Malem Selikuran, Lailatur Qadar: Ngelindur Jawa Bukan Islam?

Peringatan Lailatul Qadar di Jawa

Kratonjogja.id
Peringatan Lailatur Qadar (Malem Selikuran) di Bangsal Menganti, Keraton Yogyakarta.
Rep: muhammad subarkah Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID  -- Masyarakat Jawa  menurut Profesor dan peneliti Amerika Serikat, Nancy K Florida, memang telah jelas hidup berdasar pada ajaran Islam.

Bahkan, dalam bukunya yang bertajuk Jawa-Islam, Di Masa Kolonial, Nancy K Florida dengan tegas mengatakan bila pihak atau orang yang mengatakan bahwa Jawa itu Hindu Buddha itu omongan orang ngelindur (mengigau). 

Nancy K Florida dalam buku yang diterbitkan Penerbit Langgar dari Yogyakarta dengan tegas mengkritisi ketidaktahuan dan ilusi itu. Dia menyebut istiliah 'ngelindur' itu sebagai ilusi atau penggambaran yang dibuat kesarjanaan kolonial dengan membayangkan dan menahbiskan bahwa kebudayaan Jawa itu terpusat di balik tembok keraton daripada hidup dalam alam masyarakat biasa. Dan, ini bagi kolonial mengerikan karena berada di tangan pemimpin Muslim (para ulama/pesantren/haji) yang bagi mereka berbahaya karena terus melawan kolonial.

Proyek ilusi kolonial ini makin subur bergandengan dengan proyek penyebaran agama Kristen (misionaris). Maka, janganlah heran bila kemudian pada hari-hari ini menjadi terkesan bila kegemilangan budaya Jawa itu berada pada era Hindu dan Buddha. Islam malah dituduh sebagai 'pendatang pendurhaka' yang merusaknya.

Nancy K Florida jelas tak main-main menyatakan hal itu. Anggapannya menabrak 'tabu' sejarah yang selama ini lekat dengan pengaruh kolonial. Tindakan dia sama halnya dengan yang dilakukan mendiang Profesor DR Nuquib Alatas yang kelahiran Bogor dan menjadi mahaguru di Malaysia. Nuquib pada dekade 1980-an dengan tegas menolak mitos warisan sejarah kolonial yang menyebut 'Pribumi Malas'.

Untuk menyusun argumen bahwa hanya orang 'ngelindur' yang menyebut Jawa itu bukan Islam, melainkan Hindu Budha, Nancy K Florida melakukannya dengan penelitan sangat serius selama bertahun-tahun. Jutaan manuskrip naskah Jawa dia kumpulkan dan didokumentasikan. Naskah-naskah itu pun dia disimpan dalam bentuk digitalisasi.

Menurut Nancy, dalam buku itu menyatakan omongan 'ngelindur' itu bersesuaian dengan fakta atas kerja dan kajian dirinya atas 500 naskah buku klasik Jawa yang ada di Keraton Surakarta. Menurutnya, dari naskah sebanyak itu ternyata porsi bahwa naskah itu masih menyampaikan ajaran Hindu-Buddha sangatlah kecil, yakni hanya 17 buku. Selebihnya Islam. 

''Jadi, kalau keraton di Jawa, terutama diwakili Keraton Surakarta dan Yogyakarta, selama ini dicitrakan Hinduistik, itu sama sekali salah. Kalangan berpengaruh di dalam keraton, termasuk para penasihat spritual dan pujangga, bahkan umumnya mendapatkan pendidikan agama di pondok pesantren. Pada masa lalu, Islam (di keraton) lebih fleksibel karena lebih cenderung pada tarekat, sekarang cenderung pada syariat,'' kata Nancy K Florida dalam buku tersebut.

 

 

 

Lalu, sejak kapan ilusi orang 'nglindur' itu ditancapkan dalam benak sejarah orang Indonesia, orang Jawa khususnya?

Lagi-lagi jawabannya usai kekalahan perlawanan rakyat dan kaum santri di Jawa pada waktu perang Diponegoro (1825-1830). Sejak era itu Jawa diidealkan dengan Jawa masa kuno (Jawa Dwipa) yang itu jelas sudah tak ada bekasnya.

Seperti diakui peneliti Inggris Peter Carey dan para profesor sejarah Islam lainnya, seperti Hermanu Joebagio dari UNS, setelah perang yang membangkrutkan ekonomi Belanda dan memakan begitu banyak orang Jawa itu (setengah penduduk Jogjakarta dan Surakarta sampai berkurang) atau sekitar 250 ribu penduduk Pulau Jawa yang kala itu penduduknya baru sekitar 6 juta jiwa tewas, Jawa khususnya, Hindia Belanda memasuki era baru.

Sejak itu untuk pertama kalinya Hindia Belanda berada dalam genggaman resmi tangan pemerintah Belanda, karena sebelum itu wilayah ini berada di bawah kekuasaan perusahaan swasta, yakni kongsi dagang, VOC belaka.

Nah, di situlah antara kepentingan kolonial dan penyebaran agama Kristen kemudian bersatu. Bila sebelumnya VOC tak mau terlibat dalam penyebaran agama karena takut hanya menimbulkan perlawanan, kini pemerintah kolonial Belanda ikut turut campur menyebarkannya. Pusat gerakan itu terindikasi berada di kawasan lereng gunung Kelud, di Jawa Timur. Di sanalah omongan 'nglindur ' itu disebarluskan dengan beraneka ragam ekpresi.

Alhasil, kepentingan memisahkan Islam dan Jawa menjadi penting dan satu tujuan bagi kaum kolonial dan kalangan misi kala itu. Pada satu pihak ditancapkan kebenak rakyat dengan tujuan sekuler ekonomi, yang lainnya 'dibenamkan' dengan tujuan kebutuhan keagamaan.

Karena itu, 'omongan dan ilusi 'nglindur' bahwa 'Islam bukan Jawa' dibesarkan, bahkan dibikin kajian teori ilmiah, materi ajar pendidikan, hingga dibentuk lembaga kajiannya.

Uniknya, warisan pemisahan 'nglindur' ini terbawa hingga sekarang. Ini terbukti dengan munculnya varian 'Trikotomi' dari Clifford Gertz: Santri Abangan dan Priyayi pada akhir 1950-an.

Tak hanya itu, kesalahmengertian yang disengaja ini kemudian berlangsung hingga zaman geger PKI 1965, hingga zaman milenial dengan munculnya pembelahan Kampret dan Kadal Gurun (Kadrun).

 

Sebagai bukti bahwa Jawa itu Islam bisa dilihat, salah satunya pada acara memperingati malam 'Lailatur Qadar' di Keraton Yogyakarta. Dalam artikel yang dikutip dari 'kratonjogja.id' tertulis kisah itu. dengan judul: 'Memperingati Lailatur Qadar dengan Malem Selikuran'. 

Begini tulisan lengkap beserta fotonya:

Tiap bulan Pasa atau Ramadhan, Keraton Yogyakarta selalu mengadakan acara Malem Selikur. Malem Selikur diadakan untuk menyambut malam Lailatul Qadar. Acara ini merupakan bagian dari kegiatan Kesultanan Yogyakarta sebagai kerajaan Islam untuk senantiasa menyebarkan ajaran Islam di tengah masyarakat Jawa.

Agama Islam mengajarkan bahwa akan tiba suatu malam yang istimewa pada sepertiga akhir bulan Ramadhan. Malam yang disebut malam Lailatul Qadar ini dipercayai lebih mulia dibanding malam-malam lainnya sehingga digambarkan memiliki nilai yang lebih baik dari seribu bulan. Pada malam ini pula, Nabi Muhammad dahulu menerima Al Quran yang diturunkan oleh Allah. Untuk menyambut malam ini, umat Islam memperbanyak amal dan ibadah karena diyakini pula pahala yang didapat seribu kali lebih banyak dari hari-hari biasa.

Malem Selikur, atau kadang dikenal juga dengan Selikuran, diyakini telah ada sejak awal penyebaran agama Islam di tanah Jawa. Tradisi ini diperkenalkan oleh Wali Sanga sebagai metode dakwah Islam yang disesuaikan dengan budaya Jawa. Ada yang mengartikan selikur sebagai sing linuwih ing tafakur. Tafakur berarti usaha untuk mendekatkan diri pada Allah, sehingga sing linuwih ing tafakur dapat diartikan sebagai ajakan untuk lebih giat mendekatkan diri pada Allah. Karena itu tradisi Malem Selikur diharapkan menjadi sarana pengingat untuk memperbanyak sedekah, merenung dan instropeksi diri, juga menggiatkan ibadah-ibadah lain dalam sepuluh hari terakhir Ramadhan.

Dalam bahasa Jawa, Malem Selikur berasal dari kata malem yang berarti malam dan selikur yang berarti dua puluh satu. Dua puluh satu yang dimaksud mengacu pada tanggal 21. Tanggal 21 menjadi hari pertama dari sepertiga akhir bulan Pasa, awal penantian bagi malam Lailatul Qadar yang akan tiba pada salah satu malam pada tanggal ganjil periode tersebut.

Pada masa lalu, penyelenggaraan Malem Selikur jauh lebih besar dibanding saat ini. Acara dihadiri oleh lebih banyak Abdi Dalem, bahkan juga oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Saat ini, Malem Selikur diselenggarakan oleh Keraton Yogyakarta di Bangsal Sri Manganti. Acara dimulai pukul 17.00, pada tanggal 20 Pasa yang juga selalu bertepatan dengan tanggal 20 Ramadhan. Sultan Agung, Raja Kerajaan Mataram Islam yang menjadi cikal bakal Kesultanan Yogyakarta, memang mengubah penanggalan Jawa yang sebelumnya berdasarkan penanggalan matahari menjadi penanggalan bulan agar bisa menyelaraskan kegiatan kerajaan dengan peringatan hari-hari besar Islam.

Acara Malem Selikur selesai tidak lama setelah azan Maghrib penanda buka puasa berkumandang. Dalam penanggalan Hijriah ataupun Jawa yang didasarkan pada penanggalan bulan, pergantian hari dimulai saat matahari tenggelam sepenuhnya. Maka dapat dikatakan, acara ini berakhir pada awal malam tanggal 21, atau bisa juga disebut malem selikur.

Acara ini dihadiri oleh perwakilan dari tepas-tepas dan kawedanan-kawedanan yang ada di Keraton Yogyakarta, juga seluruh Abdi Dalem Punakawan Kaji dan Abdi Dalem Suranata yang memang bertanggung jawab pada hal-hal yang berkaitan dengan keagamaan di keraton. Sebelum acara dimulai, telah ditata besek-besek (kotak dari anyaman bambu) berisi nasi lengkap dengan lauknya di tengah-tengah bangsal. Terdapat juga buah-buahan dan susunan kecil nasi bungkus, juga jodhang, sebuah kotak kayu besar yang digunakan untuk memikul makanan itu ke bangsal. Makanan ini nantinya dibagikan untuk seluruh peserta yang hadir sebagai bentuk sodaqoh atau sedekah dari Sultan.

Seiring dengan perkembangan zaman, berkembang pula acara pada Malem Selikur. Awalnya, peserta hanya datang lalu menunggu azan maghrib berkumandang. Secara bertahap, acara bertambah dari tahun ke tahun. Pada tahun 2017, acara dimulai dengan qiratul Al Quran , qiroah, tausiyah, zikir, istigfar, doa, lalu dilanjutkan dengan buka puasa bersama. 

Selain acara di Bangsal Sri Manganti, Keraton Yogyakarta juga memiliki ritual lain untuk menyambut Lailatul Qadar. Tiap tanggal 21 Pasa dan tanggal-tanggal ganjil setelahnya di bulan itu, Abdi Dalem Keparak menyalakan lilin-lilin saat matahari mulai terbenam. Sebuah lilin diletakkan di pintu gerbang menuju Keraton Kilen, dua di Gedhong Sedahan, tiga belas di Gedhong Prabayeksa, satu di Bangsal Pengapit, dan empat di Bangsal Kencana. Lilin yang berada di pintu gerbang menuju Keraton Kilen dilengkapi dengan cawan berisi bunga dan bokor berisi air.

Keterangan foto: Lilin di Bangsal Pengapit Kraton Yogyakarta menyambut malam lailayir qadar (malem selikuran).

Tradisi ini juga diyakini telah ada sejak masa para Wali dan masih lestari sampai sekarang di pelosok-pelosok Yogyakarta. Masyarakat percaya bahwa pada malam Lailatul Qadar, pintu surga akan terbuka dan arwah-arwah para leluhur akan datang berkunjung. Lilin, atau biasa juga menggunakan lampu ting (minyak), menjadi simbol penerangan bagi jiwa yang pulang, juga mewakili makna padhang atine (hati yang terang). Air mewakili makna ayem tentrem atine (hati yang tentram). Sedang bunga merupakan ganda arum, semerbak memberikan keharuman.

Dari masa ke masa, abad ke abad, Keraton Yogyakarta terus menjaga semangat dakwah Islam di tanah Jawa melalui tradisi-tradisi yang ada. Penggunaan istilah lokal maupun simbol-simbol yang telah diakrabi oleh masyarakat Jawa tidak dimaksudkan untuk membelokkan nilai-nilai Islam, namun digunakan untuk mengajarkan pada masyarakat hakikat dari nilai-nilai luhur Islam itu sendiri. Sama seperti tradisi Malem Selikur terus dijaga untuk mengingatkan dan mengajak segenap rakyat Yogyakarta untuk menyambut Lailatul Qadar.

 

 
Berita Terpopuler