Rating FB Terus Turun, Pengamat: Tak akan Dihapus Playstore

pengamat IT menyebut turun rating hanya satu dari 9 hal yang bisa dihapus playstore

CNN
Facebook. ILustrasi. Rating atau ulasan Facebook di Play Store terus turun. Pada Kamis (20/5), terpantau rating Facebook sebesar 2,5. Di kolom komentar terbaru, pengguna yang memberi rating rendah beralasan ada berbagai masalah yang tidak bisa diselesaikan oleh Facebook, seperti iklan, privasi, juga pengaturan suara.
Rep: Idealisa masyrafina Red: Ichsan Emrald Alamsyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rating atau ulasan Facebook di Play Store terus turun. Pada Kamis (20/5), terpantau rating Facebook sebesar 2,5.  Di kolom komentar terbaru, pengguna yang memberi rating rendah beralasan ada berbagai masalah yang tidak bisa diselesaikan oleh Facebook, seperti iklan, privasi, juga pengaturan suara.

Menurut Pengamat IT dan Media Sosial Kun Arief Cahyantoro ini bukan berarti bahwa Facebook akan dihapus oleh Playstore. Ia menjelaskan bahwa sistem algoritma peratingan Playstore sering berubah-ubah, tetapi terdapat beberapa 9 faktor kunci yang menjadi variabel penilaian rating, yaitu: Downloads, Paid Downloads, App Launches, Amount of Reviews, App Ratings, Keyword Usage, Update Frequency, Retentions, & Country.

"Rating aplikasi (App Rating) hanyalah 1 dari 9 faktor tersebut, sehingga dari sisi teknis FB masih tetap memiliki nilai tinggi untuk dapat tetap berada di playstore." ujar Arief kepada Republika.co.id, Jumat (21/5).

Selain itu, menurutnya masih banyak alasan lagi untuk meyakini bahwa boikot (oleh pengguna) tidak berdampak terlalu keras kepada FB. Misalnya terkait alasan pendapatan dimana unsur utamanya adalah iklan dari perusahaan-perusahaan.

Arief memaparkan, kasus boikot aplikasi di playstore sebenarnya adalah hal yang sudah lama terjadi. Bahkan pada pertengahan tahun 2020, Facebook pernah juga mendapatkan aksi boikot dari perusahaan besar dengan alasan FB dinilai gagal mengatasi ujaran kebencian (konten rasis, berbau kekerasan, dan konten hoaks) yang dianggap mengganggu dan dapat membahayakan bisnis/produk dari perusahaan-perusahaan tersebut.

Menurutnya, hal yang perlu dipahami bahwa saat ini pemicu perpecahan biasanya dimulai pada platform media sosial di media maya dan krisis itu dapat menjadi awal krisis berikutnya di media fisik, atau bahkan dapat menjadi awal dari bencana fisik.

"Dilihat dari persepsi tersebut, aksi boikot masih bisa diterima sebagai bentuk protes atas 'ketidakmampuan' atau 'ketidakpedulian' platform (media sosial) untuk menangani atau bersikap secara adil dan netral atas segala hal yang dapat memicu perpecahan." ujar Arief.

 

Disisi lain, penggunaan platform (media sosial) sebagai "sumber informasi" ternyata telah beralih menjadi "senjata" untuk melakukan "disinformasi". Terkait isu yang saat ini viral yaitu masalah Palestina-Israel, New York Times (17/5) melansir bahwa kebohongan atau kabar hoaks telah diperkuat karena telah dibagikan ribuan kali di Twitter dan Facebook, menyebar ke grup WhatsApp dan Telegram yang memiliki ribuan anggota.

Efek dari disinformasi tersebut berpotensi mematikan dan dapat mengobarkan ketegangan antara Israel dan Palestina saat kecurigaan dan ketidakpercayaan meningkat, meski telah terjadi gencatan senjata pada hari ini.

"Efek dari disinformasi inilah yang saya lihat menjadi acuan bagi beberapa pihak di Indonesia sebagai 'senjata terusan' untuk kepentingan masing-masing pihak tersebut." katanya.

Seperti yang pernah dilakukan oleh FB dengan kasus-kasus boikot di masa lalu, FB akan melakukan perbaikan dan pembenahan sebagai contoh filterisasi konten dan pengetatan forward informasi yang dianggap masuk dalam klasifikasi ujaran kebencian atau berpotensi menyebabkan perpecahan.

 

"Dengan demikian, FB dapat kembali menunjukkan bahwa mereka merupakan platform media sosial yang masih tetap layak untuk digunakan dan tetap berada di playstore." ujarnya. 

 
Berita Terpopuler