Jerman Desak Iran Segera Kembali ke Perundingan Nuklir

Pejabat Jerman mengecam keputusan Iran untuk memproduksi logam uranium

Jerman pada Rabu (7/7) mendesak Iran segera kembali ke perundingan nuklir di Wina
Red: Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN -- Jerman pada Rabu (7/7) mendesak Iran segera kembali ke perundingan nuklir di Wina, sehari setelah menteri luar negeri Jerman, Prancis dan Inggris memperingatkan Teheran tentang eskalasi lebih lanjut dalam sengketa nuklir.

Baca Juga

Berbicara pada jumpa pers rutin di Berlin, juru bicara Kementerian Luar Negeri Rainer Breul mengatakan, “Dengan deklarasi (E3) kami ingin menyatakan bahwa kami tidak melihat perilaku Iran sebagai hal yang membantu.”

“Tetapi kami siap untuk kembali ke meja perundingan di Wina dan mengharapkan Iran untuk mengambil tawaran ini tanpa penundaan,” ujar dia.

Dalam sebuah pernyataan bersama pada Selasa malam, para diplomat top E3 ​​menyatakan "keprihatinan serius" atas keputusan Teheran untuk memproduksi logam uranium dari uranium yang diperkaya, dan mengatakan itu pada akhirnya dapat membahayakan perundingan Wina, yang saat ini sedang ditunda.

Breul meminta Iran untuk menunjukkan "fleksibilitas dan pragmatisme" yang diperlukan untuk memastikan hasil negosiasi yang sukses.

“Seperti yang saya katakan, kami siap untuk kembali ke meja perundingan, tetapi itu tidak mengubah fakta bahwa apa yang dilakukan Iran tidak berjalan dengan baik dengan negosiasi,” tambah jubir itu.

Pembicaraan di Wina antara Iran dan lima kekuatan dunia (AS, Inggris, Rusia, China, dan Prancis) plus Jerman bertujuan untuk menemukan cara menghidupkan kembali kesepakatan nuklir 2015, yang ditinggalkan secara sepihak oleh Presiden AS Donald Trump pada Mei 2018.

Berdasarkan perjanjian itu, Teheran berjanji untuk membatasi aktivitas nuklirnya untuk tujuan sipil dan sebagai imbalannya, kekuatan Barat akan setuju untuk mencabut sanksi ekonomi mereka terhadap Iran.

Tetapi pada 2018, AS secara sepihak menarik diri dari perjanjian tersebut sebagai bagian dari apa yang disebut kebijakan “tekanan maksimum” dan memberlakukan kembali sanksi keras terhadap Iran, mendorong Teheran untuk berhenti mematuhi perjanjian tersebut.

 

 
Berita Terpopuler