Puasa dan Tiga Pilar Peradaban Islam

Nabi Muhammad memimpin 300 prajurit mengalahkan seribu lebih prajurit Quraisy

Pixabay
Ilustrasi Ramadhan
Red: Elba Damhuri

Oleh : Babay Parid Wazdi, Bankir Senior & Dewan Pembina Masyarakat Ekonomi Syariah DKI

REPUBLIKA.CO.ID, --- Babay Parid Wazdi, Bankir Senior & Dewan Pembina Masyarakat Ekonomi Syariah DKI

Puasa sudah menjadi ibadah umat sebelum Nabi Muhammad. Al-Quran turun untuk menyempurnakan puasa tersebut dan diwajibkan selama sebulan penuh, difirmankan oleh Allah swt: “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Surah al-Baqarah [2]: 183) 

Dalam perjalanan peradaban Islam, puasa Ramadhan inilah yang menjadi game changer mengubah perjalanan sejarah umat, salah satu contohnya peristiwa Badar yang berlangsung pada bulan puasa. Nabi Muhammad memimpin 300 prajurit mengalahkan seribu lebih prajurit Quraisy. Pasca perang Badar, status umat Islam berubah. Masyhur ke berbagai pelosok sebagai pemenang. 

Puasa tidak membuat umat Islam lemah. Sebaliknya, puasa Ramadhan adalah masa dimana umat Islam memberikan kontribusi terbaiknya kepada kemanusiaan. Dalam sejarah negeri kita, Indonesia merdeka justru pada bulan Ramadhan. Bung Hatta mencatat detik-detik kemerdekaan Indonesia itu dalam buku Memoir-nya.  

“Waktu itu bulan puasa. Sebelum pulang aku  makan sahur di rumah Admiral Maeda. Aku makan roti, telur dan ikan sardines. Setelah pamitan dan mengucapkan terima kasih kepada tuan rumah, aku pulang sama Soekarno, yang menyinggahkan aku di rumah. Aku baru tidur sesudah sembahyang subuh, bangun kira-kira jam 08.30 pagi dan berangkat ke Pegangsaan Timur 56, guna menghadiri pembacaan teks Proklamasi kepada rakyat banyak serta menaikkan bendera Sang Merah Putih dengan lagu Indonesia Raya.” 

Dari sini tampak sekali bahwa  puasa tidaklah menjadi penghalang bagi para pendiri bangsa kita untuk merubah peradaban. Karena itu, keliru bila ada umat Islam masih ada yang melihat bahwa Ramadhan merupakan waktu untuk banyak beristirahat. Padahal, Ramadhan adalah waktu yang tepat untuk kita memberikan kontribusi bagi kemanusiaan dan peradaban. 

Untuk bisa memberikan kontribusi kepada peradaban, ada tiga hal yang perlu kita siapkan sebagai bekal. Dengan berbekal ketiganya insya Allah kita bisa berkontribusi kepada peradaban. Menurut sejarawan dunia, Arnold Toynbee, yang menggerakkan sejarah itu adalah minority creative. 

Segelintir orang kreatif yang menggerakkan peradaban. Bila yang kecil saja bisa menggerakkan peradaban, apalagi umat Islam Indonesia. Saat ini, Indonesia merupakan negara berpenduduk muslim terbesar dunia. Ini potensi besar yang harus kita maksimalkan manfaatnya. 

Tetapi, untuk bisa menyumbangkan kepada peradaban setidaknya kita mesti melakoni tiga hal dan berkat puasa ketiganya bisa kita lakoni bersama-sama. 

Pertama, dengan berpuasa kita berislam secara kafah. 

 

Puasa menjadi salah satu rukun Islam. Tanpa mengerjakan puasa maka keberislaman kita menjadi tidak sempurna. Bagaimana mungkin bisa disebut seorang muslim bila dia tidak melaksanakan salah satu rukunnya. Karena itu, jalan untuk menjadi seorang muslim yang sempurna adalah mengerjakan puasa. 

Tujuan penting puasa adalah untuk menjadi seorang muslim yang bertakwa. Takwa di sini menekankan pada aspek personal dan sosial. Terutama kejujuran, kesederhanan, keberpihakan terhadap yang lemah dalam segala aspek kehidupan kita sebagaimana halnya esensi dari ajaran puasa.  

Hal ini tampak sederhana, tetapi sebenarnya perlu waktu untuk kita bisa melaksanakannya. Karena itulah Allah Swt memberikan kesempatan kepada kita setiap tahun untuk meningkatkan kualitas ketakwaan kita kepada-Nya melalui puasa. 

Melalui puasa, kita mengikis dan menghilangkan semua sifat buruk yang ada dalam diri kita. Perlahan-lahan dan hasil akhirnya adalah kita menjadi seorang muslim yang bertakwa. Ini bagian dari menjalani kehidupan Islam secara kafah. Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.” (Q.S al-Baqarah [2]:208)

Kafah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti sempurna atau keseluruhan. Sementara itu, menurut pakar tafsir, kata as-silm di sini dimaknai sebagai kedamaian. Kedamaian oleh ayat ini diibaratkan dalam suatu wadah yang dipahami dari kata fi, yakni dalam.

Dengan begini, orang yang beriman diminta untuk memasukkan totalitas dirinya ke dalam wadah itu secara menyeluruh, sehingga semua kegiatannya berada dalam wadah atau koridor kedamaian. Ia damai dengan dirinya, keluarganya, dengan seluruh manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan serta alam raya. 

Ayat ini mendorong setiap muslim untuk melaksanakan semua perintah Allah dan menjauhi larangannya. Itulah makna dari takwa. Puasa adalah waktu yang tepat untuk kita menjelmakan makna dan ajaran Islam secara kafah, sehingga kita berkontribusi membangun kembali kejayaan peradaban Islam.

 

Kedua, dengan berpuasa kita mempererat ukhwah Islamiyah 

Indonesia ini dikenal sebagai negara yang sangat dermawan. Solidaritas antarumat Islam begitu kuat dan erat. Di antaranya kita bisa lihat dengan pembangunan masjid atau rumah sakit di Palestina.

Atau saat saudara-saudara kita yang tertimpa musibah di belahan bumi mana pun, muslim Indonesia bersedia menyumbangkan dana dan tenaga untuk membantu. Ini memang sudah menjadi teladan dan sudah menjadi praktik umum yang kita temukan di masyarakat muslim Indonesia. 

Pada musim pandemi ini kita sangat bersyukur banyak sekali bantuan dan donasi yang muncul untuk saling membantu warga semakin meningkat. Di Jakarta sendiri, misalnya, ada gerakan Kolaborasi Sosial Berskala Besar (KSBB).

Ini adalah wadah yang mempertemukan antara pemerintah, swasta, dan warga. Hasilnya sangat menakjubkan. Pandemi yang sudah berjalan setahun lebih ini membuat banyak warga yang bertahan karena adanya ukuwah. 

Ketiga, dengan berpuasa kita membawa dan menyebarkan rahmah. 

Dalam al-Quran Allah berfirman bahwa, “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”(QS At-Tin [95]: 4).

Di antara arti ini adalah manusia diciptakan dalam keseimbangan. Keseimbangan manusia adalah untuk bisa menghasilkan gerak dan produktif maka manusia harus makan dan minum. Tetapi, agar tidak berlebihan dan mengetahui batas maka harus menjaga dan mengatur makanan dan minuman melalui puasa . 

 

Dan pada puasa itu manusia mengalami hal yang paling manusiawi, yaitu lapar dan haus. Puasa menjadi bagian untuk menegur dan memberikan pelajaran penting  untuk bisa menghormati kemanusiaan.

Dengan begitu, saat manusia bisa produktif maka tidak akan mendatangkan kemungkaran dan kemudaratan bagi umat manusia. “Barang siapa tidak menyayangi anak kecil kami dan tidak mengenal hak orang tua kami, dia bukan termasuk golongan kami.” (HR. al-Bukhari).

Karena itu, puasa Ramadhan menumbuhkan dan menyuburkan sikap kasih sayang (rahmah) kita kepada manusia. Dengan mengetahui bahwa kita adalah makhluk sosial sehingga membutuhkan orang lain, maka kita harus menyebarkan kasih sayang kepada umat manusia. Agar kita kelak dikembalikan pada posisi terhormat.

“Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan; maka mereka akan mendapat pahala yang tidak ada putus-putusnya.” (QS At-Tin [95]: 5 dan 6).

Dengan Puasa kita akan menjadi muslim yang kafah, umat yang terjalin ukuwahnya dan umat yang menebarkan rahmah. Puasa mejadi jalan untuk kafah, ukuwah, dan rahmah sebagai tiga pilar membangun peradaban Islam. 

 

 
Berita Terpopuler