Pergantian Nama Jakarta dari Masa ke Masa

Pergantian nama Jakarta tak terlepas dari berbagai peristiwa yang menyertainya.

ANTARA/Indrianto Eko Suwarso
Pekerja mengangkut ondel-ondel raksasa yang akan dipajang di pelataran Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa (22/6/2021). Sebanyak sepuluh ondel-ondel raksasa tersebut akan dipamerkan di depan Taman Ismail Marzuki dalam rangka memeriahkan perayaan HUT ke-494 DKI Jakarta.
Rep: Meiliza Laveda Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID, JAKARTA - Pergantian nama ibu kota Indonesia, Jakarta tak terlepas dari berbagai peristiwa yang menyertainya. Peradaban Jakarta pun sejak dulu berkembang karena dipengaruhi oleh lingkungan geologis dan geografis yang strategis.

Baca Juga

Melalui buku Penelusuran Sejarah Peradaban Jakarta, Prof Susanto Zuhri dan Andi Sopandi M.Si mengatakan Jakarta merupakan dataran rendah dengan jenis tanah alluvial dan 13 sungai yang bermuara di pantai utaranya. Pada masa prasejarah, keadaan Jakarta sangat berbeda dengan sekarang. Jakarta merupakan dataran luas yang terjadi karena pengedapan lumpur dari daerah pegunungan di sebelah selatan.

Menurut Dr. H. Verstappen Djafar, keberadaan permukiman di daerah Jakarta diperkirakan telah ada sejak zaman prasejarah, khususnya sejak zaman Batubaru atau Masyarakat Bercocok Tanam. Pendapat ini diperkuat oleh beberapa ahli di antaranya adalah Von Heinegeldern (1965) dan Soehemi (1972) yang diperkirakan berada pada tahun antara 2005-1500 SM.

Nama Jakarta berawal dari nama salah satu bandar Kerajaan Sunda Pajajaran. Pemerintahan Kerajaan Sunda Pajajaran yang ibu kotanya di daerah Bogor memiliki beberapa Bandar, salah satunya Kalapa. Kalapa merupakan kota pelabuhan terpenting.

Untuk kegiatan perdagangan, selain Kalapa, kerajaan itu masih mempunyai enam pelabuhan lain, yaitu Banten, Pontang, Cigede, Tangerang Cimanuk, dan Cirebon. Pelabuhan Kalapa oleh orang Portugis disebut Cunda Kelapa (Sunda Kalapa) seperti terlihat pada peta buku Jan Huygen van Linschoten, Itinerario yg ditulis tahun 1556.

 

 

Jumlah penduduk di kota pelabuhan itu tidak dapat diketahui dengan pasti. Namun, De Barroz memperkirakan jumah penduduk kota pelabuhan Kalapa dan lima pelabuhan lain lebih kurang 50 ribu orang. Sehingga pelabuhan Kalapa yang terbesar, kemungkin ada 15 ribu orang yang tinggal di sana.

Menjelang tahun 1527, situasi kondisi sosial-politik di Pulau Jawa berubah dengan masuknya agama Islam. pelabuhan kerajaan Sunda Pajajaran beberapa beberapa bergabung dengan kerajaan Islam Demak.

Demak yang gagal menyerang Portugis di Malaka pada 1513 berupaya menyerang Portugis yang masih ada di Sunda Kelapa. Di bawah pimpinan Fatahilah, serangan diluncurkan dari arah barat dan berhasil mengalahkan Portugis yang dimpin oleh Fransisco. 

Peristiwa itu terjadi pada 22 Juni 1527 menurut Soekanto dalam Ruchiat 2011. Akan tetapi, menurut Prof Hoesein Djajadiningrat, peristiwa itu terjadi pada akhir Desember 1526. DPRD DKI menetapkan HUT Jakarta pada 22 Juni.

Kemudian Fatahilah mengganti nama Sunda Kalapa dengan Jayakarta yang berarti kemenangan atau kesejahteraan mutlak. Nama ini terinspirasi dari ayat pertama surat Al-Fath dari Alquran yang sesuai dengan arti Fathan Mubina.

 

 

Setelah Fatahilah meninggal, kepemimpinan diserahkan kepada Tubagus Angke dan terakhir kepada Pangeran Jayakarta Wijayakrama. Pada masa Pangeran Wijayakrama, dia mulai mengadakan perjanjian dagang tahun 1610 dengan VOC.

Empat tahun kemudian, tahun 1614, Gubernur Jenderal VOC van Reijnst mendapat izin mendirikan benteng di sebelah utara keraton dan pada tahun 1618, Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen memperluas dan membangun kembali benteng sehingga menjadi bangunan yang kokoh.

Tindakan tersebut menimbulkan amarah pangeran. Akibatnya, terjadi pertempuran antara VOC dan pasukan Pangeran Jayakarta. Belanda berhasil menaklukkan Jayakarta pada 30 Mei 1619. Penduduk Jayakarta akhirnya menyingkir ke arah pedalaman sampai ke kaki Gunung Salak dan sebagian ke arah Banten. Sejak itu, nama Jayakarta diganti oleh pimpinan VOC menjadi Batavia.

Kedatangan Jepang ke Indonesia membawa dampak besar, salah satunya mengganti nama Batavia.  Nama Batavia diubah oleh pemerintah militer jepang. Ini merupakan bagian dari cara Jepang memperoleh simpati bangsa Indonesia tapi juga merupakan kebijakan pemerintah pendudukan Jepang di Indonesia untuk menggantikan semua yang berbau Eropa atau Belanda.

Pengaruh kedatangan dan kebijakan Jepang telah memperluas peranan bahasa Indonesia. Jakarta ditetapkan sebagai Tokubetsu Syi atau Kotapradja Istimewa. 

 
Berita Terpopuler