Kaburnya Pendapatan Petani Mawar Tabur

Petani mawar tabur mengaku pandemi dan larangan mudik mempengaruhi pendapatan mereka.

Republika/Thoudy Badai
Taburan bunga di makam. Ilustrasi
Rep: Bowo Pribadi Red: Yudha Manggala P Putra

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Menjelang hingga beberapa hari setelah lebaran –umumnya-- menjadi berkah bagi para petani bunga mawar, di wilayah Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Pasalnya, permintaan bunga mawar --yang jamak digunakan untuk bunga tabur saat ziarah kubur tersebut-- biasanya melonjak hingga beberapa kali lipat. Harganya pun meningkat.

Para petani biasanya bisa meraup untung lebih besar dari penjualan bunga mawar pada momentum tahunan hari raya keagamaan bagi umat Islam tersebut.    

Namun tidak demikian halnya dengan lebaran dua tahun terakhir. Para petani bunga mawar tabur pun di Kecamatan Bandungan tak cukup beruntung, akibat situasi negeri yang tengah dilanda pandemi Covid-19.

Adanya larangan mudik yang dikeluarkan oleh Pemerintah untuk masyarakat turut mempengaruhi kebutuhan bunga mawar tabur, hingga petani pun tak luput ikut merasakan dampaknya.

Karena produksi mawar tabur yang sangat melimpah, tidak sebanding dengan kebutuhan masyarakat yang menurun, kendati pada momentum lebaran.

“Karena sebagian besar tidak mudik ke kampung halaman untuk berkumpul dengan keluarga serta berziarah ke makam leluhur,” ungkap Robi’ah (41), petani di Dusun Geblog, Desa Sidomukti, Kecamatan Bandungan, Jumat (14/5).

Ia pun membandingkan dengan momentum lebaran tahun 2019 atau sebelum pandemi Covid-19 melanda. Saat itu bunga mawar tabur laku dijual Rp 350 hingga Rp 400 ribu per tenggok (wadah anyaman bambu) karena permintaan yang masih tinggi.

Namun sudah dua momentum lebaran ini, permintaan bunga mawar tabur menurun. Harganya pun kurang bagus di tingkat petani.

“Bisa menjual Rp150 ribu per tenggok kepada pengepul sudah bagus, jika kurang beruntung cuma dibeli kisaran Rp100 ribu hingga Rp 120 ribu per tenggok,” lanjutnya.

Robi’ah menambahkan, selain masyarakat yang mudik berkurang, permintaan bunga mawar tabur dari pengepul atau penjual asal luar daerah juga menurun tajam dalam dua lebaran terakhir.

Wilayah Kecamatan Bandungan, lanjutnya, memang sudah dikenal menjadi sentra penghasil bunga mawar tabur, sehingga pada momentum lebaran seperti juga banyak pedagang atau pengepul dari Cirebon (Jawa Barat), Ngawi (Jawa Timur) yang mengambil dari Bandungan.

"Sehingga saat produksi melimpah dan permintaan menurun, rejeki petani bunga mawar tabur pun di Bandungan pun –sebagian—juga ikut kabur,” tegasnya.

Hal ini diakui pula pengepul bunga mawar tabur asal Randusari, Kota Semarang, Muslih (54). Menurutnya, pada momentum lebaran –biasanya—harga bunga mawar tabur di tingkat petani bisa melonjak lebih dari 10 kali lipat di Bandungan.

Kalau harga normal di luar momentum lebaran memang berkisar Rp 30 ribu hingga 35 ribu per tenggok. Namun, saat lebaran bisa mencapai Rp 350 ribu. “Pedagang masih bisa mengambil untung dari harga di tingkat petani tersebut,” ungkapnya.

Muslih juga mengakui, dua kali lebaran terakhir memang harga bunga mawar tabur tidak sebagus lebaran sebelum masa pandemi. Karena produksinya cukup melimpah tetapi permintaannya berkurang.

Bahkan, dua hari sebelum momentum lebaran, biasanya ia sudah ‘berebut’ mencari petani dengan para pedagang dan pengepul yang akan membawa Bungan mawar tabur dari Bandungan ke  Jawa Timur dan Jawa Barat, seperti Ngawi, Nganjuk dan Cirebon.                   

“Sekarang tidak lagi, momentum lebaran kali ini baik petani maupun pengepul seperti saya pun juga tidak dapat meraup untung lebih banyak dari bunga mawar tabur ini,” tambahnya.

 
Berita Terpopuler