China Pakai Tangan ASEAN Selesaikan Krisis Myanmar

Pengaruh China atas Myanmar lebih besar dibanding PBB

ANTARA/HO/Setpres-Muchlis Jr
Panglima Militer Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing (kanan) menghadiri KTT ASEAN di Gedung Sekretariat ASEAN Jakarta, Sabtu (24/4/2021). KTT ASEAN yang pertama kali dilakukan secara tatap muka saat pandemi COVID-19 tersebut salah satunya membahas tentang krisis Myanmar.
Rep: Anadolu Red: Elba Damhuri

REPUBLIKA.CO.ID -- Para pengamat internasional mengungkapkan ada kepentingan China di balik penyelenggaraan Pertemuan Para Pemimpin ASEAN terkait krisis Myanmar di Jakarta pada Sabtu.

Mereka meyakini China menggunakan tangan ASEAN untuk meredakan kekerasan akibat kudeta militer yang telah memakan korban jiwa 739 tewas.

Pengamat geopolitik Universitas Teknologi Malaysia Azmi Hassan mengatakan walaupun China tidak terlibat langsung dalam Pertemaun Para Pemimpin ASEAN atau ASEAN Leaders Meeting, Menteri Luar Negeri China Wang Yi sudah meminta agar ASEAN memberikan solusi yang adil saat menggelar pertemuan di Jakarta nanti.

“China memiliki peran penting dalam meeting ini karena pengaruh China terhadap Myanmar itu lebih besar dibanding PBB. China juga mampu memberi tekanan kepada junta militer jika hasil pertemuan di Jakarta tidak sesuai dengan keinginan China,” kata Azmi kepada Anadolu Agency pada Jumat dari Kuala Lumpur.

Azmi mengatakan China menginginkan agar kekerasan di Myanmar dapat diselesaikan segera. Untuk itu, lanjut Azmi, China mendorong lahirnya pertemuan 'ASEAN Leaders Meeting'. Sebab situasi kekerasan di Myanmar akan mengganggu geopolitik China di dunia internasional.

Situasi ini, sambung Azmi, membuat citra China buruk di mata internasional karena masyarakat global melihat China berada di balik dukungan terhadap rezim junta militer.

“Negara-negara internasional akan menyalahkan Beijing jika kekerasan di Myanmar terus berlanjut,” kata Azmi.

Akhir Maret hingga awal April Menteri Luar Negeri China Wang Yi bertemu dengan Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi, Menteri Luar Negeri Malaysia Hishamuddin Hussein, Menteri Luar Negeri Singapura Vivian Balakhrisnan, dan Menteri Luar Negeri Filipina Teodoro Locsin Jr. di Fujian, China.

 

Dalam pertemuan itu, China memberikan dukungan kepada ASEAN untuk menyelesaikan krisis, termasuk mendukung inisiatif Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan konflik Myanmar dengan KTT ASEAN.

"Menteri Luar Negeri China, Wang Yi, memiliki kekhawatiran yang sama terhadap perkembangan situasi dan tidak ingin melihat rakyat Myanmar menderita," kata Retno pada konferensi pers virtual pada Jumat, 2 April 2021, saat lawatan ke China.

Sementara itu, Ramdhan Muhaimin, pengamat hubungan internasional Universitas Al-Azhar Indonesia, melihat China tidak ingin kehilangan hubungan baik dengan ASEAN baik secara bilateral maupun multilateral hanya karena krisis Myanmar. Apalagi China sedang memperkuat pengaruhnya di kawasan, khususnya Laut China Selatan.

“ASEAN adalah satu-satunya aktor kunci di Asia Tenggara yang bisa diajak bekerja sama dengan China,” kata Ramdhan kepada Anadolu Agency.

Sementara itu, lanjut dia, China meyakini pemberian sanksi terhadap Myanmar oleh negara-negara Eropa dan AS hanya akan memperlemah Myanmar sebagai aliansi China di Kawasan.

“China tetap membutuhkan Myanmar. Dan legitimasi itu diperlukan melalui ASEAN,” ucap Ramdhan.

Namun demikian, Ramdhan khawatir situasi ini akan memposisikan ASEAN kembali di ‘persimpangan jalan’, yakni antara mengakomodasi kepentingan China yang berpengaruh di Kawasan, mengutamakan soliditas sebagai organisasi regional, atau mencari solusi efektif terhadap krisis agar stabilitas politik dan keamanan regional terjaga.

“Menurut saya, ASEAN juga harus mendengar suara-suara atau aspirasi dari pihak-pihak non-junta di Myanmar, terutama pihak pemerintah oposisi dan yang tergulingkan yakni pro-demokrasi,” kata Ramdhan.

 

Data resmi menunjukkan per Juli 2019, investasi kumulatif China di Myanmar menyumbang lebih dari 25 persen dari total investasi asing di negara itu.

Menurut Kementerian Perdagangan China, total impor dan ekspor kedua negara hanya USD11 miliar pada 2004 tetapi telah mencapai hampir USD168 miliar dalam 11 bulan pertama 2019.

Sementara itu, Shofwan Al Banna, pengamat HI UI menilai China masih menanti langkah ASEAN dalam penyelesaian krisis di Myanmar pasca-kudeta militer, termasuk hasil dari Pertemuan Para Pemimpin ASEAN di Jakarta, pada Sabtu besok.

Dia mengatakan negara besar termasuk China dapat mengikuti arah angin seandainya ASEAN memberikan tekanan kuat kepada junta militer.

“Kalau misalnya Asean kelihatan ga jelas sikapnya, mungkin mereka akan mengambil perhitungan sendiri dengan tidak terlalu memperhitungkan sikap ASEAN,” kata Shofwan kepada Anadolu Agency, Jumat.

Menurut Shofwan, China masih bingung dalam menanggapi krisis Myanmar tersebut. Di satu sisi, China dinilai tidak dapat membiarkan krisis berlarut mengingat Myanmar adalah kawasan sangat penting karena menghubungkan langsung Tiongkok dengan Samudera Hindia.

Di sisi lain, kata Shofwan, China juga tidak terlalu ikhlas membantu Myanmar apalagi pabrik milik investor China di Myanmar ikut dibakar.

“Myanmar itu penting, tapi masalahnya rumit, Tiongkok sendiri juga sepertinya masih wait and see,” tutur Shofwan.

 
Berita Terpopuler