulatan, Munawir Aziz menjelaskan, KH Abbas masuk ke dalam dunia politik. Pertamatama, dia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), yang setara dengan parlemen kini. Dia mewakili konstituen Jawa Barat.

Adapun di lingkungan organisasi, KH Abbas turut aktif dalam Nahdlatul Ulama (NU). Di sini, jabatannya adalah anggota Dewan Muhtasyar Pusat dan kemudian rais aam Dewan Syuriah NU Provinsi Jawa Barat.

KH Abbas wafat pada 1946. Jasadnya dikebumikan di kompleks permakaman keluarga di Pondok Pesantren Buntet, Cirebon. Sepanjang hayatnya, almarhum memiliki dua orang istri, yakni Nyai Asiah dan Nyai Zaenah. Anak-anaknya adalah KH Mustahdi, KH Mustamid, KH Abdullah, dan KH Nahduddin Royandi.

Periode setelahnya wafatnya KH Abbas, kepemimpinan Pondok Pesantren Buntet dipegang KH Mustahdi. Sosok ini pernah belajar antara lain pada KH Amin (Babakan Ciwaringin), KH Dimyati (Termas), KH Hasyim Asyari (Tebuireng), dan KH Abdul Manan (Lirboyo). 

 

Setelah KH Mustahdi berpulang ke rahmatullah, tampuk kepemimpinan pesantren ini berturut-turut diberikan kepada (alm) KH Mustamid, (alm) KH Abdullah, dan KH Nahduddin Royandi (sejak 2008). 

 
Berita Terpopuler