Kebencian Yahudi atau Anti-Semit Justru Muncul di Barat

Anti-Semit justru berawal dari gerakan-gerakan di negara Barat.

Panoramio.com
Anti-Semit justru berawal dari gerakan-gerakan di negara Barat. Zionisme (ilustrasi).
Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID,  

Oleh Ardiansyah Ashri Husein* 

Sebenarnya, apa akar konflik Palestina dan Israel? Sebagian orang menyebut perebutan wilayah dan kawasan hunian. Sebagian mengatakan karena keyakinan Yahudi atas keberadaan Kuil Sulaiman yang mereka klaim ada di bawah bangunan Masjid al-Aqsha. 

Ada pula yang mengatakan konflik bermula karena kebencian orang Arab terhadap entitas Yahudi di Palestina, dan lain sebagainya. Namun, tahukah kita, permasalahan paling utama yang menjadi akar konflik Palestina vs Israel adalah karena Zionis Israel telah menjajah dan merampas bumi Palestina, kota suci umat Islam, serta mengusir dan membantai penduduknya. 

Permasalahan ini tidak akan pernah selesai selama penjajahan itu dibiarkan dan dibenarkan. Apalagi, jika ada pihak yang berupaya memberikan legalitas dan pengakuan terhadap eksistensi Israel di tanah yang bukan menjadi hak mereka. 

Pemberian negara kepada Zionis Israel (solusi dua negara) sebagai solusi dan upaya perdamaian yang ditawarkan PBB tidak bisa diterima dan tidak masuk akal karena tanah Palestina adalah milik umat Islam sepenuhnya. 

Tanah itu bukan milik mereka dan bukan milik Israel yang dapat diserahterimakan begitu saja. Apalagi, dengan dalih perdamaian. Perdamaian yang bagaimana dan atas dasar apa? Sampai sekarang Israel bahkan mengesampingkan segala hak warga Palestina. 

Solusi dua negara berat sebelah dan tak berkeadilan. Israel pada hari ini bahkan sudah menempati sebagian besar tanah Palestina dan mendirikan puluhan ribu perumahan ilegal di atas tanah milik rakyat Palestina. Mereka melanggar peraturan yang telah disepakati dalam perjanjian damai.  

Menurut Pusat Penelitian dan Konsultasi al-Zaytouna sampai awal 2017 saja, ada 8,49 juta jiwa dari 12,7 juta penduduk Palestina berstatus pengungsi, yaitu sekitar 70 persen lebih. Artinya, separuh lebih rakyat Palestina terusir dari tanah air mereka dan menjadi pengungsi di negara tetangga.  

Mereka tinggal di barak pengungsian dan tak mendapatkan hak sebagai bangsa yang merdeka. Hak untuk kembali ditolak Israel. Warga yang masih bertahan di Palestina, juga mengalami penderitaan yang tak kalah hebatnya. Kota Gaza sudah 12 tahun diblokade, baik lewat darat, laut, maupun udara. Mereka tak bisa menjalankan kehidupan sebagaimana mestinya. 

 

Penjajah Israel mengurung mereka dengan dinding pemisah. Persentase kemiskinan dan pengangguran meningkat setiap tahun. Kelaparan dan kekurangan obat-obatan membuat Gaza sekarat. Gaza menjadi penjara dan kuburan massal jika dunia mendiamkannya. 

Mereka yang tinggal Tepi Barat, juga tidak lebih baik. Kendati ada pemerintah otoritas Palestina, keberadaannya seperti tak bernyawa. Hak-hak rakyat Palestina dikebiri dan dibatasi  hegemoni Israel yang membayangi setiap kebijakan pemerintah. 

Warga Palestina di Tepi Barat, tak ubahnya kumpulan ayam yang diawasi segerombolan serigala. Israel merasa mereka adalah tuan rumah di Tepi Barat. Rakyat Palestina dipaksa membayar pajak tanah dan bangunan yang mencekik. 

Kegiatan ekonomi tak bisa tumbuh karena undang-undang perekenomian ditentukan Israel dan sangat tidak berpihak kepada warga Palestina. Kebun-kebun zaitun milik rakyat Palestina yang menjadi tempat mayoritas warga Tepi Barat bergantung selama beberapa dekade, dirusak dan dihancurkan. 

Di atas ratusan ribu hektare perkebunan Zaitun itu, Israel mendirikan perumahan-perumahan ilegal. Karena itu, ketika rakyat Palestina dan seluruh umat Islam melakukan perlawanan terhadap Israel, perlawanan tersebut bukan atas dasar kebencian etnis, bukan karena keyahudian mereka. 

Sebab, dasar hubungan umat Islam dengan Yahudi adalah hubungan dengan ahli kitab atau ahli dzimmah yang dipayungi prinsip-prinsip keadilan. Bangsa Yahudi hidup aman tenteram mendapatkan hak-hak meraka seutuhnya di dunia Islam, termasuk di Palestina. 

Justru, gerakan rasialisme anti-Yahudi atau anti-Semit itu berkembang di Eropa dan di negara-negara Barat, bukan di dunia Islam. Fakta ini seperti yang diungkap oleh Dr Muhsin Sholih dalam buku beliau, 40 Fakta Tentang Palestina

Gerakan anti-Semit membuat Yahudi internasional meminta perlindungan dan suaka kepada dunia atas sikap diskriminatif yang mereka terima di Eropa. Yang paradoks, Israel menentang rasialisme Nazi di Eropa, tetapi memimpin pembantaian etnis di bumi Palestina. 

Sikap perlawanan umat Islam terhadap Zionis Israel tiada lain didasarkan karena penjajahan, perampasan, penistaan, dan pembantaian yang mereka lakukan terhadap rakyat dan bumi Palestina. Sudah 70 tahun Israel mengagresi bumi suci al-Quds, ratusan ribu jiwa melayang, jutaan terluka, tak terhitung yang dipenjara dan teraniaya.  

Sebagian besar penduduk Palestina tinggal di barak-barak pengungsian. Maka, selama Israel menerapkan penjajahan dan perampasan, selama itu pulalah mereka akan berhadapan dengan perlawanan. Umat Islam tidak akan mendiamkan entitas apa pun di dunia ini yang mengusung penjajahan dan penindasan.  

Islam adalah agama damai dan mengajarkan perdamaian, seperti makna akar nama Islam itu sendiri berasal dari kata salam yang artinya perdamaian. Salam yang mereka ucapkan adalah keselamatan dan perdamaian. 

Bahkan, salah satu nama-nama Allah, Tuhan yang mereka sembah adalah as-Salam. Bagaimana mungkin agama yang damai mendorong pada terorisme, penjajahan, dan permusuhan. 

 

 

*Duta Sosialisasi Palestina KNRP, Direktur International Institute for Islamic World Studies (INIWS). Naskah ini ditayangkan kembali dari arsip Harian Republika.

 
Berita Terpopuler