KH Arief Hasan Peduli dengan Nasib Petani (I)

KH Arief Hasan memelopori berdirinya Persatuan Petani NU (Pertanu).

Ilustrasi petani membawa bawang merah di Brebes, Jawa Tengah
Rep: Muhyiddin Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID, Dalam buku berjudul Jejak Keteladanan KH Arief Hasan, dijelaskan bahwa pada era 1970-an KH Arief Hasan memelopori berdirinya Persatuan Petani NU (Pertanu). Misi utama sang alim ialah meningkatkan dan mendorong pemberdayaan ekonomi umat.

Baca Juga

Melalui Pertanu, kiai tersebut hendak melakukan transformasi sosial dan pemerataan ekonomi. Caranya, antara lain, dengan memberikan modal cuma-cuma untuk memudahkan para petani dalam bekerja.

Santri Hadratus Syekh KH Hasyim Asyari ini juga memberikan pendampingan yang menyeluruh. Ketika musim panen tiba, misalnya, para petani diarahkan agar menyisihkan satu atau dua karung dari hasil panennya.

Kemudian, pencatatan administratif dilakukan. Panen mereka lantas dimasukkan ke lumbung Pertanu. Bila petani membutuhkan, padinya bisa diambil sewaktu-waktu.

Inisiatif Kiai Arief ini merupakan bentuk kepeduliannya terhadap nasib petani. Hal serupa yang dilakukan gurunya, KH Hasyim Asyari.

Sehari-harinya, Kiai Arief cukup sibuk dalam memberikan pengajian kepada para santri ataupun masya rakat umum. Akan tetapi, ia tak pernah mengabaikan pentingnya memberdayakan potensi ekonomi kaum tani.

 

 

Dalam pandangannya, membangkitkan taraf ekonomi mereka merupakan suatu keharusan, tak kalah penting dengan memupuk iman dan akidah dalam dada mereka. Jika perekonomian sudah cukup mapan, menurutnya, masyarakat pun akan kian mudah belajar dan mencerna berbagai pengetahuan agama.

Sebaliknya, jika kondisi ekonominya masih tidak karuan, mereka akan menjadi sasaran empuk proyek-proyek agitasi atau penyelewengan akidah Islam. Dan, tidak sedikit fakta yang membuktikan, faktor ekonomi banyak menjadi lokus utama agenda pemurtadan Muslimin.

Persis seperti namanya sendiri, Kiai Arief dikenal sebagai seorang figur publik yang bijaksana. Ia lahir pada 20 Rabiul Awal 1337 H/1917 M di Desa Beratkulon, Kecamatan Kemlagi, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Keluarga tempatnya berasal hidup bersahaja dan sangat religius.

Ayahnya merupakan seorang ulama bernama Kiai Hasan. Adapun ibunya ialah Nyai Sholihah, seorang putri ahli tarekat bernama Mbah Mahmud. Di kampungnya, Kiai Hasan termasuk mubaligh yang sangat dihormati masyarakat setempat.

 

Sejak kecil, Arief sangat tekun belajar. Ia mempelajari dasar-dasar agama Islam dari ayahnya sendiri. Selain itu, dirinya juga berguru kepada sang kakek, Mbah Mahmud. Saat berusia 16 tahun atau tepatnya pada 1933, Arief muda melanjutkan pendidikannya ke Pondok Pesantren Tebuireng.

Sang pengasuh Tebuireng, KH Hasyim Asy'ari, menempatkan Arief di sebuah gotakan bersama santri-santri alim dan dituakan. Seorang di antaranya adalah Kiai Salim Kertosono. Di bawah pengawasan Kiai Salim-lah, pemuda tersebut mempelajari berbagai ilmu pesantren. Ia hafalkan nazam-nazam kitab gramatikal Arab, seperti Imrithi, Amtsilah at Tasrifiyah, Alfiyah Ibnu Malik, dan lain lain.

Ia memang sangat menggemari kitab-kitab nazam. Bahkan, lelaki ini menghafalkannya. Tak berhenti di sana, dirinya pun mulai rutin melatih memorinya agar dapat menjadi tahfiz Alquran 30 juz. Dengan penuh ketekun an, ia pun mampu meram pungkan hafalan Alquran dalam tempo relatif singkat, sekira enam bulan. 

Selain mengaji, Ia juga turut membantu keperluan keluarga Kiai Hasyim Asy'ari. Selepas melaksanakan shalat malam, Arief kerap menuju rumah gurunya itu untuk mencuci piring kotor, menimba air sumur, dan mengisi bak mandi yang akan dipergunakan sang hadratus syekh dan keluarganya. Ia pun kerap dipanggil untuk memijat gurunya tersebut.

Dengan pengabdiannya tersebut, Arief muda memiliki kedekatan personal dengan Kiai Hasyim Asy'ari. Ia melihat dari dekat akhlak dari sosok orang alim pendiri NU itu. Tak heran jika kelak dirinya pun mengikuti jejak langkah keteladanan kakek KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur itu.

 

 
Berita Terpopuler