Kematian Napoleon Bonaparte Sebab Sakit atau Diracun?

Muncul sejumlah dugaan terkait penyebab kematian Napoleon Bonaparte

Muncul sejumlah dugaan terkait penyebab kematian Napoleon Bonaparte. Napoleon, ilustrasi
Rep: Umar Mukhtar Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Mungkin tidak banyak yang mengetahui detail peristiwa yang membuat kaisar sekaligus pemimpin militer Prancis, Napoleon Bonaparte, meninggal dunia. Kematiannya secara resmi diumumkan pada usianya yang menginjak 51 tahun. Saat itu disampaikan bahwa Napoleon meninggal akibat kanker perut.

Baca Juga

Namun, pengumuman resmi itu tidak mengubur pertanyaan tentang apa detail penyebab Napoleon meninggal. Apalagi, dokternya pun menolak untuk menandatangani laporan autopsi.

Napoleon Bonaparte lahir di Pulau Corsica, Prancis, pada 15 Agustus 1769. Ketika Revolusi Prancis meletus pada 1789, kesempatan baiknya datang. Keberhasilan militer yang dipimpinnya dalam Pengepungan Toulon pada 1793 menjadikannya sebagai kekuatan yang diperhitungkan.

Pada 1795, Napoleon Bonaparte, yang saat itu berusia 26 tahun, menghentikan pemberontakan melawan republik di Paris. Sejak saat itu, kehadiran Napoleon mengejutkan seluruh Eropa karena dia dengan cepat menjadi kekuatan politik. Dia mengambil kendali Pemerintah Prancis dalam "kudeta 18 Brumaire" pada 1799. Lima tahun kemudian, Napoleon Bonaparte, pada usia 35, menobatkan dir sebagai Kaisar Prancis.

Kemenangan Napoleon bergulir di medan perang, misalnya dengan menghancurkan Rusia dan Austria pada Pertempuran Austerlitz pada 1805 dan juga menaklukkan Kekaisaran Romawi yang berusia 1.000 tahun.

Napoleon mencatatkan awal dari akhir hidupnya ketika dia memutuskan untuk menginvasi Rusia pada 1812. Rusia membakar desa dan kota saat mereka mundur, meninggalkan tentara Prancis dengan sedikit pasukan dan hampir tidak ada yang bisa dimakan. Pada September 1812, pasukan Prancis terisolasi di Moskow tanpa persediaan makanan dan musim dingin akan tiba.

Prancis akhirnya terpaksa mundur dari Moskow dan Napoleon kehilangan ratusan ribu tentaranya. Seluruh Eropa merasakan kelemahan pasukan Napoleon pada saat itu. Austria, Prusia, Rusia, dan Swedia menyatukan pasukan mereka melawan Prancis dalam Pertempuran Leipzig pada 1813. Napoleon menyerah pada April 1814 dan dipaksa untuk melepaskan takhtanya.

Lalu Napoleon diasingkan ke Pulau Elba di Mediterania, tetapi berhasil melarikan diri dan berusaha merebut kekuasaan di Prancis lagi sampai ia dikalahkan dalam "Pertempuran Waterloo" pada Juni 1815. 

Setelah itu, Napoleon dikirim kembali ke pengasingan, kali ini ke Saint Helena, sebuah pulau kecil yang terisolasi di Inggris yang pernah digambarkan sebagai lokasi yang sangat jauh dari tempat mana pun di dunia. 

Pengasingan di Saint Helena adalah takdir yang lebih buruk ...

 

 

 

Pengasingan di Saint Helena adalah takdir yang lebih buruk daripada kematian bagi Napoleon Bonaparte. Dia pernah berkata selama tinggal di pulau terpencil itu, "Kematian itu tidak penting, tetapi hidup dalam kekalahan dan tenggelam berarti mati setiap hari."

Mantan kaisar tidak memiliki orang untuk diperintahnya. Komandan militer yang hebat itu tidak memiliki pertempuran lagi untuk dimenangkan. Sebaliknya, Napoleon hanya mencoba mengisi waktunya dengan berbagai urusan sebanyak mungkin. Dia dulu bekerja di hortikultura, membaca buku, dan menulis buku hariannya.

Kehebatan militer Napoleon masih kalah dengan kejenuhan berada di Saint Helena. Akibatnya, kondisi mentalnya semakin memburuk dan kesehatannya juga mulai memburuk. Pada 1820, Napoleon berada dalam kondisi yang sangat serius, menderita sakit perut, mual, demam, sembelit, dan diare.

Napoleon tahu bahwa akhir hidupnya sudah dekat, dan pada April 1821 dia memutuskan untuk mendikte wasiatnya, menuduh Inggris menyebabkan kematiannya dan memerintahkan penguburannya di "tepi Sungai Seine" di Prancis.

Napoleon bimbang antara hidup dan mati selama berminggu-minggu. Kesehatannya memburuk pada 5 Mei 1821. "Dia sangat kesakitan. Dia mengucapkan beberapa kata yang tidak bisa dibedakan yang tampaknya tentang tentara," ujar Jenderal Prancis Henri Bertrand, salah satu komandan tentara Napoleon, mengenang. 

Napoleon Bonaparte meninggal pada hari yang sama saat usianya menginjak 51 tahun. Sekelompok dokter kemudian mengaitkan kematiannya dengan kanker perut. Namun, perdebatan tentang penyebab kematian tidak berhenti sampai di sini karena muncul kontroversi pascakematiannya terkait apa yang menyebabkannya meninggal. 

Pertama, Inggris dan Prancis tidak sampai pada titik temu soal autopsi Napoleon. Beberapa dokter yang memeriksa tubuhnya mengakui bahwa dia meninggal karena kanker perut. Ini masuk akal sebab kakek, ayah, saudara laki-laki, dan tiga saudara perempuan Napoleon semuanya meninggal karena kanker perut juga. 

Namun, salah satu dokter Napoleon, Francesco Antomarchi, menolak untuk menandatangani laporan autopsi, yang menimbulkan beberapa pertanyaan. Setelah melihat lebih dekat pada mayat Napoleon, Antomarchi melihat bahwa livernya membesar. 

Akan tetapi, ada tuduhan bahwa pihak Inggris tidak mau menunjukkan hal ini dalam laporan autopsi sehingga dia tidak akan dikatakan memiliki riwayat penyakit pada livernya, di mana pihak Inggris mengirimnya ke pengasingan tanpa pengobatan. Karena itu, catatan Francesco Antomarchi tentang pembesaran liver Napoleon dihilangkan dari laporan tersebut.  

Selain itu, dokter Inggris mengecualikan pengamatan Antomarchi...

Selain itu, dokter Inggris mengecualikan pengamatan Antomarchi tentang kondisi paru-paru Napoleon yang buruk. Karena itu, tidak mengherankan jika Antomarchi menahan diri untuk menandatangani laporan ini.

Setelah itu, Inggris dan Prancis berselisih tentang di mana mantan kaisar itu dimakamkan. Napoleon telah meminta agar tubuhnya dikembalikan untuk dimakamkan di Prancis, yang sangat dia cintai. Tetapi, Inggris tidak ingin makam Napoleon ada di Eropa. Dia akhirnya dimakamkan di Pulau Saint Helena. 

Akhirnya, Inggris dan Prancis memperdebatkan apa yang harus ditulis di nisannya. Prancis ingin menulis nama Napoleon sebagai Kaisar, sementara Inggris menolak memberikan legitimasi apa pun pada pemerintahannya dan ingin mencukupi dengan sebuah tulisan dengan nama lengkapnya, "Napoleon Bonaparte".

Tubuh Napoleon terbaring selama hampir 20 tahun di kuburan tanpa saksi sampai tahun 1840, yaitu ketika Inggris, yang membutuhkan kerja sama Prancis dalam persoalan politik, setuju untuk mengembalikan jasad Napoleon ke Paris. 

Namun, para penganut teori pembunuhan sering merujuk pada "satu tersangka", yaitu Pangeran Charles Montholon, orang Prancis yang tinggal di pPlau Saint Helena bersama Napoleon. 

Alasan utama kecurigaan terhadap orang ini adalah karena beberapa sejarawan percaya bahwa Montholon adalah agen dari kaum royalis Prancis sehingga mungkin dia ingin memastikan bahwa Napoleon tidak akan mencoba merebut kekuasaan lagi. 

Menurut teori itu, diasumsikan bahwa Montholon meracuni Napoleon dengan arsen dengan memasukkannya ke dalam botol anggur. Beberapa helai rambut Napoleon yang diawetkan setelah kematiannya menunjukkan kadar arsenik 38 kali lebih tinggi dari biasanya.

Meski begitu, hasil yang lebih baru menunjukkan bahwa laporan autopsi awal yang dikeluarkan pada 1821 adalah benar sehingga ini membantah teori pembunuhan Napoleon oleh Montholon. Karena, walaupun kadar arseniknya mengkhawatirkan, perlu diketahui arsenik sangat populer selama abad ke-19 untuk digunakan dalam pengobatan, produk makanan, dan produk perawatan rambut.    

Selain itu, gejala Napoleon identik dengan gejala pasien kanker perut. Pemeriksaan celana yang dia kenakan dalam pengasingannya di Pulau Saint Helena mengungkapkan bahwa pinggangnya lebih kecil daripada saat di Prancis sehingga memungkinkan dia kehilangan berat 30 pon sebelum kematiannya. 

Kondisi ini biasa terjadi pada seseorang dengan kanker perut, dan bukan pada keracunan arsenik. Pada saat yang sama, kulit dan kuku Napoleon digambarkan sebagai "pucat", yang bisa disebabkan oleh dosis arsenik yang fatal.

Terlepas dari kemungkinan tidak pernah mendapatkan kebenaran yang dikonfirmasi, fakta bahwa pertanyaan itu diajukan dan tidak menemukan jawaban, menunjukkan bahwa Inggris gagal membendung nama besar Napoleon ketika mereka membawanya ke Saint Helena. Sebab, kehidupan dan biografinya terus menempati sebagian besar sejarah.

 

 

Sumber: arabicpost

 
Berita Terpopuler