Netanyahu di Akhir Kekuasaan, Siapa di Balik Penggulingan?

Netanyahu ternyata menciptakan sendiri koalisi yang akan menggulingkannya.

Amit Shabi/Pool Photo via AP
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menghadiri rapat kabinet khusus pada kesempatan Hari Yerusalem, di gedung Kotamadya Yerusalem, di Yerusalem, Minggu, 9 Mei 2021.
Rep: Lintar Satria Red: Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Dalam kolom opini di harian Haaretz, pengamat dan jurnalis Israel kelahiran Inggris Anshel Pfeffer menulis Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menciptakan sendiri koalisi yang akan menggulingkannya. Oposisi-oposisi pemerintah yang terdiri atas Naftali Bennett, Yair Lapid, dan Mansour Abbas menyepakati koalisi pemerintah baru.

Baca Juga

Itu pertama kalinya sejak di Israel berdiri Partai United Arab List yang dipimpin Abbas menandatangani kesepakatan untuk ambil bagian dalam pemerintah Israel. Tidak hanya Abbas, tapi Lapid yang moderat dan Bennett pemimpin partai nasional sayap kanan juga ingin mengakhiri kekuasan Netanyahu.

Dalam kolomnya, Kamis (3/6), Pfeffer menulis Netanyahu yang menciptakan koalisi tersebut dua kali. Pertama, ketika ia terlalu banyak menyerang Bennett dalam pemilu sebelumnya mendorong pemimpin Partai Yamina itu menyadari ia tidak bisa berdamai dengan Netanyahu yang pernah menjadi mentornya.

Bennett hanya salah satu dari banyak mantan sekutu Netanyahu yang kini menjadi musuhnya. Kesempatan kedua Netanyahu menciptakan koalisi baru yang akan menggulingkannya adalah ketika ia bernegosiasi dengan Abbas usai pemilihan bulan Maret lalu. Ia berharap mendapat dukungan dari pemimpin United Arab List untuk pemerintah barunya.

Netanyahu yang terlalu sering memicu kebencian masyarakat Yahudi ke warga Arab untuk kepentingan politiknya membutuhkan bantuan masyarakat minoritas Arab untuk membentuk pemerintahan. Netanyahu pun gagal karena pada saat yang sama ia harus memastikan aliansi Religious Zionism yang rasialis melewati ambang batas dan menjadi kekuatan yang diperhitungkan dalam koalisinya.

Namun, aliansi rasis itu tidak akan pernah bergabung dengan orang Arab. Di sisi lain, Bennett dan sayap kanan yang membentuk pemerintahan yang baru bisa mengelola pemerintahan bersama orang Arab dan kini sayap kanan dan minoritas Arab itu berterima kasih pada Netanyahu karena telah menyatukan mereka.

"Namun, setelah mereka meraih batu pijakan ini, Netanyahu tidak akan menyerah. Untuk dilantik, mereka harus lolos dari pemungutan suara mosi percaya pembentukan pemerintah baru dan sebelum pemungutan suara digelar Netanyahu akan mengintensifkan tekanan, menggunakan pengunjuk rasa di jalan, teknik kotor di media sosial, dan menyiapkan setiap rabi untuk memberikan berkah untuknya dan mengutuk partai Bennett," tulis Pfeffer.

 

Bila pemerintah baru berhasil lolos pemungutan suara di parlemen atau Knesset, Bennett akan menjabat sebagai perdana menteri selama dua tahun. Tapi, koalisi delapan partai terancam ambruk sebelum hal itu terjadi. Ia harus menggunakan semua cara untuk mempertahankan kekuasaannya karena ia sudah membakar semua jembatan dengan Netanyahu dan pendukung perdana menteri itu.

"Satu-satunya cara untuk menyelamatkan karier politiknya adalah menjadi perdana menteri dan melakukan pekerjaan yang cukup baik. Ia mempertaruhkan semua modal politiknya," ujar Pfeffer menambahkan.

Begitu pula Abbas yang mempertaruhkan semuanya untuk koalisi pemerintah baru ini. Ia mendapat empat kursi di Knesset karena berhasil menggaet suara pemilih Muslim Israel yang berharap ia dapat menyuarakan aspirasi mereka untuk membangun infrastruktur dan memberikan izin bangunan bagi puluhan ribu bangunan ilegal Arab Israel yang kini terancam dirobohkan.

Bagi Abbas, pemerintahan itu harus sukses. Bila tidak, dalam pemilihan berikutnya ia akan kehilangan banyak suara. Ia tidak lagi dipercaya pemilih Muslim Israel. 

 
Berita Terpopuler