Hukuman Mati di Bahrain Naik Drastis Sejak Arab Spring

Dalam dekade terakhir, hukuman mati di Bahrain telah meningkat lebih dari 600 persen.

arab news
Bendera Bahrain. Sebuah laporan yang diterbitkan pada Selasa (13/7) mengungkapkan, penyiksaan dan hukuman mati di Bahrain telah meningkat secara drastis sejak Arab Spring pada 2011.
Rep: Rizky Jaramaya Red: Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID, MANAMAH -- Sebuah laporan yang diterbitkan pada Selasa (13/7) mengungkapkan, penyiksaan dan hukuman mati di Bahrain telah meningkat secara drastis sejak Musim Semi Arab atau Arab Spring pada 2011. Dalam laporan Reprieve and the Bahrain Institute for Rights and Democracy (BIRD) mengatakan bahwa, dalam dekade terakhir, hukuman mati di Bahrain telah meningkat lebih dari 600 persen.

Baca Juga

Temuan kontras dengan jumlah orang yang dijatuhi hukuman mati pasca Arab Spring yaitu 51 orang. Pada 2017, tiga pria dari komunitas mayoritas Syiah dieksekusi karena dugaan pembunuhan dua polisi Bahrain. Menurut kelompok hak asasi mereka mengaku setelah mengalami penyiksaan oleh pihak berwenang.

Aktivis Syiah Ahmad al-Mullali (24 tahun), dan Ali Hakim al-Arab (25 tahun) dieksekusi setelah pengadilan massal para aktivis untuk kejahatan terorisme, bersama dengan satu orang lainnya pada Juli 2019. Banyak orang yang menghadapi eksekusi di negara Teluk telah dihukum karena tuduhan terorisme. Saat ini 26 pria menghadapi eksekusi yang akan segera dilakukan.

Laporan BIRD juga menyebut bahwa, penggunaan penyiksaan di Bahrain sebagai endemik. Mereka mengutip kasus pengakuan paksa dengan menggunakan sengatan listrik, pemukulan dan percobaan pemerkosaan.

“Jelas bahwa Bahrain harus segera mereformasi penggunaan hukuman mati.  Komunitas internasional harus memperjelas bahwa dukungan untuk sektor keadilan dan dukungan reformasi hak asasi manusia di Bahrain bergantung pada penghentian penggunaan hukuman mati dan penyiksaan,” kata laporan itu, dilansir Middle East Eye, Rabu (14/7).

Organisasi hak asasi manusia telah lama berkampanye menentang penyiksaan yang digunakan di penjara Bahrain. Banyak dari mereka dihukum karena tuduhan terkait terorisme, dan ditangkap karena menghadiri protes pro-demokrasi.

Dalam laporannya, BIRD mengatakan bahwa, pemerintah Inggris terus memberikan dana kepada pemerintah Bahrain. Dana itu digunakan untuk menutup pelanggaran hak asasi manusia. Menurut laporan itu, pendanaan Inggris untuk Bahrain telah berdampak negatif, terutama pada tahanan.

“Sejak 2012, pemerintah Inggris telah memberikan lebih dari 6,5 juta poundsterling bantuan teknis untuk sektor keadilan dan keamanan Bahrain. Bantuan itu didanai secara rahasia,” kata laporan itu.

 

 

Direktur BIRD, Sayed Ahmed Alwadaei, mengatakan, pemerintah Inggris memiliki kewajiban untuk berbicara menentang ketidakadilan dan penyiksaan yang digunakan di Bahrain. Alwadaei menambahkan, Bahrain tidak memberikan jadwal pelaksanaan eksekusi, sehingga para tahanan dapat dieksekusi kapan saja. Hal ini menyebabkan tahanan dan keluarga mereka merasa tertekan.

“Setelah melatih lembaga yang memfasilitasi hukuman mati terhadap tahanan politik seperti Muhammad Ramadan dan Hussein Ali Moosa, pemerintah Inggris memiliki kewajiban moral untuk berbicara menentang ketidakadilan ini sebelum terlambat," ujar Alwadaei.

Awal tahun ini, puluhan anggota parlemen Inggris menyerukan pemerintah Inggris untuk mempertimbangkan kembali hubungannya dengan Bahrain. Mereka juga mendesak agar pemerintah Inggris  mendukung pembebasan tahanan politik di Bahrain.

Human Rights Watch juga telah menyuarakan keprihatinan atas pelanggaran hak asasi manusia di Bahrain. Mereka mengatakan, kondisi kesehatan dan kebersihan di penjara Bahrain yang penuh sesak telah menjafi masalah serius, terutama ketika pandemi virus corona. 

 
Berita Terpopuler